Terik matahari hampir berada di atas kepalanya, dengan mengenakan celana jeans, kaos hitam berukuran fit ditambah kemeja untuk outer. Tak lupa topi kesayangan yang sudah usang ia kenakan untuk melindungi kepalanyadari sengatan panasnya matahari.
Untung saja setelah mengambil barang, Sandy bisa langsung mendapatkan ojek online. Perjalanan yang diitempuh memakan waktu hampir 35 menit lamanya, masih ada sisa 5 menit sebelum waktu yan diberikan habis.
Sesampainya di sana, Sandy segera berlari menuju meja penjaga dan mengatakan jika sudah ada janji temu dengan Tuan Frans, seraya menunjukkan dua setelan jas yang masih dibungkus rapih.
"Mari saya antar," ucapnya dengan ramah, meski begitu tidak ada senyum yang tersungging di sudut bibirnya.
Gedung berlantai 17 tampak bersih dan rapih, beberapa tanaman hias terlihat hijau dan segar di setiap penjuru ruangan yang keduanya lalui. Beberapa ruangan kaca pun nampak dipenuhi dengan sejumlah pegawai yang menempati mejanya masing-masing.
Mereka nampak fokus dengan layar monitor di hadapannya, meski sesekali melirikke arah ke arah tumpukkan kertas di atas meja sebelah kanan atau kirinya. Tanpa disadari, Sandy tersenyum melihatnya. Rasanya baru sekali dalam hidupnya bisa melihat 'orang kantoran' yang memang disiplin.
Setidaknya ia bisa melihat bagaimana parapegawai bekerja, meski dirinya yang bercita-cita ingin menjadi orang kantoran harus dipatahkan oleh riwayat pendidikan yang hanya lulusan SMA.
"Nona, silahkan masuk!" serunya mengejutkan, seketika membuat gadis berusia 27 tahun tersebut harus mengerem secara mendadak sebelum menabrak security berbadan tegap tersebut.
"S-sudah sampai ya? Eum, terimakasih Pak ... "
Security itu hanya tersenyum simpul, mengangguk pelan dan melenggang pergi meninggalkan Sandy yang masih berdiri di depan pintu sebuah ruangan di lantai 15. Dengan cepat ia pun mengetuk pintu tersebut, yang mana dalam hitungan detik pintu sudah terbuka dengan sendirinya.
Sebuah ruangan yang benar-benar luas, bernuansa putih keemasan. Siapa yang tidak terpana saat pertamakali melihatnya, hingga membuat Sandy menganga tanpa ia sadari.
"Masuk!" serunya dari dalam sana.
"Pakai saja sepatumu," imbuhnya, sontak membuat Sandy terkejut untuk kesekian kalinya.
Tak jauh dari pintu yang ia masuki, terdapat sebuah ruangan kaca di sebelah kiri. Dan beberapa Sofa berwarna cream senada dengan seisi furniture yang lain. Belum terlihat di mana sang pemilik suara yang mempersilahkannya masuk.
Kedua matanya yang tajam langsung bekerja mencari sosok pria yang sudah melakukan janji temu dengannya. Yang mana harus membuatnya tidak bisa menikmati hari liburnya yang hanya dua minggu sekali.
"Astaga! Di mana orang itu?" gumamnya sedikit kesal, setelah hampir 10 menit lamanya tidak menemukan sosok yang dicarinya.
"Maaf harus menunggu, ada pekerjaan yang harus di selesaikan," ucapnya dari belakang.
"Astaga!!" serunya dengan lantang, ketika melihat sosok pria tinggi sudah berdiri di belakangnya dengan jarak yang lumayan dekat.
"Langsung saja, 5 menit lagi Tuan Ken akan datang. Nona bisa mempersiapkannya mulai dari sekarang," ujarnya tanpa basa-basi.
Paham dengan yang dimaksud pria di hadapannya, Sabdy pun segera membawa dua setelan jas ke dalam ruang kaca di samping kirinya, betapa terkejutnya Sandy saat mengetahuu ternyata ruang kaca tersebut tembus pandang untuk melihat ke arah luar, namun sebaliknya tidak bisa terlihat seisi di dalam dari luar sana.
Untung saja, saat kedatangannya tidak ada orang di sini. Dia pun tidak melakukan hal-hal aneh yang mungkin bisa memperlakukan dirinya ketika diam-diam ada seseorang yang melihatnya tanpa ia ketahui.
