"Harus banget, Ai?" Ryan jelas tak suka dengan cerita yang baru saja didengarnya lebih lagi saat melihat rambut Aila yang mirip sarang burung.
"Kita ke rumahku aja, ya? Ai nanti kamu flu kalau kedinginan kayak gini," bujuk Ryan lagi.
Namun, sama seperti yang tadi. Kali ini Aila juga hanya menggeleng saja, beruntung Ryan memiliki handuk di dalam tasnya jadi tubuh gadis pujaan hatinya itu masih aman.
"Bunda tahu gara-gara Regan, aku nggak kepikiran efeknya sejauh itu," kata Aila sambil menggigil kedinginan.
Ryan mengembuskan napas kasar. Dia tahu betul bahwa ini bukanlah salah Aila, hanya saja tak semestinya Ryan terlalu memihak gadis itu saat ini. Terlebih Aila memilih laki-laki lain sebagai kekasihnya, mengingat statusnya saat ini, bukankah semestinya Ryan marah karena diselingkuhi?
Merasa bahwa pemikirannya barusan sudah salah kaprah, Ryan pun menggeleng pelan. Sialan memang, apa sih yang merasukinya sampai berpikir sesuatu yang tidak-tidak begini?
"Kalau gitu kamu mending nggak usah pulang dulu, Ai. Besok kalaupun sekolah masih bisa pakai seragam ini, 'kan?" Ryan mendapatkan tamparan usai mengatakannya.
Tentu saja kini Aila langsung berubah menjadi sedikit sebal rautnya. Dia hanya ingin bermain-main dalam waktu singkat, sudah selesai maka dari itu yang lainnya abaikan saja. Maksud Aila dia tak akan lagi memperdulikan bagaimana kondisinya saat ini.
Hem, bukankah segalanya masih aman? Paling tidak Aila hanya bermain-main di permukaan dan dia sama sekali tak berniat untuk menyerahkan apa-apa.
"Regan mirip kamu," kata Aila.
Kontan saja Ryan mencibir. "Nggak boleh gitu loh, Sayang. Maksudku kan aku bukan populer karena sering buat masalah."
"Regan itu berkali-kali memenangkan lomba debat bahasa Inggris, pernah sekali ikut program pertukaran pelajar. Dia cukup populer bukan hanya karena wajahnya tapi juga kemampuan di bidang akademik maupun non-akademik," jelas Aila.
Kian kesal saja Ryan dibuatnya. Bagaimana bisa gadis yang selalu berada di sisinya dan hanya membahas pelajaran kini mendadak memuji-muji pria lain?
Belum sempat Ryan mendebat, Bunda cowok itu datang dan meminta mereka masuk. Syukurlah Bunda Aila langsung ada acara begitu selesai menghajar anaknya habis-habisan hingga Ryan bisa memaksa gadis itu berada di rumahnya.
"Ryan ngapain malah duduk? Cepat pinjamkan baju untuk Aila, duh kamu ini jadi cowok kok nggak berguna sama sekali sih," cibir bundanya itu.
Aila menahan tawa kala mendengar ucapan tersebut. Bagaimana bisa Ryan yang merupakan anak kandung malah dihina habis-habisan begitu?
"Tante, nggak papa kok. Aku pakai baju ini saja masih cukup nyaman jadi tak perlu meminjamiku," tutur Aipa sedikit berbohong tentunya.
Bagaimana bisa dia terlihat baik-baik saja saat ini? Tubuhnya saja terus menggigil begitu.
"Kenapa sih kamu ini, Ai? Sama Bunda nggak usah sungkan, kita ini keluarga ingat hal itu baik-baik. Ah, satu lagi, kamu boleh nginap loh kalau kamu dan jangan sungkan makan kalau laper. Duh, pokoknya apapun itu nggak usah sungkan okey?" Penjelasan dengan tepukan pelan barusan membuat hati Aila benar-benar menghangat seketika.
"Bunda?" ulang gadis itu.
Bunda Ryan tertawa. "Dari dulu kan sudah Bunda bilang jangan manggil Tante, kamunya aja yang banyak tingkah, Nak. Sudah sana masuk ke kamar Ryan, nggak papa, walaupun dia berandalan tapi sudah Bunda ajarkan cara menjaga martabat wanita kok."
