Di awal kehidupannya saat belum mengenal siapa jati dirinya, Rachel hampir selalu dihantui oleh peristiwa aneh, terutama mimpi. Seiring dengan datangnya mimpi itu yang hampir tiap malam, ibunya juga mulai bertingkah aneh, Ia meminta anak-anaknya untuk meminang lelaki bangsawan dari kalangan saudagar ataupun seorang pangeran.
"Rachel... Tunggu aku!"
Sepasang kekasih berlarian di tengah hutan yang rindang, sang gadis tertawa riang menghindari kejaran kekasihnya di belakang. Ia menoleh meyakinkan diri bahwa jaraknya dengan kekasih tidak terlalu dekat sehingga tidak akan tertangkap. Namun saat Ia menoleh, apa yang dilihatnya bukanlah Cuon kekasihnya melainkan seekor serigala yang tengah mengejarnya.
"Tolong...."
Rachel terus berlari sembari berteriak sekeras mungkin.
"Cuon, Cuon, Di mana Kau?"
Ia berusaha berpikir positif bahwa Cuon tidak mati diterkam serigala. Baru saja Cuon memanggilnya tetapi Ia malah tertawa senang karena mengira Cuon hanya bercanda. Rachel menoleh kembali dan serigala itu semakin dekat.
"Tidak, tidak, tidak," suaranya lirih terengah-engah.
Sesuatu menerkamnya dari belakang, "Aaa...."
Rachel terduduk dengan napas tersengal-sengal, Ia mengucek mata lalu melihat sekitar dan ternyata dirinya berada di kasur usang miliknya. Kedua tangannya menangkup wajah bersyukur.
"Cuma mimpi, tapi lagi-lagi mimpi buruk," batinnya.
Malam-malam sebelumnya Rachel juga bermimpi tentang hal yang sama, berlarian lalu dikejar serigala.
"Siapakah Cuon? Lelaki itu selalu berada di mimpi burukku," Rachel beranjak dari kasurnya menuju dapur.
Ditemani cahaya redup dari lampu minyak, Rachel meneguk air putih dari cawan, setelahnya Ia memejamkan mata lalu menghela napas dalam-dalam. Terdengar suara binatang-binatang malam di sekitar pondoknya. Samar-samar gemuruh ombak di pesisir juga terdengar.
Ia meraih papan kayu dan ranting yang ujungnya ditumbuk hingga menyerupai kuas. Di botol-botol kecil yang terbuat dari tanah liat, pewarna yang Ia ramu sendiri dari tumbuh-tumbuhan menjadi pelengkap perkakasnya. Di tengah malam yang hanya diterangi oleh lampu minyak, Rachel melukis wajah lelaki yang muncul di mimpinya. Lelaki itu adalah Cuon.
Sampai detik ini, terhitung ada dua puluh satu lukisan wajah Cuon yang Rachel simpan diam-diam di bawah dipannya. Setiap Ia habis bermimpi tentang lelaki itu, Ia selalu melukisnya. Secara tidak langsung, Rachel melakukan penelitian apakah wajah di setiap mimpinya adalah lelaki yang sama.
Rachel menyempurnakan lukisannya sampai Ia kembali mengantuk.
Di tidurnya yang selanjutnya, Ia kembali bermimpi tentang lelaki dengan tubuh yang sama. Wajahnya sama persis, tetapi anehnya Ia memanggil lelaki itu dengan nama yang berbeda. Lelaki itu bukan Cuon yang menemaninya berlarian di tengah hutan. Tampilannya sungguh rupawan bak bangsawan yang disegani.
Mereka bertemu di sebuah dunia yang sangat modern, dengan pakaian asing dari pakaian yang biasa Ia kenakan. Lelaki itu, Danique, menciumnya ketika mereka berada di sebuah ruangan kotak yang bergerak membawa mereka ke tempat yang lebih tinggi.
"Rachel, I love you," bisik Danique dengan suara berat penuh gairah.
Namun saat lelaki itu mencondongkan bibir semakin dekat, Rachel bisa mengintip dada bidang lelaki itu dari celah kemeja yang kancing paling atasnya tidak dipasangkan. Ada bulu lebat yang tidak wajar di sana. Bulu lelaki itu mirip bulu binatang buas. Bibir lelaki itu mulai menempel di bibirnya tetapi instingnya mendorong untuk berteriak.
"TIDAK, INI CUMA MIMPI!" teriak Rachel.
Rachel kembali bangun dengan napas tersengal-sengal, Ia masih di kasur usang yang sama, bukan di kotak asing bersama lelaki aneh bernama Danique.
