"Om, sakit, Om," desah, seorang wanita muda yang berada di bawah tubuh lelaki berbadan tambun.
"Nikmati saja sayang, setelah ini apa pun yang kamu minta akan, Om, penuhi," ujar balik lelaki, yang berusia 45 tahun itu dengan pelan di kuping wanita muda, yang beberapa saat lalu masih menggunakan seragam SMA pada sekolah ternama di salah satu kota besar.
Mendengar hal itu membuat wanita yang memiliki wajah imut ini bersemangat, seketika dia langsung melupakan rasa peri yang ada diselangkangnya.
Pengalaman yang baru pertama kali dia rasakan, pengalaman yang membuatnya kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupnya, gadis ini tersenyum membayangkan, seseorang yang dia panggil dengan Om ini akan memberikan apa pun yang dia inginkan. Dia sudah tidak sabar lagi menunggu malam ini berakhir.
"Sakit, Om," desahnya kembali. Desahan yang dibuat sebergairah mungkin.
Beberapa waktu sebelum malam yang akan dia sesalin seumur hidup ini dimulai, dia dan seorang gadis belia yang berkumpul pada kamar sederhana bernuansa pink.
"Kalau si Om-om itu mulai tinggi, lu, harus mendesah, katakan, 'sakit, Om.' Pasti si Om, bakal menaiki ritme permainan," ingat remaja yang baru saja duduk di bangku kelas 8 ini.
Mendengar desahan dari gadis muda itu, membuat lelaki yang berada di atas badan gadis itu semangkin bersemangat untuk menikmati badan mungil yang baru kali ini terjamah oleh lelaki.
***
"Hai, bagaimana, tadi malam?" Tanya seorang siswi yang berseragam sekolah dengan ukuran ketat, hingga membentuk tubuhnya.
"Sakit, banget," bisiknya pada siswi yang baru saja menyapanya.
"Tahan, paling juga sore uda hilang," ujarnya, menenangkan pada gadis yang sebaya umurnya dengannya. Gadis dengan model rambut bob itu, memutar badan teman yang bernama Hanum.
"lu, liat apa?" Tanya Hanum, pada temannya yang bernama Mona.
"Kayaknya, lu, dah harus ganti gaya," jelasnya. Tangan Mona mengebas rambut Hanum yang tebal.
Mona masih menatap tajam penampilan Hanum dari ujung rambut hingga ujung sepatu.
"Rambut, lu, bagus. Tapi gak bermodel, terus rok, masih rapi banget, sih, dan tuh, sepatu gak trendi banget," ujar Mona tanpa memedulikan Hanum tersinggung atau tidak. Namun, sepertinya Mona tidak peduli kalau pun temannya ini tersinggung.
"Kan, baru kemarin juga, gua, ganti rok," jawab Hanum polos.
"Iya, lu, sekarang harus bisa jadi cewek yang modis, kayak, gua, biar banyak om-om yang mau," bisik Mona pelan. Siswi cantik ini tidak mau bila murid yang lain mengetahui apa yang mereka lakukan di luar sekolah elite ini.
"Berapa, di kasih sama si Om?" Tanya Mona dengan berbisik.
Hanum menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bila tidak akan ada yang mendengar obrolan mereka. "Sini." Hanum menarik lengan Mona agar lebih dekat lagi. Setelah cukup dekat Hanum langsung membisikkan nominal angka ke telinga Mona. "Sepuluh juta," bisiknya.
"Apa sepuluh juta!!" Tanpa sadar Mona mengulang ucapan Hanum dengan nada suara yang tertahan.
"Suuiit!!" Hanum, langsung menutup mulut Mona.
"Banyak banget, kan!" ujar Hanum dengan wajah ceria.
"Lu, bilang, 'banyak!" Mona memasang wajah serius. Gadis cantik yang berparas seperti Celline Evangelista salah satu artis cantik tanah air itu melipat tangannya di dada, lalu memandang Hanum tajam.
"Iya, banyak, kan?!"
"Bego!" Mona menolak kening Hanum.
Mona membalik badannya, lalu berjalan meninggalkan Hanum yang masih bingung, akan sikap Mona, Hanum tidak mengerti mengapa Mona semarah itu, ketika dia menyebutkan nominal angkanya.
"Lu, kenapa, sih?" Tanya Hanum ketika langkah mereka sudah sejajar.
"Entar, abis selesai sekolah kita ketemu sama, Om lu," ujar Mona kesal.
