Dave pov :
Aku menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Mom sudah memanggil dengan tidak sabar sejak tadi, meminta bergegas.
Acara perjodohan akan dimulai pukul lima sore, dan sekarang masih pukul setengah empat. Mom mengatakan mereka tidak boleh terlambat jika ingin mendapat kesan yang baik dari pihak keluarga yang lain.
Tiba diruang tamu, Mom dengan gaun kuningnya menyambutku, terlihat antusias.
"Lihatlah wajah sempurna putraku, betapa lucunya cucuku nanti, aduh!" Mom merapikan kemejaku. Melihatku dari ujung kepala sampai ujung kaki, merasa puas dengan hasil karyanya.
"Jelas-jelas dia mengikuti wajahku ketika muda dahulu dengan sempurna." Dad tertawa pelan, mengangkat bahunya, bersikap lebih bangga.
"Lihatlah mata hitam dan bibir nya, tentu saja itu dariku!" Mom tidak mau kalah melihat suaminya yang tampak sombong. Dad memang tampan ketika masih muda, tapi tentu saja aku tampan sempurna.
"Lihatlah tinggi badannya, jelas-jelas itu berasal dariku!" Dad meletakkan korannya, melangkah di sampingku. Tinggi kami hampir sama, namun aku sedikit melebihinya. Dad terkekeh bangga, sedangkan Mom mendengus pelan.
Aku tertawa.
"Baiklah, terimakasih untuk kalian berdua." Percakapan ini tanpa mereka sadari sudah menjadi kebiasaan, selalu begitu setiap pagi.
"Jika kau ingin berterima kasih, maka berikanlah aku seorang cucu menggemaskan."
Mom memijat pelan bahuku, tanda dia sedang membujuk. Aku sampai menghafalnya, selanjutnya dia akan berkata 'Mom bukannya sangat menginginkan cucu, tapi rumah besar keluarga William terlalu sepi, tanpa kehidupan. Dad hanya akan menonton atau membaca koran sepanjang hari. Mom juga membutuhkan teman berbelanja' Seorang menantu maksudnya.
Aku menggeleng pelan, permintaan itu lagi.
….
Acara makan keluarga "perjodohan" itu berjalan lancar seperti biasa. Para orangtua yang terus mengobrol, kemudian tertawa.
Aku bukan tidak ingin menikah atau tidak ingin memberikan cucu seperti keinginan Mom, tapi sejauh ini, tak ada satupun wanita yang menarik bagiku. Wanita-wanita itu juga ingin menikahiku karena ketampanan dan uangku, itu pasti.
Walaupun aku tidak terlalu mengerti arti cinta dan pernikahan, tapi dalam rencanaku, aku akan menikah ketika aku ingin dan hanya menikah dengan wanita yang kucintai. Aku adalah Dave William, tanpa kekurangan dan tanpa celah. Bersikap dingin dengan wanita-wanita dan orang-orang diluar sana adalah sikap terbaikku saat ini.
"Perbincangan para orangtua selalu membosankan bukan?" wanita berambut pirang itu mengambil kursi di sebelahku.
Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan yang terlihat dibuat-buat. Mengambil gelas berisi anggur dengan pelan, mencoba menunjukkan jari panjangnya, menggoda laki-laki disekitarnya.
Aku bisa mencium aroma parfumnya yang keras, seperti sengaja disemprotkan berlebihan. Dandanannya bahkan terlalu tebal, tapi tidak terlihat cantik. Warna lipstick merah menyala yang membuat mata sakit. Huh !
"Jangan berusaha, kau membuat mataku sakit!"
Aku menatap datar ke arahnya yang hendak memberikan gelas anggur lainnya kepadaku. Gerakannya terhenti, rautnya mulai jengkel.
Ini membosankan.
Aku melangkah keluar ruangan, mencari udara segar. Mom dan Dad masih sibuk berbincang.
Restoran ini berada dilantai dua, hanya naik tiga lantai lagi akan sampai di atap restoran. Aku pernah kesini sekali, makan malam dengan mitra kerja. Diatap harusnya adalah taman dengan banyak tempat duduk. Para pengunjung yang ingin merokok atau pasangan berkencan biasanya akan berada disana. Karena ini sore hari, kemungkinan ramai di atas, tetapi itu lebih baik daripada di dalam ruangan tadi.
TING !
Pintu lift terbuka. seorang laki-laki dengan gadis di dalam pelukannya, dan seorang gadis lain yang tampak menunduk dalam. Suasana di dalam sana terlihat tidak menyenangkan. Haruskah aku masuk atau tidak?
Gadis dengan dress hitam itu mengangkat kepalanya. Mata kami bertemu. Dia terlihat sedikit kaget, namun segera menyembunyikannya.
"Sudah kukatakan, aku memiliki seorang kekasih." Gadis itu berkata datar kepada gadis dan pria yang bersamanya di dalam lift. Gadis itu melangkah keluar, berjalan lurus, ke arah ku.
"Jangan bergerak!" Gadis itu berhenti didepanku. Berjinjit dan menarik sedikit kepalaku ke bawah. Cup !
Aku terdiam. Gadis itu mengecup lembut bibirku, mataku, dan hidungku. Tangannya dilingkarkan ke belakang leherku dengan anggun. Tersenyum kecil, memperlihatkan giginya yang rata.