Makin lebar senyum Aila saat mendengar penjelasan tersebut. Hanya saja bukan Ryan yang dia takutkan, bukankah selama ini justru Aila lah yang lebih dulu menubruk cowok itu?
***
"Apa lagi?!" Anika hampir saja membunuh pria di depannya ini jika terus berulah dan membuatnya terlibat masalah.
"Anika, yang gue denger salah, 'kan? Maksudnya lo nggak mungkin—"
"It's right, semuanya benar. Kakak ipar Lo selingkuhan gue, puas?!" jerit Anika memecah keheningan membuat Ariel terduduk lemas.
Selama ini Ariel selalu saja mendengarkan cerita dari kakak perempuannya, cerita miris tentang sang suami yang terus bergumul dengan wanita muda. Ariel berniat untuk membuat wanita muda yang terus merayu kakaknya itu hancur sehancur-hancurnya jika bisa.
Namun, bisakah dia melakukannya sekarang?
"Bisa lo cari orang lain, Anika?"
Anika tertawa ngakak. Dia hampir saja meludahi Ariel karena cowok yang selalu mengikutinya kemana-mana itu sangat lancang kali ini. Bagaimana bisa dia terus saja mengoceh tak jelas?
Ah, Anika paham sekarang. Memang benar sih fakta bahwa dia mencari laki-laki yang sudah menikah dan kaya untuk uang. Namun, dia juga tak berniat menikah dalam waktu dekat.
"Lo kalau mau ngoceh sama kakak ipar Lo aja sana. Ah, gue nggak pernah niat deketin duluan dan sama sekali nggak kepikiran buat bikin dia cerai sama kakak Lo," tegas Anika apa adanya.
Untuk beberapa saat Ariel terdiam sambil menunggu Anika mengatakan kata-kata selanjutnya. Namun, gadis itu hanya diam saja.
"Lo main aman?" Dari sekian banyak pertanyaan hanya itu yang bisa Ariel ajukan.
Dia sangat yakin bahwa di mata kakaknya saat ini dia benar-benar tak lebih dari adik sialan. Selama ini Ariel memang sangat dekat dengan kakaknya tapi di saat dia membutuhkan bantuan hanya ada Anika.
Dua pilihan yang sangat memberatkan untuknya sampai Ariel keliyengan memikirkannya. Ariel kembali menatap Anika tapi ternyata gadis itu sudah tak sendirian lagi di sana. Kaka ipar yang dikenalkan kepadanya saat masih di sekolah dasar itu datang dengan senyuman lebar.
Saat pertama kali melihatnya Ariel sangat yakin bahwa laki-laki itu adalah suami terbaik untuk sang kakak. Sosok yang akan menggantikan ayahnya untuk menjaga keluarga kecil ini.
"Ariel? Kamu ... temanmu, Sayang?"
Bukan padanya tapi sang kakak mengajukan pertanyaan pada Anika yang dipeluknya. Ariel meradang, dia sudah bersiap untuk perang. Namun, bagaimana bisa Anika tersenyum selebar itu?
"Hem, tiga tahunan kita jadi teman dan dia marah-marah nggak jelas makanya aku telepon mas tadi," jelas Anika.
Ariel memejamkan mata dan berharap bahwa setelah dia membukanya nanti tak ada sang kakak ipar. Dengan begitu dia akan melupakannya dan menganggap bahwa segalanya hanya mimpi belaka.
Sayangnya tak terjadi, Anika malah semakin melebarkan senyumnya dan sang kakak ipar menepuk pundaknya ringan.
"Kamu datang karena kakakmu bukan sebagai temannya Anika, 'kan? Maaf Ariel, kami sebetulnya sudah hampir pisah beberapa saat lalu tapi kakakmu menolak," jelas kakaknya.
Boleh tidak sih dia tertawa ngakak saja saat ini?
Masalahnya sang kakak ipar mengatakan kalimat tadi seolah-olah hal itu yang paling dibutuhkan saat ini. Ariel bersiap melayangkan bogeman tapi....
"Mas jangan ngomong begitu, aku masih kecil nggak bisa rawat kamu sepenuhnya. Lagi pula yang nemenin kamu dari bawah itu kakaknya Ariel, 'kan?"
... bukankah seharusnya Anika yang lebih dulu mendapatkan tamparan keras dari kakaknya?
-Bersambung ....