Chereads / After Savage / Chapter 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

Chapter 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

"Roro Ayu, layani suamimu dengan baik!" perintah Bunda Rindu saat mereka berada di meja makan untuk menikmati sarapan pertama kalinya.

Ayu langsung menarik piring dari atas meja dengan kasar dan mengambilkan nasi dan lauk untuk Nanda. Wajahnya, tetap saja tak mau bersahabat dengan suaminya itu.

"Kamu sudah memutuskan menerima lamaran keluarga Nanda. Bersikap baiklah pada suamimu!" perintah Edi.

"Ayah, ayah tahu kalau aku nggak mau menikah. Bukankah ayah sendiri yang bilang kalau aku bisa membesarkan anak ini tanpa ayahnya. Aku rela menanggung malu seumur hidupku daripada harus berumah tangga dengan orang yang tidak mencintaiku seumur hidupnya," tutur Ayu sambil menahan kesal.

"Roro Ayu, nggak baik bicara seperti itu! Nanda sudah jadi suamimu. Sebagai seorang istri, kamu harus tetap berbakti dan menurut pada suamimu."

Ayu menghela napas dan mengangguk terpaksa. Ia meraih susu hangat yang disiapkan oleh pelayan rumahnya dan menyodorkannya pada Nanda. Ia memaksa bibirnya untuk tersenyum ke arah Nanda, pria yang kini berstatus sebagai suaminya.

Nanda tersenyum menatap wajah Roro Ayu. Meski ia tidak mencintai wanita itu, ia sudah berjanji untuk memperlakukannya dengan baik. Walau bagaimana pun, Roro Ayu adalah ibu dari calon anaknya.

"Ayu, apa kamu masih pergi bekerja hari ini?" tanya Edi tanpa menatap wajah puterinya itu.

"Masih, Ayah."

"Bukankah sudah sepakat untuk berhenti bekerja? Wanita-wanita di keluarga Hadyoningrat tidak ada yang bekerja. Mereka memiliki kewajiban mengurus keluarga dengan baik," tutur Edi. "Pria yang bertugas memenuhi semua kebutuhan finansial keluarga."

Nanda terdiam sambil menikmati makanan di hadapannya. Ia tidak ingin membatasi Roro Ayu dan juga tidak melarangnya untuk bekerja. Namun, aturan dari keluarga bangsawan ini sepertinya tidak bisa ia bantah. Benar-benar malapetaka baginya jika harus hidup dalam aturan kuno dan kedisplinan. Ia terbiasa hidup bebas tanpa aturan dan diatur oleh siapa pun.

"Ayah tidak mau tahu. Ini hari terakhirmu bekerja. Jika kamu masih memaksa untuk bekerja, maka suamimu yang harus melakukan pekerjaan rumah. Bagaimana?"

Nanda langsung mengangkat kepalanya. "Ayah tenang saja! Ayu tidak akan bekerja setelah hari ini."

Edi manggut-manggut. "Amora Internasional adalah perusahaan besar. Kamu tidak mungkin tidak sanggup menghidupi puteriku 'kan? Ayah bertugas mencari nafkah, ibu bertugas menjaga moral keluarga. Itu aturan dalam keluarga kami secara turun-temurun."

Nanda dan Ayu mengangguk bersamaan.

"Kehamilanmu di luar pernikahan, bukan hanya mencoreng nama baik keluarga, tapi juga bukti kalau ibumu tidak bisa menjaga moral keluarga," tutur Edi.

"Ayah ...!?" Rindu mengernyitkan dahi ke arah Edi. Ia ingin mengelak, tapi tatapan tajam suaminya itu berhasil membungkam mulutnya dalam sekejap.

"Jadikan ini sebagai pelajaran untuk kalian!" pinta Edi. "Kalian akan segera menjadi orang tua. Harus belajar bagaimana menjadi contoh untuk anak-anak kalian kelak."

"Anak-anak? Satu anak saja aku tidak mau, Ayah!" protes Ayu dalam hati. Ia melanjutkan makannya hingga habis sembari mendengar begitu banyak nasihat dari ayahnya.

Usai sarapan bersama, Nanda segera mengajak Ayu untuk masuk ke dalam mobilnya dengan sikap yang begitu manis. Ia buru-buru menjalankan mobil tersebut meninggalkan kediaman keluarga Hadyoningrat yang penuh aturan-aturan menjengkelkan.

"Yu ...!"

Hening.

"Ayu ...!"

Hening.

"AYUU ...! Kamu budeg?"

Ayu masih saja bergeming.

"Aku nggak tahan sama aturan keluarga kamu yang banyak banget. Kalau sudah menikah, apa kamu boleh tinggal saja bersama suamimu?" tanya Nanda.

Ayu mengangguk kecil.

