Bea segera membawa merpati itu ke dalam pelukannya. Tangannya berhati-hati saat akan menyentuh tubuh seekor merpati itu.
"Kenapa kau bisa sampai terluka seperti ini?" tanyanya dengan mengerutkan dahi.
Kini dirinya segera turun dari tempat yang tinggi itu. Bea berusaha menuruni anak tangga dengan cepat. Karena ia tidak mau sampai merpati itu mati. Sesekali ia melihat jalan di depannya lalu melihat merpati yang mulai merasa lemas. Kulitnya bisa merasakan gerakan nafas kecil dari merpati itu.
Ia menyebrang jalan dengan hati-hati namun saat tiba di depan rumahnya. Rasanya ia tidak ingin memasuki rumah itu.
"Aku 'kan sedang kabur dari rumah. Kenapa aku harus masuk ke rumah itu lagi? ah! sudahlah yang penting aku harus menyelamatkan merpati ini sebelum terjadi sesuatu buruk. Aku tidak ingin itu terjadi."
Bea mengendap endap berharap tidak melihat wajah ibunya. Sepatu sneakers itu sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia melihat Sebastian si tukang kebun rumahnya yang sedang duduk di taman sambil merokok.
"Hai, Sebastian!" sapaku dengan cepat.
Kedua mata pria berwajah tembem itu membelalak kaget.
"Nyonya Jane mengkhawatirkanmu," katanya dengan berdiri dari duduk santainya.
"Jangan beritahu dia. Aku akan mengendap ke kamarku. Aku sedang tidak ingin melihat wajahnya. Kau mengerti?"
"Tapi nanti dia akan marah padaku," jawab Sebastian dengan wajah kasihan.
"Kau bilang saja kalau kau tidak melihatku masuk ke rumah," jawab Bea dengan santai.
"Baiklah, tapi aku butuh rokok. Kau mau kan memberikan rokok kepadaku?" tanya Sebastian dengan meringis.
"Heh, baiklah! aku akan memberimu rokok yang mahal," ucap Bea dengan yakin.
"Kapan?"
"Besok, aku berjanji akan memberikanmu sebungkus rokok,"
"Apa yang kau bawa?" tanya Sebastian dengan melihat kedua tangan Bea yang memeluk merpati. Tetapi Sebastian tidak akan melihat merpati itu. Karena Bea menutup merpati itu dengan jaketnya.
"Bukan urusanmu," jawab Bea dengan ketus.
"Aku tahu itu pasti minuman terlarang,"
"Enak saja maksudmu aku membawa alkohol? itu tidak mungkin!" seru Bea dengan tegas sambil mendelik di depan Sebastian.
"Ya sudah kalau begitu kau boleh masuk. Jangan lupa dengan rokoknya," kata Sebastian dengan wajah sombong.
Bea pun segera berbalik badan dan membuka pintu rumah dan tidak ada Jane di ruang tamu. Lalu Bea segera berjalan cepat naik ke tangga menuju kamarnya.
"Untung saja ibu tidak melihatku," ucap Bea lalu segera membuka jaket yang menutupi merpati itu. Kini ia meletakkan merpati itu dengan hati-hati di atas meja belajar.
Bea meneteskan obat di sayap merpati putih itu lalu membalut lukanya dengan perban. Ia membalut luka itu dengan sebisanya. Meski sedikit berantakan namun Bea tidak perduli. Karena memang ia tidak pandai.
"Sekarang mungkin kau sudah baik. Benarkan?" seru Bea dengan jari telunjuk yang memainkan wajah merpati itu.
"Wajahmu imut sekali!"
"T-terimakasih kau sudah membantuku," paruh kecil merpati itu bergerak dan Bea kaget sampai punggungnya sakit terkena senderan kursi.
"Tidak, tidak ini tidak mungkin," ucap Bea dengan berdiri pelan sambil kedua telapak tangannya terangkat.
"Ini aku yang sejak tadi berbicara di atas gedung itu. Aku yang meminta pertolonganmu," ucap merpati itu mencoba berdiri dari posisinya yang sebelumnya terlentang.
"Ya Tuhan! Ya Tuhan!" Bea memegang kepalanya dengan perasaan takut. Ia berpikir kalau tiba-tiba merpati yang ada di depannya itu akan menyerang dirinya.