"Emang kenapa, sih, bukankah sepuluh juta itu uda banyak banget?"
Mendengar hal itu diulang lagi oleh Hanum membuat Mona menghentikan langkahnya. Mona kembali melihat situasi ke kanan dan ke kiri.
"Sini, lu, ikut gua," tarik, Mona pada Hanum ke suatu tempat yang sunyi. Taman belakang kantin menjadi tempat mereka membicarakan prihal sepuluh juta itu.
"Gua Tanya sekali lagi, walau pun hal ini uda gua tanya kemarin …. Lu, benaran masih Virgin kan sebelum di tiduri sama si Om?" tanya Mona dengan suara pelan.
"Gua, berani sumpah, Mon," jawab Hanum yakin.
"Nah, itu yang buat gua marah, lu tahu harga Virgin berapa?" Mona kembali mengatur tempo suaranya, meyakini diri kalau tidak akan ada yang mendengar obrolan mereka.
Mendengar pertanyaan Mona membuat Hanum menggelengkan kepala pelan.
"Huh … gua, juga yang salah, harusnya gua jelasin ini dari kemarin sama, lu,_"
Mona menyenderkan punggungnya ke tembok yang ada di belakang punggungnya.
"Gua ngga bilang sama, lu, karena Om Agus, bakal kasih sesuai kepuasan yang lu berikan, tapi kalau segitu dia keterlaluan banget, bakal gua hajar dia nanti." Bukannya menjelaskan prihal harga sebuah keperawanan pada Hanum, Mona masih tampak sangat kesal dengan Om Agus, lelaki yang telah menikmati keperawanan temannya ini.
"Emang berapa, sih?" tanya Hanum, gadis lugu ini tampak memang tidak mengetahui dunia apa yang sedang dia hadapi.
Mona menarik napasnya dalam, lalu membuangnya kasar. "Lu, memang polos banget, ya," ujar Mona, dengan senyum sinis menatap Hanum. Namun, bukan sinis yang sebenarnya.
"Ada yang sampai seratus juta, paling dikit lima puluh juta," jawab Mona pelan.
"Apa!!" kejut Hanum. Siswi polos itu menutup mulutnya rapat.
"Sekarang, lu, baru tahu, kan?"
"Gila itu banyak, banget."
"Huum. Tapi, itu ngga sebanding dengan apa yang kita pertaruhkan."
"Maksud, lu?"
Mona menatap wajah Hanum yang cantik natural itu, sambil tersenyum, Mona sedikit heran, zaman sekarang masih ada ternyata gadis polos dan lugu seperti temannya yang baru beberapa bulan dia kenal di salah satu sekolah yang terbilang mewah di Ibu Kota ini.
"Lu, polos banget, sih, pantas aja Om Agus suka-suka bayar, lu!" Mona menatap dalam ke dalam kedua bola mata temannya ini.
Siswi yang terkenal sebagai salah satu anak orang kaya ini, memilih untuk tidak menjelaskan apa pun lebih lanjut pada temannya yang masih menunggu Mona untuk menjelaskan ucapannya tadi.
"Suatu saat juga, lu, bakal tahu," sambungnya lagi.
Krriing!
Krriing!
Krriing!
"Dah, ah, yuk, masuk," ujar Mona. Sembari melangkah meninggalkan Hanum yang masih tidak mengerti karena perkataan Mona.
"Mon, maksud, lu, apaan?" kejar Hanum.
"Entar, lu, bakal paham."
Hanum yang memang tidak mengerti maksud dari ucapan Mona, dia memandang punggung Mona dengan seribu tanya.
"Oiya, nanti, selesai sekolah, gua, tunggu di mobil," ujar Mona pada Hanum yang berjalan perlahan, karena rasa nyeri di bagian kewanitaannya itu begitu perih setiap kali dia memaksa untuk bergerak.
Sebelum Hanum menjawab, Mona sudah berlalu pergi.
"Hufp."
Hanum memaksa dirinya untuk melangkah lebih cepat. Pelajaran pertama guru fisika terkenal tegas. Dia tidak mau menjadi bahan perhatian saat dirinya telat masuk kelas. Guru fisik yang bernama Pak Hilman terkenal tepat waktu serta disiplin. Lagian dia tidak mau gaya berjalannya menjadi pertanyaannya besar yang nanti di ajukan oleh guru itu di depan kelas, bila dia telat.