Tiran melihat barisan bangunan yang ada. Meski disebut rumah, tapi sebenarnya mereka akan tinggal di sebuah bangunan dengan beberapa penghuni lainnya.
Seperti apartemen, batin Tiran. Rion mempersilahkannya masuk ke dalam bangunan yang sebelumnya dia pandangi dengan alis terangkat. Itu karena bangunannya yang unik. Unik karena dia sedang berada di dunia yang tidak dia kenal. Bangunan dari balok batu. Tidak ada bedanya dengan bangunan-bangunan lainnya. Tapi Tiran tetap sekali lagi merasa dirinya sedang berhadapan dengan bekas bangunan bersejarah.
Dia masuk dan melihat meja. Seorang pria berumur berdiri di baliknya. Tidak mengindahkan tamu yang masuk dan hanya terus melanjutkan tulisan yang tengah dia tulis. Tiran tebak sesuatu yang berkaitan dengan catatan keuangan.
Rion berbisik pada Tiran. "Tuan muda. Saya akan ke sana sebentar." lalu mendahului Tiran untuk menghampiri meja di depan mereka. Tapi Tiran tetap mengikutinya. Berdiri di belakang Rion yang berbicara pada sang pria.
"Tuan. Apakah ada ruang yang kosong?"
Pria itu mengambil sebuah gulungan dan meletakkannya di depan Rion tanpa mengangkat wajah. Rion menggerakkan kedua tangannya membuka gulungan itu. Dari belakang Tiran bisa melihat tiga kotak gambar. Tiran menangkap jumlah tingkat bangunan itu ketika dirinya masih berada di luar. Satu lobby dan tiga lantai lain. Melihat gambar di gulungan itu Tiran menangkapnya sebagai deretan ruangan yang ada.
Rion hendak meminta pendapat Tiran. Terkejut ketika mendapati Tiran sudah ada tepat di belakang kirinya.
"Tuan muda." Dia tersenyum. "Masih ada banyak tempat kosong. Mana yang tuan muda inginkan?"
Tiran mengambil gulungan dari tangan Rion.
Pria yang tengah memegang pena akhirnya melirikkan matanya. Dengan kepala masih menunduk menggunakan matanya untuk mengintip. Melihat sosok pelayan muda dan juga remaja bangsawan yang terlihat seumuran. Hanya dengan sekali lihat siapapun bisa melihat bahwa keduanya masih muda. Mungkin 18 atau 19 tahun.
Mereka akan tinggal di sini?
Pria itu melihat Rion. Dari pakaiannya dia bisa lihat bahwa dia adalah pelayan muda yang bekerja untuk bangsawan yang punya banyak kekayaan. Dan sang tuan,
Pria itu merasakan aura familiar dari remaja berambut panjang sebahu itu.
Seorang bangsawan. Apa yang dia lakukan di sini?
Tiran sudah menelusuri setiap letak ruangan dan akhirnya memilih satu.
"Ini." Dia memilih ruangan di lantai dua. Tidak perlu menaiki atau menuruni terlalu banyak tangga, dan terletak di ujung lorong sehingga tidak akan banyak dilalui oleh penghuni lain.
Rion mengangguk dengan senyum di wajah. Menerima kembali gulungan dari Tiran. Menunjuk yang sebelumnya Tiran tunjuk. "Kami akan menyewa ruangan di sini."
Pria pemilik bangunan menaikkan alis. "Untuk berapa lama?"
"Satu bulan." Tiran menjawab dari belakang. Dua tangan di depan dada. Rion di sampingnya terkekeh canggung.
Mereka awalnya memang akan membeli rumah untuk ditinggali berdua.
"Rion."
Rion yang baru hendak mengajak Tiran menginjakkan kaki ke area depan bangunan menghentikan gerakan dan menoleh ke arah Tiran.
"Ya?"
"Kita tidak jadi membeli." Tiran memberi pandangan datar. "Kita hanya akan menyewa."
Rion terdiam sebentar sebelum mengangguk. "Baiklah." dia lalu bertanya. "Bolehkah saya tau kenapa?"
Tiran mengalihkan pandangan. Dengan kedua tangan terlipat di depan dada dia memandang kosong jalanan yang ramai oleh penduduk kota.
Aku punya firasat aku tidak akan tinggal di sini untuk waktu yang lama.
"Tidak."
Rion meringis di dalam hati. Mengiyakan. "Saya mengerti."
