Chereads / My Crazy Girld / Chapter 2 - Kenapa Harus Kembali

Chapter 2 - Kenapa Harus Kembali

"Demi apapun Bryan cakep banget, Ayy!"

Ayra yang tengah menyetir menoleh sekilas. Menatap Gia yang tampak tengah senyum-senyum sendiri lalu berkata sembari terus fokus pada jalanan kota yang masih tampak ramai meski hari sudah malam.

"Udah gue bilang berapa kali kalo Bryan itu cakepnya enggak ada tandingan. Belom lagi otaknya and attitude-nya yang sumpah demi apapun bikin gue kagum. Wajar enggak sih kalo gue suka banget sama dia," ucap Ayra sesekali menatap Gia yang duduk di sampingnya dan Kiara yang duduk di kursi bagian belakang.

Yup. Mereka baru kembali ketika kafe juga akan tutup. Beberapa kali Bryan menyuruh Ayra pulang karena hari yang sudah larut. Tapi tetap saja cewek itu tidak ingin beranjak sebelum kafe itu tutup.

"Wajar banget sih menurut gue. Karna kalo gue liat. Bryan tuh emang perfect banget!" timpal Gia heboh.

"Tapi kalo menurut gue sih ya. Bryan tuh standar. Ya sebelas dua belaslah sama Rio." Kiara ikut berkata, membuat Ayra yang awalnya tersenyum langsung mengubah raut wajahnya.

"No! Bryan itu lebih-lebih daripada Rio oke?!"

Apa yang Ayra katakan membuat Gia langsung menegakan tubuhnya saat Ayra membandingkan Rio dan Bryan. "Ralat. Rio itu perfect oke? Jangan banding-bandingin dia sama siapapun," ucap Gia tak terima. Pacar mana yang akan terima jika kekasihnya dibanding-bandingin sama orang lain termasuk Gia.

***

Gerbang megah nan tinggi itu dibuka. Tatkala anak semata wayang si pemilik rumah datang. Senyuman yang terus mengembang di sepanjang jalan akibat mengingat kejadian di kafe--meskipun Bryan tidak mengatakan hal manis padanya, melihat Bryan sudah kembali ke Indonesia saja sudah cukup membuatnya bahagia--memudar ketika Ayra melihat mobil orang tuanya ada di halaman rumah. Tepatnya di samping mobilnya.

Bukan karena Ayra takut terkena amukan karena pulang larut tapi karena dia merasa muak ketika melihat mobil dan pemiliknya yang tentu tidak akan pernah lama ada di sana.

Sembari terus menahan rasa sesak Ayra keluar dari mobilnya, melangkah masuk ke dalam rumah megah itu dengan wajah dingin.

"Suprise!" teriak Elina lalu memeluk Ayra yang langsung tersenyum tipis ketika mendapatkan pelukan yang sebenarnya sangat dia rindukan.

Kini, giliran Papanya yang memeluk. Hanya terjadi beberapa detik lalu dilepaskan kembali.

"Gima--"

"Kenapa balik enggak ngabarin aku dulu?" potong Ayra.

"Kalo Mama sama Papa ngabarin dulu namanya bukan kejutan dong, Sayang. Apa kamu enggak kaget kami tiba-tiba ada di sini? Dan itupun dalam waktu yang bersamaan," ucap Elina sedikitpun tanpa rasa bersalah sehabis meninggalkan Ayra berminggu-minggu.

Jelas tidak akan merasa bersalah. Karena dunia Elina hanya perusahaan dan bisnis yang sedang dia jalankan dibeberapa negara. Begitupun Brama.

'Kaget banget, Ma. Karna aku kira kalian enggak bakal balik lagi ke Indonesia,' batin Ayra menjawab.

Brama memegang bahu Ayra. "Mending sekarang kamu naik ke atas, ganti baju terus kita makan malam."

"Iya, Pa." Tanpa mengatakan apapun lagi Ayra naik ke lantai atas tentunya dengan langkah yang sangat cepat.

Tidak ingin banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang yang sebentar lagi akan meninggalkannya lagi. Kembali ke dunia mereka masing-masing tanpa memperdulikan Ayra yang tengah berjuang mencari kesenangannya sendiri tanpa menghancurkan kepercayaan yang mereka berikan.

***

Dentingan piring terdengar karena keluarga kecil ini tengah menghabiskan waktu bersama di ruang makan. Ayra tidak bicara sepatah katapun. Dia tidak punya kesempatan untuk mengungkapkan kerinduannya atau bertanya. 'Bagaimana kabar kalian? Apa kalian merindukanku?'

