"Jika Nisa memilih tinggal, aku bisa enggak pergi."
Jika semua bisa kembali baik-baik saja, aku bisa mengorbankan apa pun. Aku bisa mengubah cita-cita dan mimpiku. Aku akan mulai mencari pekerjaan yang layak. Aku bisa melakukan apa pun.
Nisa menggeleng. "Kita enggak bisa melakukan itu."
"Benar," sahutku. "Karena selamanya aku enggak akan pernah menjadi pilihan prioritas untuk Nisa. Dulu seperti itu Sekarang pun sama."
Aku tidak tahu kenapa kata-kataku justru menyakiti diriku sendiri. Aku tidak tahu kenapa aku harus mengatakan kata-kata jahat padahal kami baru saja bertemu. Padahal aku sangat merindukannya.
Mata Nisa berkaca-kaca. Kata-kataku jelas menyakitkannya. Aku tidak tahu apa yang telah ia alami selama Cris menculiknya. Aku tidak tahu alasannya memilih untuk tetap pergi, aku bahkan belum bertanya. Tapi aku sudah menyudutkan Nisa. Aku memang tolol. Dulu seperti ini, sekarang pun seperti ini.