Langsung saja ia menggantungkan dua stelan jas pada lemari kayu tak berkaca, meski begitu terlihat kualitasnya sangat bagus. Ada buliran emas yang seperti ditaburi tak beraturan di setiap sisi kayu lemari tersebut.
Tak lama kemudian, terdengar suara obrolan dari luar sana. Tanpa basa-basi lagi ia pun segera keluar dti ruangan kaca untuk segera menyelesaikan transaksi pada Tuan Frans.
"Siapa dia?" tanya seorang pria yang kini tengah menatap Sandy dengan begitu tajam, sorot matanya lebih dingin dibandingkan dengan wajah Frans.
Suasana menjadi hening, Sandy tak mampu berkata-kata meski kedua matanya dengan lancang berani menatap ke arah pria yang baru saja dilihatnya. Sedangkan berbeda dengan Frans yang terlihat lebih lembut saat itu.
"Maaf Tuan, designer yang biasa bekerja sama dengan kita sedang tidak bisa. Untung itu saya mencari designer lain yang tidak kalah dengan biasanya," jawab Frans tegas. Tentu saja membuat Sandy harus menelan cairan salivanya berkali-kali, terasa aneh didengar ketika ada orang lain yang menyebutnya sebagai designer. Padahal, dia hanyalah seorang pemilik toko pakaian biasa.
"Hentikan saja kerjasama dengannya, dia sudah beberapa kali tidak bisa diandalkan!" gerutunya mendengus kesal.
"Tapi Tuan ... "
"Kau tau kan? Aku tidak suka dengan kalimat itu, segera hubungi dia dan katakan kerjasama sudah berakhir, acara akan segera dimulai ... Cepat bantu aku," imbuhnya berlalu melewati Sandy yang masih terpaku di tengah obrolan dua pria berwajah dingin.
"Sebentar, Nona ... " ucap Frans, seraya mengikuti Tuan Ken dari arah belakang.
Sementara itu, Sandy masih berdiri di tempat yang sama. Seraya meremas jemarinya yang seketika dingin ketika harus menyaksikan perdebatan dingin yang tidak ia pahami sama sekali.
"Aish, kalau tidak demi uang ... aku pasti sudah pergi dari sini. Ruangan ini sudah dingin, ditambah dua pria itu yang berwajah dingin dan sedikit pucat ... " dengusnya lirih.
Waktu terus berjalan, tak terasa sudah hampir 10enit, Sandy terus berdiri menantikan pembayaran dua stelan jas dari Frans. Hingga akhirnya dua pria berbadan tegap tersebut keluar dari ruangan kaca. Sandy yang tak berani menatap wajahnya hanya bisa menunduk melihat jari-jari kakinya yang mungil.
Tak banyak obrolan saat itu, Tuan Ken berlalu tanpa menyapa sepatah katapun. Meski begitu, Frans tidak langsung pergi. Ia mengambil secarik kertas kecil dari atas meja kaca yang berada di antara dua vas bunga yang terbuat dari kaca.
"Terimakasih untuk hari ini, kami merasa sangat terbantu dengan stelan Jas yang Nona bawakan,"
"Cek?" tanyanya dengan datar.
"Ya, Nona bisa mencairkannya di Bank depan gedung ini, kapanpun yang Nona mau ... "
"Maaf Tuan, tapi aku tidak pernah menggunakan cek apalagi mencairkan uang. Aku rasa petugas Bank pun tidak akan percaya dengan penampilanku," jawabnya yang sudah pesimis lebih dulu.
"Nanti aku akan hubungi pihak bank. Oh ya panggil saja namaku, Frans!" sahutnya.
"Ah, baiklah. Frans ... Panggil juga namaku, jangan Nona! Aku merasa geli mendnegarnya. Oh ya, sekali lagi aku mau cash saja!" tolaknya tetap pada pendirian.
Frans hanya menghela nafas panjang dan merogoh kantong celananya. Dan tanpa menunggu lama, wanita paruh baya datang dengan sebuah koper kecil di tangan kanannya. Lagi-lagi Sandy melihat wanita itu berwajah datar, tidak ada sedikitpun senyum di bibirnya. Polesan make up yang medok, membuatnya terkesan lebih tegas seperti anak majikan yang beberapa tahun lalu pernah bekerja sama dengannya.