Rion menerima kunci dari sang pemilik bangunan dan mengajak Tiran untuk pergi ke ruangan yang akan menjadi tempat tinggal mereka. Tiran mendapati ketiadaan pelayanan dan memutuskan untuk tidak peduli.
Rion membukakan pintu. Mempersilahkan Tiran masuk lebih dulu. Tiran dengan acuh melangkahkan kakinya. Matanya langsung menangkap pemandangan sebuah ruangan besar. Seukuran satu rumah nenek Rana bersama ketiga nenek lainnya. Memiliki setiap furnitur yang akan dibutuhkan oleh penghuninya.
"Tuan muda ingin beristirahat?" suara Rion terdengar di belakangnya.
Tiran bukan orang yang suka menunda-nunda. Dia membalikkan tubuhnya. "Aku akan keluar."
"Keluar? Kemana?" Rion memasang wajah bingung. Tiran mengedikkan bahu ujung bibirnya sedikit tertarik ke atas.
Dia ingin melihat hal apa yang bisa dia lakukan.
Dia ingin berjalan-jalan. "Berikan aku uang."
Rion melongo.
"S- Saya bisa melakukannya, tuan muda. Tapi, kemana Anda ingin pergi? S- Saya akan mendampingi Anda."
"Tidak perlu. Aku ingin pergi sendiri."
"T- T- Tapi, saya harus berada di sisi Anda kemanapun Anda pergi. Saya akan ikut."
Mata Tiran memicing. "Kau ingin membantah ucapan tuanmu?'
Rion terperanjat. Matanya melebar dan mulutnya langsung tertutup rapat. Tiran langsung pergi tanpa mengatakan apapun lagi.
Dia keluar dari bangunan tempat tinggal sewaan itu. Memandangi jajaran bangunan yang ada di depannya. Toko-toko yang berjejer. Dia berjalan dengan wajah datar. Berada di antaran barisan toko-toko itu membuatnya teringat ketika dia mencari pekerjaan sebagai Vian. Ruko salon itu. Dia sudah tidak pernah mengunjunginya lagi.
Sebuah toko menarik perhatiannya ketika dia sedang melamun. Sebuah toko dengan lambang buku. Dia menaikkan alis dan membawa langkahnya ke dalam toko itu.
"Selamat datang." Seorang penjaga toko memberi sambutan. Tiran tidak menanggapinya.
"Apakah ada yang Anda cari?" sang penjaga toko menghampirinya dengan senyum ramah. Sekali lagi Tiran mengabaikan orang itu. Membuat sang penjaga toko berdiri dengan wajah kikuk. Peluh canggung muncul di sudut keningnya. Menangkap bahwa sang pengunjung tidak ingin diajak bicara jadi dia memberi bungkukkan dan kembali ke tempat berjaganya. Tiran membentuk mulut mencemooh saat itu.
Dia mengambil buku asal. Membuka untuk melihat isinya. Itu adalah buku ekonomi. Buku yang mengajarkan tentang cara menghitung uang.
Aku ragu di sini ada komputer.
Dia berpikir buku itu akan berubah menjadi jauh lebih rumit jika sesuatu seperti komputer ada. Mesin dengan segala sistemnya. Tiran sendiri tidak pernah berurusan dengan benda itu. Dia tidak punya kegemaran mendudukkan dirinya di depan komputer. Berkutat dengan barisan data. Fahen lah yang akan berurusan dengan itu.
Wajah Tiran menggelap. Dia meletakkan buku itu kembali ke tempatnya. Menolehkan kepalanya. Mencari tampilan buku yang akan membuatnya tertarik. Dan dia menemukannya.
Sebuah buku dengan sampul cokelat. Judulnya berupa cetakan menekan ke ke dalam. Membuat siapapun tidak akan bisa menangkap tulisannya kecuali mereka mengambil buku itu dan meneliti bentukan cetakannya.
Raisans?
Dia membukanya dan langsung melihat bahwa itu adalah sebuah buku fiksi. Wajahnya langsung menggelap. Diserang kekesalan. Dia baru akan mengembalikan buku itu namun kemudian sisi pikirannya mengatakan hal lain.
Fiksi seperti apa yang akan dibuat oleh orang-orang di dunia fiksi?
Dia kembali membukanya dan menelusuri barisan kata-kata yang ada di sana.
Itu adalah sebuah buku romansa remaja. Tiran bisa melihatnya. Mulutnya langsung membentuk mulut mencemooh.
Dia bertanya-tanya apakah dia akan menemukan sebuah buku dengan tulisan lain. Mungkin tulisan tentang sebuah dunia modern?
