Chereads / Manisnya madu sang mayit / Chapter 3 - Jeyna....

Chapter 3 - Jeyna....

"pagi berangkat, sore pulang makan mandi lalu tidur, begitu-gitu aja hidup aku gak ada yang istimewa, gak kenal namanya pasar malam, gak kenal pasar sore gak kenal juga sama pacaran. Mungkin udah takdir kali ya hidup aku gini-gini aja". Ungkapan tersebut adalah milik seseorang yang sebenarnya justru sudah banyak melalui kekelaman dalam hidupnya. Terkadang sebuah tanda tanya bukan karena ia tak tau melainkan untuk menguji. Begitu pula dengan ungkapan tadi. Yang di miliki seorang bernama jeyna.

Sudah pasti air laut asin, air yang datar,.. Permukaannya. Begitulah ibaratnya yang di dalam kenyataannya adalah dia sudah pernah berada di fase yang tidak di katakannya. Ungkapan tersebut bisa di katakan sebagai lambang keputusasaan yang mendalam, penyesalan yang mengantarkannya pada kekecewaan setelah banyak mengalami kegagalan yang dia sudah banyak berkorban segalanya. Tapi ternyata dia tak mampu mempertahankannya.Jeyna memang bukan anak yang soleha. Dia banyak melakukan hal yang membuat orang tuanya bersusah hati, namun kasih sayang orang tuanya tak surut, tak berkurang sedikitpun untuknya. Doa-doa nya selalu ada di tiap langkahnya. Di masa kecilnya Jeyna adalah seorang anak yang sangat istimewa dia adalah anak ke lima. Namun ke empat lainnya meninggal dalam masa mereka masih bayi. Dari itu Jeyna adalah anak yang sangat di manja oleh orang tuanya, segala untuknya adalah yang di utamakan, segala keinginannya pastilah di turuti oleh orang tuanya. Dan satu hal yang tak kalah penting juga adalah pendidikan. Orang tuanya sangat berambisi untuk menjadikan Jeyna sesosok wanita muslimah yang mengedepankan pendidikan dalam bidang agama, apapun syarat dan biayanya mereka akan sediakan untuk Jeyna, dari bayi baru lahir orang tuanya sudah terbiasa mengajaknya mengaji. Lantunan sholawat dan bacaan Al qur'an adalah makanan Jeyna setiap waktu. Disitulah masa-masa kesempurnaan hidup orang tuanya. Di umur nya yang baru menginjak 3 tahun Jeyna sudah bisa membaca Al qur'an, tentulah ini adalah hal yang sangat istimewa karna jika di usia anak merata hanya baru bisa menghafaf huruf hijaiyah saja, suaranyapun sudah terdengar merdu, tingkah nya sangat menggemaskan. Dia banyak di sukai dari banyak kalangan, Jeyna sering mendapatkan kejuaraan tiap kali mengikuti perlombaan, entah itu dekat ataupun jauh. Dengan banyak keistimewaan yang dia dapatkan dari orang lain, pujian demi pujian, sanjungan demi sanjungan begitu mudah dia dapatkan seolah dia adalah mawar putih diantara ribuan melati. Tentu saja dia sangatlah berbeda, Jeyna memang tidaklah berbadan tinggi dan berkulit putih. Tinggi badannya seperti pada anak biasanya dan juga tidak terlalu gemuk. Pipinya yang bulat, bibirnya yang tipis dan dia selalu pakai ciba' di kelopak matanya, wajahnya terlihat sangat manis. Begitu ramah sikapnya kepada guru-gurunya. Memang banyak yang suka tapi tak ada yang bisa berteman dekat, itu karena Jeyna berbeda. Mereka yang ingin berteman dekat merasa tidak pantas dan dari semua perjalanan itu Jeyna menjadi sosok yang angkuh, merasa tidak butuh orang lain. Orang lain baginya hanyalah pajangan yang tak ada gunanya. Begitu juga kian lama orang-orang yang dulunya suka berubah sikap, lain di depan lain di belakang. Di depan tetap memuji di belakang berbalik menggunjing, sudah terlalu lama Jeyna bersikap bodo amat dan ternyata kian lama itu tidak mudah untuk di lalui, karena seakan yang semua Jeyna lakukan hanya akan menjadi sebuah kesalahan. Namun Jeyna tetaplah Jeyna. Dia tetap bisa berprestasi di masa dia tak di anggap ada oleh sebagian orang. Bagi Jeyna yang terpenting saat itu adalah adanya orang tua yang selalu ada untuknya, Tapi dia lupa bahwa di balik kecerahan pendidikan nya tak lain karena adanya sebuah kasih sayang yang sangat besar dan perjuangan yang berat serta Doa-doanya yang tak pernah putus dari kedua orangTuanya. Yang Jeyna tau hanyalah bahwa mencukupi semua kebutuhannya adalah kewajiban untuk orang tuanya. Memang itu adalah kewajiban, tapi tanpa kasih sayang tentu saja akan menjadi hampa, dan itulah yang tidak di pahami oleh Jeyna, yang dia tau hanyalah keinginannya tanpa merasa berbelas kasihan terhadap apa yang orang tuanya korbankan untuknya. Orang tua Jeyna bukanlah orang yang berpunya. Tapi demi kebahagiaan Jeyna, demi terwujutnya setiap keinginannya orang tuanya berusaha dengan bekerja lebih keras tak kenal lelah, tak peduli hujan atau terik yang sedang terjadi.