Karena pembahasan yang tengah terjadi di sana. Hanya perihal bisnis Papanya di Amerika juga jadwal pertemuan mereka dengan klien masing-masing. Ya. Keduanya menjalankan bisnis yang berbeda hingga lupa memberikan kasih sayang penuh pada putri mereka yang selalu mereka tinggal ke luar kota ataupun luar negeri.  Pembicaraan ini benar-benar membuat Ayra yang sedari tadi diam bertambah muak.

"Oh iya, Ay."

Akhirnya. Akhirnya mereka punya waktu untuk bertanya pada putri mereka ini. Putri yang tidak pernah mereka perdulikan. Eits, mereka perduli pada pendidikan dan masa depan Ayra saja.

Keduanya meminta dan mengharuskan Ayra pokus dalam belajar, menata bisnis sembari terus menyalurkan hobby tanpa adanya dukungan melalui tindakan. Tapi, mereka hanya bisa menyuruh dan mendukung dalam ucapan tanpa memperdulikan kesehatan hati dan mental Ayra yang selalu ditikam oleh keadaan.

Dan itu juga terjadi lagi saat ini.

"Iya, Pa?"

"Gimana? Kamu jadi ngisi seminar seminggu lalu?"

"Jadi, Pa," jawabnya singkat.

"Terus gimana lancar?"

"Lancar, Pa."

"Terus Pak Anton jadi ngirim kamu buat olimpiade sains?" Kini giliran Elina yang bertanya sembari terus menyantap makanan.

Ayra menaruh alat makannya dimeja lalu meneguk air sebelum menjawab pertanyaan itu. "Jadi, Ma. Pak Anton juga udah nyuruh aku buat siap-siap buat olimpiade nanti."

"Bagus dong, Sayang. Itu artinya kamu bakal punya pengalaman baru."

"Iya, Ma. Emm ... Pak Anton bilang. Kalo orang tua aku sama temen aku boleh dateng dan jenguk nanti. Kalian bisa, kan nanti dateng terus nganterin aku ke Bandara?"

Brama dan Elina saling menatap, seakan tengah mempertimbangkan bersama permintaan putri mereka lalu kembali menatap Ayra. "Enggak bisa, Ay," jawab Papanya enteng.

"Kenapa?" tanya Ayra sedikit menaikan intonasi.

"Minggu itu Papa harus pergi ke Italia dan Mama juga harus pergi ke Belanda. Jadi, kayanya kami enggak bisa datang ke sana," timpal Brama.

"Iya, Sayang. Minggu itu jadwal Mama sama Papa bener-bener padat banget, Ay. Kamu bisakan pergi tanpa diantar. Lagipula enggak akan ngerubah apapun, kan kalo kita nganterin kamu dan jengukin kamu. Enggak bakal buat kamu menang juga." Elina ikut berkata.

Beberapa detik Ayra diam. Tangannya mengepal kuat. Dia benar-benar muak. Dia muak dengan sikap mereka yang terus seperti ini. Apa tidak ada sedikitpun keinginan untuk menyemangati Ayra? Membuat Ayra merasa berharga?

"Kedatangan kalian emang enggak akan ngerubah apapun dan enggak akan buat aku menang. Tapi apa kalian enggak ada niatan buat ngasih suport dalam bentukan nyata. Bukan cuman suport ucapan doang," ucap Ayra menatap keduanya dengan mata yang sudah merah legam.

Keduanya berdecak karena merasa kalau Ayra tidak bisa mengerti keadaan. Lagi. Ayra akan memulainya lagi. Memulai pembicaraan yang akan membuat kepulangan mereka menjadi sia-sia.

"Kalian mau bikin aku kaya anak yang enggak punya orang tua ya? Kenapa setiap kali ada keperluan sekolah yang harus ngelibatin orang tua kalian enggak bisa dateng?!" Ayra bangkit dari duduknya saat emosinya sudah tidak bisa dikendalikan.

Menatap Papa dan Mamanya nyalang. Lalu kembali berkata. "Mama sama Papa pikir enak jadi aku?! Kalian cuman punya satu atau dua hari aja buat ngabisin waktu sama aku. Setelah itu pergi lagi. Kalian pikir enak?!"

"Kamu ini apa-apaan Ayra! Bicara dengan cara seperti itu di depan kami apa sopan? Mana etika kamu? Buat apa Papa sekolahin kamu kalo hasil dari sekolah bikin kamu jadi enggak sopan kaya gini!" bentak Brama.

Ucapan itu begitu menusuk. Kenapa tidak sadar? Kenapa Brama malah berkata akan hal yang akan membuat Ayra semakin sakit.