"Maaf, aku membuatmu menunggu lama. Ayo!"
Aku masih diam, tidak berkata dan menghindar sedikitpun. Gadis itu menarik tanganku menjauh dari lift, menarik paksa tanganku mengikutinya.
Apakah ini trik selanjutnya? Kemarin mengejarku sampai ke dalam lift, sekarang menyeretku bahkan menciumku? Apa Mom mengirimnya?
Baiklah mari lihat permainanmu gadis kecil.
Dia berhenti menarikku di ujung lorong menuju kamar mandi. Tangannya memegang erat tanganku, sedikit bergetar. Tubuhnya masih membelakangiku, tapi aku bisa merasakan dia tengah mengatur ekspresinya.
"Kau....," gadis itu berbalik, melihatku dengan canggung.
Aku tidak memperhatikannya saat pertemuan pertama kali di lift kemarin,
Brian benar, dia memiliki mata yang lucu. Hidung dan bibir kecil dengan lipstik berwarna wortel. Wajahnya tidak terlalu bulat juga tidak lonjong. Riasan tipis namun terlihat pas dengan warna kulit putihnya. Dia mungkin tidak terlalu memperdulikan riasan. Dia memakai dress hitam, namun memakai sepatu kets menjadi bawahannya. Perpaduan yang tidak serasi, tetapi anehnya itu terlihat cocok dengannya.
"Kau berdiri disana tadi, satu-satunya pilihanku," gadis itu bersandar di dinding, menatap dinding putih lain didepannya.
Heh! Jadi aku baru saja dijadikan sebagai pelarian dari pria yang bersamanya di dalam lift? Dan dia menciumku? Wah !
"Aku harus pergi, terimakasih untuk tadi. Semoga kita tidak bertemu lagi."
What? Mencoba pergi? Setelah berbuat sesuka hati padaku? Aku, Dave William. Kau harus mengenalku untuk bisa lari dariku gadis kecil. Heh.
"Mengapa bermainnya hanya sampai setengah jalan?" Aku menarik tangannya, mendorong dan mengunci tubuhnya ke dinding. Rambutnya menutupi setengah wajahnya karena terus membalikkan kepala.
"Perlu bayaran?" Dia menatapku sinis. Napasnya tenang, tapi terlihat menahan kesal.
"Kau baru saja menciumku tanpa izin, dan sekarang ingin pergi?" Aku tersenyum sinis, menekan tubuhnya dengan tubuhku lebih erat ke dinding. Kemarin gadis ini mengataiku membosankan, heh. Mari lihat sikap sebenarnya pria membosankan ini.
Dia menatapku dengan kesal.
"Ya! Kau memang harus membayarnya"
Aku mencium bibirnya dengan lembut.
Dia terdiam, bergeming. Tangannya sedikit memberontak, tapi tanganku menahannya lebih kuat. Bibirnya yang basah tidak menolak ciumanku, juga tidak membalas. Matanya terpejam, nafasnya naik turun, mulai tidak beraturan.
Dia melepas tangannya pelan, memindahkan tanganku ke pinggangnya. Membuka matanya perlahan, mulai melingkarkan tangannya di leherku. Bibirnya membalas lembut bibirku, itu pelan, tapi manis.
CEKREK
CEKREK
"Dave!"
Gadis itu menghentikan gerakannya, melihat ke arah sumber suara di belakangku. Aku ikut menoleh. Mom berdiri disana, dengan ponsel di tangannya yang diarahkan ke arah kami, mengambil foto. Ekspresinya tampak bingung. Namun detik berikutnya dia tertawa girang, kemudian mendekat.
"Astaga! pantas saja kau selalu menolak gadis-gadis di acara perjodohan itu Dave, ternyata kau sudah memiliki seorang kekasih."
Mom memperhatikan gadis disampingku dengan takjub. Dilihat dari posisi kami saat ini memang terlihat seperti pasangan kekasih yang tengah bermesraan di depan lorong toilet.
"Siapa namamu sayang? Aduh kau sangat cantik." Mom menarik gadis itu ke arahnya, melepasnya dari tubuhku. Gadis itu tersenyum canggung, melihatku penuh tanda tanya.
"L-lisa, Lisa Redriguez,"
"Lisa. Nama yang cantik sesuai dengan wajahmu yang cantik. Astaga aku senang sekali, Dave mengapa kau menyembunyikan kekasihmu dari ibumu sendiri. Jika kau jujur, aku tidak perlu repot mengadakan acara perjodohan seperti ini!"
Aku bahkan baru mengetahui namanya hari ini, bagaimana bisa dia adalah kekasihku? Tunggu! Kekasih dan perjodohan ? Ok, i got you !
"Lisa adalah gadis pemalu Mom, aku juga ingin membawanya ke rumah, tapi dia terus menolak." Aku memasang wajah memelas, bertingkah mengadu kasihan.
Mom melihat Lisa, tertawa cekikikan. Merapikan rambut hitam Lisa yang terus bergerak saat dia menunduk canggung. Tinggi mereka hampir sama, Lisa hanya melebihi Mom sedikit.
Lisa menatapku, terlihat menahan rasa jengkel.