Shui dan Huo terbangun dari pingsan, setelah terjatuh dari jurang.
"Apa yang terjadi?" Shui memegangi kepalanya yang agak pusing.
"Entah! ... Kenapa kepalaku terasa sakit!" Huo memukul-mukul kepalnya.
Kedua anak itu berusaha mengingat hal apa yang menimpa keduanya sampai-sampai mereka pingsan.
Di hadapan mereka, nampak tebing yang menjulang tinggi, menembus awan putih tebal.
"Aku ingat, kita tadi jatuh di jurang ini!"
"Kau benar,"
Merasa tak penting terlalu larut dalam memikirkan alasan keduanya pingsan, Baik Huo maupun Shui beranjak, lalu berjalan tanpa arah.
Keduanya memasuki hutan lebat, mencari hewan yang bisa mereka jadikan sebagai hidangan. Dikarenakan perut mereka yang terasa lapar, dan tak berhenti bersuara.
Lama mereka berjalan. Namun tak kunjung menemukan satupun buruan. Hanya seekor semut dan nyamuk yang keduanya temukan.
"Kenapa di sini tak ada satupun hewan yang bisa kita jadikan makanan?" Shui menceletuk kesal.
"Tak ada jalan lain!" Huo menoleh ke arah pohon apel yang berbuah emas berjarak beberapa meter di depan mereka.
Kemudian dia berlari dan memanjat pohon apel tersebut. Memetik dua buah lalu menyerahkannya pada Shui.
"Ini!"
Meski enggan, namun Shui tetap menerimanya. Daripada tidak makan sama sekali.
Setelah menghabiskan satu buah apel, keduanya mulai merasakan energi mereka kembali terisi setengahnya.
Huo kemudian memanjat dan memetik dua buah apel lagi. Namun saat hendak memetik apel kedua, pandangannya salah menangkap sesuatu berwarna hitam. Saat di periksa dengan seksama, ternyata benda tersebut adalah salah satu dari buah apel Emas. Namun anehnya buah itu berwarna hitam.
Karena penasaran ia pun berniat memetiknya.
"Shui, lihat ini!"
Huo memperlihatkan apel hitam yang baru saja ia dapat pada Shui.
"Apa itu!"
"Buah apel Emas, namun memiliki warna hitam mengkilap. Buah ini aku dapat dari pohon itu."
Shui mengambil buah apel hitam dari tangan Huo. Diperhatikannya buah tersebut dengan teliti.
"Aneh!"
Shui mengusap-usap apel tersebut karena tertarik dengan setitik kecil berwarna putih yang ada pada kulit buah tersebut.
Mendadak, sesuatu yang tak terduga terjadi. Buah tersebut tiba-tiba mengeluarkan cahaya berwarna hitam. Setelahnya terangkat dengan sendirinya dari tangan Shui.
"Woaah!"
Kedua anak itu begitu terkesiap melihat buah apel hitam itu yang terangkat dengan sendirinya. Asap hitam juga mulai keluar dari buah apel itu.
Tak berselang lama, buah itu meledak, membuat asap hitam kian menyebar.
"Hehehe!"
Suara tawa terdengar dari kabut asap hitam tersebut. Tak lama setelahnya, muncul sosok nenek-nenek dengan pakaian hitam serta tongkat yang di pegangnya.
Anehnya, Nenek itu tak berhenti tertawa. Butuh waktu satu menit sebelum akhirnya sang nenek berhenti dengan tawanya.
"Anak muda, terima kasih karena kalian telah melepaskan nenek dari kutukan itu, Hehehe!"
Baik Huo, maupun Shui menatap nenek tersebut dengan tatapan bingung. Tak pernah di sangka, buah apel bisa berubah menjadi seorang nenek-nenek sebelumnya. Di tambah, penampilan nenek itu begitu menyeramkan.
Melihat tak ada respon dari kedua anak kecil terhadap perkataannya barusan, Nenek tersebut berniat memperkenalkan diri.
"Hehehe... Anak kecil, sebelumnya perkenalkan nama nenek adalah Wupo. Seorang penyihir yang begitu terkenal pada masanya. Tak ada yang bisa mengalahkan kekuatan mantra nenek." Nenek Wupo berkata dengan penuh kebanggaan terdengar jelas dari intonasi yang di keluarkan.
Huo mengernyit mendengar perkataan Nenek Wupo.
"Nenek... Jika nenek memang sangat hebat, lalu kenapa nenek bisa menjadi buah apel hitam?" tanya Huo dengan polosnya.
"Hehehehupp!" Nenek Wupo yang tertawa tiba-tiba tersedak tawanya sendiri.
"Eehh, itu ... itu!" Nenek Wupo mencoba mengingat kejadian beberapa puluh ribu tahun. Dimana awal mula dirinya menjelma menjadi buah apel hitam.
"Itu karena Dewa matahari dan Dewi bulan Sial itu yang mengakali ku. Sehingga membuat ku terkena kutukan ku sendiri!" Nenek Wupo mencengkeram tingkatnya dengan keras.
"Ouw!" Huo dan Shui menjawab singkat, tanpa beban.