Oh, setelah bermimpi dikejar serigala kini dirinya juga bermimpi bertemu lelaki yang aneh. Rachel mendengus frustasi, entah bagaimana dirinya secara tidak sengaja mengintip ke bagian dalam kemeja lelaki asing itu.
"Danique, namanya Danique," gumam Rachel.
Ia beranjak dari dipan dan melangkah pelan menuju jendela di sisi kamar, jemarinya yang lentik bertumpu pada kusen jendela. Kicau burung terdengar bersahut-sahutan, ayam jantan berkokok, aroma asap yang mengepul dari dapur-dapur menunjukkan bahwa para penduduk sudah mulai mengolah makanan. Cahaya kekuningan di ufuk timur pun mulai menyembul menembus rimbunnya pepohonan.
Di bawah sana Rachel melihat kakak perempuannya tengah menimba air di sumur samping pondok mereka. Gadis itu sudah beranjak dewasa dan sudah cukup matang untuk menikah. Namun hingga kini belum ada satu pemuda desa pun yang sudi meliriknya. Menurutnya kakaknya cukup cantik, meski bukan yang paling cantik di penjuru desa.
"Rachel, turunlah," seru kakaknya yang menyadari bahwa Rachel sedari tadi memerhatikannya.
"Tidak perlu terburu-buru untuk mandi pagi karena air selalu berlimpah," sahut Rachel. Ia tidak bosan membuat kakaknya jengkel sampai mengumpat.
Setelah menyerukan kalimat panjang itu, Rachel berlari keluar kamar dan menuju dapur. Ibunya tengah menyiapkan sarapan. Seolah tahu bahwa ibunya memasak makanan spesial yang berbeda dari biasanya, Rachel turut menimbrung di depan tungku.
"Ibu masak daging?!" pekik Rachel dengan wajah berbinar-binar.
Ibunya tersenyum melihat si bungsu puas dengan apa yang bakal mereka nikmati hari ini. Biasanya, perempuan tua itu hanya merebus sayuran dengan bumbu ala kadarnya serta minuman ekstrak apel atau buah lainnya. Dengan senang hati Rachel membantu ibunya menyajikan makanan-makanan tersebut di meja makan.
"Uang dari mana ibu bisa membeli ini semua?" Datura yang hanya berbalut handuk dan rambut digulung asal-asalan mengagetkan mereka.
Rachel menoleh ke arah kakaknya dengan kesal, mengapa harus dipikirkan asal muasal makanan di meja itu? Toh, sekarang mereka tinggal makan saja.
"Ibu menambah hutang lagi?" Datura pun mempertegas pertanyaannya karena tidak kunjung mendapat jawaban.
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Datura, berpakaianlah dan segera sarapan," ujar sang ibu.
Setelah kedua anak gadisnya duduk di sisi meja makan dan menikmati sarapan dengan lauk daging dan susu segar, sang ibu mulai menuturkan keinginannya.
"Ibu ingin sekali kalian semua bisa hidup dengan layak, memiliki keluarga yang terpandang, dan melahirkan bayi-bayi yang sehat dan cerdas. Maka dari itu, cepatlah menikah dengan lelaki yang tepat," tutur sang ibu.
"Lelaki yang tepat itu lelaki yang seperti apa menurut ibu?" Datura meletakkan sendoknya di atas piring.
"Dua hari yang lalu ada seorang taipan dari kota yang konon masih sangat muda. Ia sempat berkunjung ke desa ini, ke tempat tengkulak di mana kita menyetorkan hasil petikan apel kita," sang ibu tersenyum bahagia.
"Lalu, apa hubungannya dengan kita, Bu?" kini Rachel angkat bicara karena bingubg ibunya tidak menjawab pertanyaan kakaknya.
"Jika kalian mau, lelaki itu bisa jadi adalah orang yang tepat untuk dinikahi. Pinanglah Ia," sang ibu berujar dengan mantap.
"Hah?!" Datura membelalak lalu tiga detik kemudian tertawa terbahak-bahak.
Rachel mengerutkan dahi sembari menahan tawa, ibunya ingin taipan itu menjadi suami salah satu anaknya. Apa tidak salah? Baru saja semalam Ia dua kali bermimpi bertemu dengan lelaki dengan wajah yang sama namun memiliki nama yang berbeda, pagi ini isi kepalanya kembali diwarnai oleh pikiran tentang lelaki.
"Jangan berkecil hati, kalian semua bisa mendapatkan lelaki terpandang. Taipan muda itu hanya contoh kecil saja, masih banyak lelaki lain yang juga pantas kalian kejar," ujar sang ibu.
Kini Rachel dan Datura saling berpandangan, rupanya ibu mereka tidak sedang bercanda. Ia benar-benar memiliki keinginan kuat untuk memiliki besan dari keluarga bangsawan.
***