"Jangan khawatir, aku tidak akan menyakitimu. Aku berjanji," kata sang merpati sambil menaikkan salah satu sayapnya.
"Mungkin aku bermimpi!' seru Bea dengan menepuk-nepuk keras pipinya.
"Jangan lakukan itu. Ah, pasti rasanya sakit sekali,"
Bea melihat dengan serius paruh merpati itu.
"Hei, aku memang bisa berbicara," seru sang merpati dengan nada sombong. Ia menaikkan salah satu matanya.
"Ya Tuhan, ini benar-benar nyata," wajah Bea berbinar sambil melihat dengan dekat sang merpati itu.
"Kau makhluk dari mana?" tanya Bea dengan membelai sayapnya.
"A-au! jangan itu sakit!"
"Oh maaf, aku lupa kalau sayap sebelah kananmu terluka. Tapi kau sudah merasa baik bukan?" tanya Bea dengan wajah bahagia.
"Iya aku sudah merasa baik-baik saja. Terimakasih ya kau sudah membantuku dengan baik," kata merpati itu. Bea mengangguk senang mendengarnya.
"Maukah kau berjanji tidak akan memberitahu soal aku? maksudku kau bisa merahasiakan tentang aku kan? jangan membicarakanku di depan orang-orang," kata sang merpati dengan serius.
"Bagaimana kalau aku memberitahu ini kepada dunia? aku pasti akan tercatat dalam sejarah. Seorang gadis muda telah menemukan merpati yang bisa berbicara. Ya, itu pasti akan seru sekali," kata Bea dengan bangga.
"Jangan, jangan! aku mohon jangan lakukan itu," sang merpati memohon.
"Oke, baiklah aku tidak akan melakukan itu padamu. Hahaha ... kau terlihat kasihan sekali," kata Bea dengan tertawa sambil menutup mulutnya.
"Aku harap kau berjanji padaku," kata sang merpati dengan melangkahkan kakinya untuk lebih dekat dengan melihat wajah Bea.
"Sebelum itu, bolehkah aku tahu dari mana asalmu? lalu kenapa kau bisa sampai terluka di gedung itu," tanya Bea dengan wajah penasaran.
"Aku bukan makhluk dari planet ini. Maksudku aku bukan dari bumi,"
"Wah! benarkah? keren sekali," bola mata Bea terbuka lebar.
"Keren bagaimana maksudmu?" tanya merpati dengan bingung.
"Ya, seperti ada di sebuah film," jawab Bea lalu tersenyum di depan merpati itu dengan manis.
"Tapi ini nyata Bea. Sebenarnya aku sedang menunaikan tugasku disini. Aku di tugaskan oleh rajaku. Oh ya, sebelumnya tempat tinggalku ada di atas sana," kata merpati dengan mendongak ke atas.
"Planetku bernama Sirius. Jadi aku di tugaskan rajaku untuk mencari ilmu pengetahuan yang ada di bumi," jelas sang merpati dengan wajah tegas.
Bea hanya mengangguk-angguk.
"Oh begitu ya, memangnya seperti apa planetmu itu? aku penasaran sekali," kata Bea dengan penasaran.
"Ya begitulah, nanti saja aku bercerita," jawab sang merpati.
"Sekarang saja, ayo ceritakan padaku," kata Bea dengan wajah memohon.
"Aku tahu ini sudah malam dan waktunya istirahat untuk para makhluk bumi. Benarkan?"
Tiba-tiba pintu kamar Bea terbuka. Bea mendengus kesal teringat ia lupa mengunci pintu kamar. Akhirnya dengan gerakan kilat Bea menyembunyikan merpati itu di kolong meja.
"Rupanya kau sudah pulang Bea?" tanya Jane dengan wajah khawatir.
"S-sudah, kau tidak usah mengkhawatirkan aku," jawab Bea sambil menunduk dengan melihat merpati yang ada di bawah kakinya.
"Kau kemana saja sayang?" tanya sang ibu dengan mengelus pundak Bea.
"Aku ke minimarket saja, Bu. Lalu memakan jajan disana. Hanya itu saja," jawab Bea mencoba bersikap santai.
Jane mengangguk-angguk paham. Namun kini ia melihat dengan wajah heran ada kotak obat di meja belajar milik Bea.
"Kau terluka Bea? mengapa ada kotak obat disitu?" tanya Jane dengan wajah sangat penasaran sekaligus khawatir.