Begitu terompet berbunyi, barulah murid-murid itu berebutan menaiki kereta. Suara tawa dan obrolan ringan tak henti-henti terdengar oleh Annie. Palais Lyle adalah sekolah dengan jenjang enam tahun. Tak heran kalau mereka sudah saling mengenal.
Seorang gadis membuka pintu kompartemen Annie. Ia bertubuh kecil dan pendek. Rambutnya diikat dengan rapi ke belakang. Matanya mungil, tapi cemerlang, dan di bawahnya terdapat bintik-bintik hitam. "Di sini ada tempat duduk kosong. Di sini saja," katanya, sembari memanggil temannya yang masih di lorong kereta.
Yang dipanggil adalah seorang gadis lain dengan potongan rambut yang cukup pendek. Ia lebih tinggi daripada gadis sebelumnya. Ia melihat Annie sekilas kemudian duduk di salah satu kursi.
"Hai, kenalkan aku Lilliet Chester, dan ini temanku, Evern Sanford," kata gadis yang lebih mungil sembari menyodorkan tangannya. "Kau murid baru, ya?"
"Iya, aku Arnuity. Kalian bisa memanggilku Annie."
"An―nie, nama yang bagus. Arnuity adalah nama yang unik. Tapi tak mudah diucapkan. Kalau di sini, bisa-bisa malah dipelesetkan jadi kata-kata yang aneh! Bahkan ibu guru sekali pun," kata Lilliet.
Mereka mengobrol beberapa saat. Annie mendapati bahwa Lilliet adalah gadis yang ceria dan ramah. Evern juga bersikap baik, dengan menimpali percakapan mereka beberapa kali.
"Sungguh sial, Miss Linwood akan jadi ibu asrama kita sekarang," kata Evern. "Dia sangat kaku. Tak suka kalau anak-anak bersenang-senang. Aku mendengar kalau dia suka mengacau saat anak-anak sedang seru-serunya bermain."
"Menurutku dia baik. Ia menggendongku saat aku jatuh dari pohon."
"Kau benar-benar aneh. Tentu saja guru-guru akan menolongmu kalau mendapati muridnya dalam bahaya. Bahkan Mr. Warner sekalipun."
"Apakah Miss Linwood yang berada di pintu kereta tadi?" tanya Annie.
"Benar. Lihatlah rambutnya yang diikat ke belakang dengan licin itu. Ia berharap kita bisa bersikap sepenurut mungkin dengannya," kata Evern, sembari melihat jam sakunya. "Sudah jam sembilan tepat, seharusnya kereta sudah berangkat. Aku sudah tak sabar ingin bermain lacrosse di halaman rumput!"
"Mentang-mentang kau kini kapten lacrosse. Aku yakin kau senang sekali sampai memeluk tongkatmu saat tidur."
Evern tertawa renyah. "Kau bicara seakan-akan kau tidak menggambar sepanjang hari saja, dan tidak pernah jatuh dari pohon karena menggambar tupai."
Karena godaan Evern, pipi Lilliet jadi memerah. Ia beralih menatap Annie yang berada di hadapannya. "Kau pasti mengiraku konyol. Hanya saja, kalau sudah menemukan benda yang menarik, aku tak bisa menahan diriku untuk menggambarnya."
"Tidak, tentu saja tidak. Semua orang punya hobi dan talenta masing-masing. Kalau itu membuatmu senang, maka kamu harus melakukannya!"
"Kau memang pengertian. Tak seperti Evern."
"Lihat, sepertinya ada murid baru lagi," kata Evern, yang tak memedulikan percakapan ini lagi, sambil menunjuk jendela dengan dagunya.
Di peron stasiun terdapat seorang gadis yang sedang menyeret koper. Ia memiliki rambut pirang lurus sepinggang. Annie tak pernah lihat ada gadis setinggi itu. Tubuhnya langsing dan kakinya jenjang. Ia mengenakan sepatu hitam yang mengilap di telapak kakinya yang kecil.
Tak berapa lama, pintu kompartemen terbuka lebar. Gadis itu benar-benar cantik. Matanya besar berwarna biru, dan dipayungi oleh bulu mata yang lentik. Bibirnya berwarna merah. Tulang pipinya yang tinggi membuatnya semakin terlihat menawan.
"Halo! Kata ibu guru di sana, hanya tersisa di sini tempat duduk yang kosong. Bisakah aku duduk di sini? Kalau tak keberatan, bolehkah aku duduk di dekat jendela?"