Falgi memiliki banyak buku dengan berbagai ide cerita di tempatnya. Tidak ada satupun dari mereka yang membuat Tiran tertarik. Mereka semua terlalu mengada-ada dan ditulis dengan buruk. Kenapa anak itu suka? Tiran bertanya-tanya. Tapi kemudian dia berpikir bahwa Falgi adalah anak yang bodoh. Dia tidak tahu apa-apa akan tulisan maka yang sebenarnya termasuk ke dalam tulisan yang bagus.
Tiran memutar bola matanya.
"Hei. Tunjukkan padaku buku-buku fiksi yang paling bagus yang kau punya."
Tiran berkata pada sang penjaga toko. Orang itu menoleh dan menaikkan alis. Matanya melebar. "Apakah Anda akan membeli?"
"....."
Dia tidak akan membelinya. Tidak ketika mereka tidak akan berguna untuknya sama sekali. Hanya tulisan cerita khayalan yang dibuat oleh para penulis gila khayal.
Dia memasang wajah masam. Pergi keluar dari toko buku itu. Meninggalkan sang penjaga toko yang menontoni punggungnya dengan wajah terheran-heran.
Tiran menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri lagi.
Tidak punya tujuan memanglah yang terburuk.
Dia tidak suka ketika dirinya tidak punya sesuatu untuk dikerjakan. Dia selalu menganggap dirinya sendiri sebagai pemalas tapi sebenarnya dia lah yang paling sering menyibukkan dirinya.
Dia melipat kedua tangannya. Tidak menyadari pandangan orang-orang kepadanya.
"T- Tuan."
"?" Tiran menoleh ke sumber suara. Melihat seorang wanita di umur pertengahan melihat ke arahnya dengan mata terkejut. Tiran menaikkan alisnya.
"Ada apa?"
"I- Ibu. Dia kakak yang tadi."
Suara seorang anak membuat Tiran mengernyit. Dia melihat ke sekelilingnya dan melihat bahwa semua orang melihat ke arahnya. Beberapa menghentikan aktivitas mereka, dan beberapa lagi bergerak dengan mata tertuju ke arahnya.
Tiran menoleh dan matanya berpapasan dengan sebuah kaca. Kaca dari salah satu toko itu menunjukkan pantulan dirinya. Dan dia melihat warna rambutnya yang berwarna biru. Warna yang terlalu berbeda dari orang-orang lainnya. Warna yang mengundang tanda tanya dan rasa ingin tahu.
Sial.
Tiran mengutuk. Dia merasa dirinya tidak akan lagi bisa bepergian dengan begitu acuh karena kini dia punya warna rambut yang menarik perhatian semua orang.
Dia baru akan pergi ketika dia mendengar suara lain. "T- Tuan muda."
Dan dia tidak bisa mengernyit ketika melihat siapa yang muncul dan barusan bersuara itu.
Sang ilmuwan yang sebelumnya memanggilnya. Mengaku bernama Edrea. Tiran ingat.
Dia memasang wajah masam gelap. Menunjukkan ketidaksenangannya secara terang-terangan. Dia menautkan alis dan melihat ke arah perempuan itu dengan mata memusuhi.
Sang perempuan itu menyadari tatapan yang dia terima tapi tidak menunjukkan reaksi. "Tuan muda. Kita bertemu lagi."
Tiran menaikkan alisnya. "Aku tidak menemuimu."
Edrea memasang senyum terkekeh. "Ini kebetulan yang membawa keberuntungan pada saya."
Tiran dibuat merasakan curiga. "Apa yang kau inginkan?"
Sang ilmuwan bernama Edrea itu melihat ke arah Tiran yang sedikit lebih pendek darinya. Terlihat jelas bahwa dia lebih muda darinya. Dia memberi senyum. "Saya ingin berbincang dengan Anda."
"Di mana?" tanya Tiran langsung ke intinya.
"Kalau boleh saya ingin mengajak Anda ke tempat saya bekerja. Semua yang hendak saya tunjukkan ada di sana."
Tiran berwajah datar tapi dia dibuat penasaran.
Apa yang ingin dia tunjukkan?
Dia merasa dirinya laki-laki dan hanya tengah berhadapan dengan seorang perempuan yang lebih muda darinya. Dia tidak merasakan kekhawatiran apapun dari wanita yang baru bertemu dengannya itu.
"Phuih. Terserah." dia membentuk mulut meludah. Edrea tertawa lebar kecil. "Mari, tuan muda. Dan oh."