Ayahnya hanyalah seorang pedagang buah keliling di pinggiran kota yang tak punya pangkalan. Sementara ibunya adalah sebagai buruh tani di kampung nya. Jeyna tidak merasa minder dengan pekerjaan orang tuanya, karena sejak kecil sudah di pahamkan dengan keadaan yang terpenting adalah ada usaha dan ada hasilnya untuk menuruti semua yang Jeyna minta. Ini adalah sepenggal dari kisah seorang Jeyna. Belum sepenuh nya belum lagi tentang keputus-asaannya yang hingga dia harus pergi meninggalkan orang tuanya yang kala itu sedang sakit keras. Sedang yang ada di benak Jeyna adalah keputusasaan. Dia sudah tidak sanggup dengan keadaan itu, dia merasa terus tertekan dengan semua yang telah dia lakukan. Tangisnya tertatih meluluhkan tulang badannya, membuatnya meleleh bagaikan lilin yang terbakar. Linangan air matanya tak henti. Dia tau hari tak akan bisa kembali. Sesuai yang dia tau. Dalam sebuah kisah yang bersumber dari buku yang pernah Jeyna baca yang memceritakan tebak-tebakan antara sang Guru dengan murid nya. Bertanya sang guru tersebut kepada beberapa murid nya. "Tempat apakah yang paling jauh?" jawaban dari muridnya bermacam-macam tapi tidak satupun ada yang tepat, kemudian sang Guru menjelaskan bahwa yang terjauh adalah masalalu

Hari-hari kemarin yang tak bisa kita lewati kembali. Dan tak ada satupun kendaraan yang bisa mengantar kita ke sana. Pemahan itu begitu mendalam menusuk hatinya. Jeyna tertunduk lemah dan berkata "Jika aku tetap ada di rumah. Pasti aku hanya akan tambah membenani hidup orangtua ku, aku akan pergi agar hidup kalian lebih baik". Begitulah harapan Jeyna. Tentu saja dia tak berani mengatakan perpisahan tersebut. Karna dia tau betapa besar kasih sayang orangtuanya. ini adalah kisah yang akan datang beberapa tahun kemudian. Perjalanan ini masih akan lama, masih akan butuh banyak waktu. Seperti halnya dengan kisah hidup nya Fidho

Berharap anaknya sukses dunia akhirat pastilah harapan semua orang tua. Begitu juga dengan yang di lalukan oleh orang tuanya Fihdo, mengutamakan segala hal untuk kepentingan dan kebutuhan Fidho selama di Pondok pesantren. Dengan harapan dia bisa menjadi orang yang teladan menjadi pengemuka Agama di daerahnya, terutama menjadi harapan untuk masa depan kampungnya. "Kalau yang muda tidak belajar lebih giat. Lalu siapa yang akan melanjutkan perjuangan dalam mempertahankan kelurusan masalah Agama ini." begitu yang pernah di katakan dengan berulang-ulang oleh Mbah Mulyo tiap kali bertemu dengan Fidho. Tentulah dengan kemajuan Agama yang terjadi akan mengantarkan kita pada masa yang lebih cerah. Sebagaimana dengan sebuah kata yang pernah juga Fidho dengan dari Bapak ustad di pondok pesantrennya. Bahwa "Tidaklah adanya kemajuan ekonomi yang terjadi di suatu masa atau suatu daerah (lingkungan) tersebut terjadi, melainkan adanya pertumbuhan dan perkembangan dari bidang Agama. Dan rintangannya pastilah adanya manusia-manusia yang belum merdeka. Bukan merdeka dari penjajahan melainkan merdeka dari hati yang kikir, pelit, medhit, mecakil dan bisa di sebut dengan berbeda-beda di setiap daerahnya. Intinya "Tidak akan pernah bisa terjadi pertumbuhan dalam bidang Agama dalam suatu masa dan dalam suatu daerah jika! Para penghuninya adalah orang yang kikir. Bagaimana bisa akan bertumbuh jika hanya mengorbankan waktu saja dia tidak bisa, apalagi berkorban dengan hartanya.