Annie dan Lilliet berpandangan, namun ia segera menyanggupi. Setelah ia menggeser pantatnya, barulah gadis pirang itu duduk manis.
"Kau murid baru juga!" pekiknya saat melihat Annie. "Senang sekali, kita harus berteman, ya. Siapa namamu?"
Annie sangat takjub melihat gadis yang penuh percaya diri itu. Ia sama sekali tidak gugup meskipun berada di lingkungan baru. Ia yakin akan menyukai gadis itu. "Iya aku murid baru. Namaku Arnuity. Kalau kau?"
Terompet kereta berbunyi. Akhirnya kereta pun berangkat.
"Clairique. Menyenangkan sekali ya, ternyata, naik kereta. Aku belum pernah melakukannya. Meskipun kursinya tak terlalu nyaman, tak apalah," katanya sembari memerhatikan jendela dengan mata berbinar-binar. Rupanya ia belum pernah naik kereta. Annie jadi tidak menyesal sudah memberikan tempat duduknya pada Clairique. "Oh iya, kalian murid lama, ya?" tanyanya pada Lilliet dan Evern.
Mereka langsung menyukai Clairique. Gadis itu sangat cemerlang dan bisa mencairkan suasana.
"Aku Evern Sanford."
"Lilliet Chester."
"Kalian berasal dari mana?" tanya Clairique.
"Aku dan Lilliet hanya dari Lylefox. Sebenarnya kami bisa langsung berangkat ke asrama. Tapi menggunakan kereta jauh lebih menyenangkan!"
"Benar sekali, pilihan yang bagus. Kalau aku jadi kalian pun, aku juga akan memilih naik kereta. Kalau kau, Annie? Fernwick?" ia terlihat berpikir sebentar setelah Annie menjawabnya. "Daerah mana? Siapa tahu aku pernah ke sana. Swanfield, tak pernah dengar."
"Memang letaknya jauh dari pusat kota," kata Annie. "Kalau kau sendiri, Clairique, kau dari mana?"
"Panggil saja aku Claire. Panggilan selengkap itu membuatku ingat pada sesuatu. Lupakan. Aku berasal dari … High Elia," ucapnya setelah ragu sejenak. Annie terheran-heran apa yang membuat Clairique seragu itu. High Elia adalah ibu kota negeri Irelia. Impian bagi orang-orang yang berada di kota-kota yang lebih kecil. "Aku sudah berangkat sebelum matahari terbit supaya tak terlambat mengikuti tes Bola Salju. Kudengar tes itu sangat penting. Tak boleh ada yang terlambat. Kalau terlambat, dia harus tidur di gudang selama satu tahun! Apakah itu benar?"
Annie juga tak tahu hal ini. Jadi, ia mendengarkan dengan seksama.
"Memang benar," kata Evern. "Tapi bukan di gudang, tempat itu dinamakan Asrama Biasa. Miss Frost sangat tidak suka dengan murid yang terlambat, menurutnya murid-murid seperti itu tidak menganggap serius studi mereka. Tes Bola Salju itu adalah tes untuk menentukan asrama kita selama enam tahun masa belajar. Saat kita kelas satu, kita juga menjalani tes itu. Iya kan, Lilliet? Kalau kelas dua hingga kelas enam tidak akan mengambil tes itu lagi. Tapi tetap saja, tak boleh terlambat datang ke asrama. Kalau tidak, mereka terpaksa harus tidur di Asrama Biasa. Aku pernah lihat ke dalamnya, dan kelihatannya sangat tidak nyaman! Ranjangnya tua dan berderit-derit. Udaranya juga lembab. Letaknya di dekat dapur, aku tak akan heran kalau ada tikus yang bersembunyi di sana."
"TIKUS? ASTAGA. Mereka hewan mengerikan! Jangan sampai aku terlambat. Di tahun-tahun mendatang lebih baik aku datang seminggu lebih awal daripada tidur di kamar seperti itu," ujar Clairique. "Tak ada yang memberitahukannya padaku sebelumnya."
Mendengar penjelasan Evern tentang Asrama Biasa, Annie terkikik. Itu mengingatkannya pada kamarnya di Fawnington. Ranjang yang tua dan berderit-derit. Serta tikus yang sering menemaninya merajut hingga malam hari. Meskipun Fawnington adalah rumah yang dulunya mewah, namun kemiskinan telah melunturkannya.