Dia mengayunkan tangannya. Tiran rada dia menggumamkan sesuatu. Detik berikutnya Tiran tidak merasakan apapun tapi dia menyadari pantulan kaca yang menunjukkan bahwa rambutnya sudah berubah menjadi warna hitam lagi.
"Anda bisa tenang." Edrea memasang senyum ramah. Tiran tidak menanggapinya. Hanya memberitahunya untuk segera membawanya ke tempat yang dia maksud. Dan langsung dikejutkan ketika dia melihat bangunan yang menjadi tujuan dari wanita itu.
Bangunan yang akan menjadi tempat tinggalnya.
"Silahkan masuk, tuan muda." Dia memberi ruang untuk Tiran masuk ke dalam pintu yang sudah dia buka. Tiran tidak bisa tidak mengerutkan kening karena pada dasarnya dia hanya kembali ke tempatnya bersama Rion dalam waktu yang lebih cepat dari yang dia rencanakan.
"Tuan Bert."
Edrea membuat sapaan. Yang mendapat tolehan wajah dari pria yang sebelumnya menjadi penjaga meja bangunan tempat tinggal itu. Samar-samar menaikkan alis ketika melihat salah satu penghuni bangunannya muncul bersama sang penghuni baru.
"Ya. Kau sudah kembali? Penelitianmu terjawab?"
Edrea tersenyum lebar. Tersenyum lebar penuh kebanggaan.
"Aku akan menunjukkannya nanti." Dia sedikit membalikkan tubuhnya pada Tiran. "Aku membawa seorang tamu." Dia membuat gerakan membungkuk.
Siapapun bisa melihat bahwa sang remaja berambut panjang sebahu itu merupakan seorang putra bangsawan. Dan dari keangkuhannya, seseorang dengan kedudukan yang cukup tinggi. Bert jadi ikut membungkuk. Sedangkan Tiran mengerutkan kening pada perbedaan cara menyapa yang dia tahu.
Mendapat bungkukkan penghormatan itu membuatnya merasa tidak nyaman tapi kemudian dia merasa bahwa itu tidak sepenuhnya buruk. Dia suka ketika seseorang bersikap hormat padanya. Dia punya keangkuhan itu di dalam dirinya.
Dia tidak memberikan respon apapun. Hingga akhirnya sang ilmuwan wanita dan pemilik bangunan kembali menegakkan tubuh mereka. Edrea lalu memberitahu Tiran bahwa dia bisa pergi ke arah tangga untuk pergi ke ruangan tempat kerja yang ingin dia tunjukkan.
Tiran tidak tahu bagaimana dia harus bersikap ketika dia dipertemukan oleh sebuah kebetulan lain.
Ruangan yang ingin wanita itu tunjukkan berada tepat bersebelahan dengan ruangan tempat tinggalnya bersama Rion.
Tiran memasang wajah masam. Tapi tetap mengikuti arahan Edrea untuk masuk ke ruangan milik wanita itu.
Dia sungguh-sungguh ketika dia bilang ruang kerja. Tidak ada tempat tidur seperti kamar lainnya. Tidak ada tempat dimana seseorang bisa tinggal. Yang ada di dalam sana adalah perabotan kayu. Dengan banyak kertas dan buku yang tersebar di berbagai bagian tempat.
"Saya adalah seorang ilmuwan yang sudah tertarik pada Bangsa Mahudu sejak saya kecil. Saya berasal dari salah satu keluarga bangsawan di Esfand. Tapi saya sudah mengeluarkan diri saya dari itu. Saya lebih suka tinggal sendiri dan mempelajari apa yang saya inginkan." Edrea tersenyum. "Ini adalah hasil penelitian saya selama ini."
Dia menyingkirkan tirai yang menutupi dinding. Tirai yang menutupi hal yang lebih mencengangkan dari fakta bahwa dia adalah seorang wanita gila.
Yang ada dinding dan tertutupi oleh tirai itu adalah peta pikiran dengan banyak garis penghubung. Puluhan hingga ratusan informasi hasil penelitian tertulis di dinding itu. Tiran melihatnya sebagai gambaran mimpi buruk.
Dia belum pernah setercengang itu sebelumnya.
Anak ini, sudah gila.
"Tuan muda. Saya ingin mengajak Anda untuk pergi ke tempat Anda yang sesungguhnya." Edrea berkata di belakangnya dengan senyum lebar di wajah.
04/06/2022
Measly033