"Baguslah." Nanda langsung menepikan mobilnya dan membuka laci dashboard. Ia mengeluarkan beberapa brosur dari sana dan menyodorkan ke hadapan Ayu.

"Pilih rumah mana yang kamu suka! Aku akan membelikannya untukmu dan kita keluar dari rumah keluarga. Kita bisa bebas melakukan apa saja tanpa intervensi mereka," pinta Nanda.

"Biar kamu juga bisa bebas ketemu Arlita?"

"Kamu tahu kalau dia pacarku. Nggak perlu ditanya lagi."

"Kita sudah menikah. Kamu nggak putusin dia?"

"Ini sudah zaman apa, Ay? Punya istri dan pacar sekaligus, sudah jadi hal biasa," jawab Nanda santai.

Ayu menarik napas perlahan sambil memejamkan matanya. Meski ia tidak mencintai Nanda, tapi hatinya tetap saja tidak rela jika Nanda memperlakukannya seperti ini. Menduakan ia secara terang-terangan.

"Aku juga tidak akan melarangmu berpacaran dengan Sonny. Kalian masih bisa seperti dulu. Status pernikahan kita itu cuma selembar kertas. Nggak akan memengaruhi perasaan kita ke pasangan masing-masing," tutur Nanda.

Ayu membuang wajahnya ke luar jendela. Pria di sampingnya itu benar-benar menjijikkan. Entah dari mana datangnya karma buruk dalam hidupnya hingga ia harus menikah dengan pria yang tidak pernah mencintainya dan tidak akan pernah.

"Yu, cepet kamu pilih rumahnya! Jangan kelamaan! Aku udah nggak tahan tinggal di rumah keluargamu."

"Tinggal di rumah keluargamu saja. Setelah satu minggu, masih ada acara unduh mantu."

"HAH!? Unduh mantu apaan?" tanya Nanda.

"Suami memboyong istri ke rumah orang tuanya."

"Masih bagian dari adat pernikahan?" tanya Nanda lagi.

Ayu mengangguk kecil.

"Setelah itu, berapa lama kita bisa keluar dari rumah?" tanya Nanda.

"Empat puluh hari," jawab Ayu lirih.

"Empat puluh hari? Lama banget? Kupingku keburu berdarah dengerin ceramah dari orang tuaku," tanya Nanda sambil mengusap telinganya sendiri.

Ayu terdiam sambil menatap beberapa brosur di tangannya.

"Yu, aku udah pilihkan beberapa rumah mewah untukmu. Aku nggak akan kasih rumah murahan. Ayahmu pasti akan berpikir macam-macam, menganggapku tidak mampu menghidupimu," tutur Nanda sambil mengemudikan mobilnya.

"Aku nggak perlu rumah dari kamu, Nan," sahut Ayu.

"Yu, kamu bisa nggak bekerja sama denganku kali ini? Ini masalah rumah tangga kita. Kalau kamu masih nggak mau milih, aku akan lakukan sendiri! Aku akan pilih rumah tanpa meminta persetujuanmu," tutur Nanda.

Ayu langsung meletakkan brosur-brosur itu ke atas dashboard. "Kamu saja yang pilih!" Ia kembali bersandar, melipat kedua lengannya di depan dada dan memejamkan mata.

Nanda menghela napas sambil melirik Ayu. Kemudian menatap jalanan kota Surabaya yang begitu ramai saat pagi hari.

"Jam berapa pulang kerja? Aku jemput kamu," tanya Nanda begitu ia memarkirkan mobilnya di depan kantor kerja Ayu.

"Jam lima," jawab Ayu sambil melepas safety belt di tubuhnya.

"Kamu harusnya sudah resign hari ini. Masi kerja full?"

"Aku belum resign," jawab Ayu sambil meraih gagang pintu mobil dan membukanya.

"Yu, ayahmu bisa marah sama aku kalau kamu masih bekerja. Kalau kamu nggak resign hari ini, aku yang akan masuk ke perusahaanmu dan ngajukan surat resign," tutur Nanda.

Ayu langsung memutar kepalanya menatap Nanda. Ia tidak ingin pria itu ikut campur dengan urusan pekerjaannya, apalagi semakin mempermalukan diri dengan statusnya yang tiba-tiba berubah. "Nggak perlu. Aku akan ajukan resign hari ini."

Nanda tersenyum lega. "Gitu, dong!"

Ayu balas tersenyum. Ia berpikir sejenak sambil menggigit bibir bawahnya. Meski tidak cinta, ia tetap harus berbakti pada suaminya. Setelah berpikir selama beberapa detik, ia akhirnya mengulurkan tangannya. Mencium punggung tangan suaminya itu sebelum ia benar-benar keluar dari dalam mobil.

"Manis," celetuk Nanda sambil tersenyum begitu Ayu sudah keluar dari mobil. Ia bergegas menyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan pelataran kantor tempat Ayu bekerja selama dua tahun terakhir.