DERAIAN air mata gadis itu hentikan. Bella yang masih kesal dengan pria di hotel tadi, berusaha menghilangkan pikiran menjijikan di kepalanya. Dia kini pulang menggunakan bus, dengan tas yang dia genggam erat. Yang ada di pikirannya, hanya bagaimana dia bisa menjelaskan tentang aksi melarikan dirinya tadi. Pria tua tadi merupakan bagian tokoh penting di negeri ini. Hidupnya di ujung tanduk sekarang. Dia juga takut, jika semuanya malah membuat adik nya lebih menderita.
"Akh, apa yang harus aku katakan," batinnya sembari menyandarkan kepalanya ke jendela kaca bus tersebut.
Bella melihat sebuah mobil biru, dengan plat yang dia ketahui. Dari kejauhan, dia tampak sumringah.
"Hah? Josh ada di sini? Apa dia sedang menungguku?" ucapnya.
Bella yakin kekasihnya ada di rumahnya saat ini. Hingga Bella sampai di pemberhentiannya.
Sebelum gadis itu masuk, dia meneliti mobil tersebut. Dengan yakin bahwa itu mobil kekasihnya.
Bella yang tadi merasa kesal, karena mendapatkan kesialan dua kali. Dia berharap, Josh bisa memudarkan sedihnya itu.
Kreet
Suara pintu yang dibuka pelan gadis itu.
"Hah? Masa, sih tidak ada orang?" batinnya.
Suara aneh terdengar dari kamarnya. Tawa yang tercampur mengalun keras di telinganya.
'Aku merasa tidak asing dengan suara ini,' batinnya.
Brakk!!
Tendangan yang di buat Bella menghentikan aksi tidak senonohnya mereka. Mereka saling menutupi diri dengan selimut tebal putih milik Bella. Sedangkan Bella, dia sudah lebih dulu berderaian air mata. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sakit. Sangat sakit.
"Kakak," ucapnya dengan suara yang serak.
Gadis itu berusaha menahan amarahnya. Namun, meledak seketika.
"A-aku bisa jelaskan, Bella," kata kekasihnya yang berganti baju terburu-buru. "Ini tidak seperti yang kamu lihat," sambungnya.
"Diam! Aku sudah melihat semuanya! Kalian, bagaimana kalian melakukan ini terhadapku? Hah?!" sentak Bella dengan mata yang membelalak dan telunjuk yang menunjuk-nunjuk.
Setelah selesai berganti baju, Cindy menghampiri Bella dengan kedua tangannya yang menyilang masuk.
"Kenapa? Tidak suka? Aku pikir kamu sudah tahu diri dari dulu. Bella, ingat, ya! Kamu ini tidak pantas untuk Josh. Kamu hanya aib baginya. Apa yang harus kita banggakan dari kamu? Kamu tidak punya apa-apa sekarang. Ayah sudah tidak ada. Tidak ada lagi yang membelamu, jalang," sarkas Cindy yang menaikan satu alisnya dengan puas.
Plakkk!
Layangan tangan mungil gadis tersebut terdengar nyaring.
"Bella! Apa yang kamu lakukan pada kakakmu?" sentak Josh.
Josh memegang lengan Bella kasar. Jelas sekali, dia membela kakaknya Bella itu.
"Kakak? Kenapa kamu tidak bilang pacarku?! Harusnya seperti itu, bukan?" kata Bella dengan air mata yang menggenang kembali.
Dia tidak menyangka, orang yang dia sayangi, akan jatuh terhadap kakaknya yang licik ini.
"Bella!" sentak gadis berumur 50 tahun tersebut. Dia adalah ibu tirinya-Hanna.
Plakk!!
"Berani-beraninya kamu menampar anakku," ucapnya dengan balasan tamparan tadi.
"I-ibu, aku meminta maaf atas kesalahan kakak," ucap Simon, adik Bella yang bersujud kepada Hanna.
"Angkat tubuhmu, Simon. Kita adalah tuan rumah di sini," ucap gadis itu dengan bibir yang bergetar.
"Tuan rumah? Haha. Mimpi! Kamu pikir setelah ini kamu bisa tinggal di sini? Tidak! Mulai detik ini, kamu saya usir dari rumah ini! Jangan berani menginjakkan kaki di sini. Rumah ini sudah menjadi milikku. Kenapa? Sedih? Marah? Kamu selalu berekspektasi tinggi. Ayahmu tidak menyayangimu lagi, Bella. Jika dia sayang padamu, dia mungkin akan meninggalkan sesuatu untukmu. Ah, aku lupa, ayahmu meninggalkan hutang perusahaan yang bangkrut. Semua itu, kamu yang bertanggung jawab. Jangan lupa, pemegang saham juga tanggung jawab kamu," jelasnya dengan enteng. "Oh, satu lagi. Jangan terkejut jika rentenir datang kepadamu," sambungnya sambil memutar bola matanya.
"Kenapa semua beban itu aku yang menanggungnya? Harusnya bukan aset milikku yang di jual. Aset milik keluarga jauh lebih cukup untuk melunasi semuanya. Kemudian, rentenir? Aku tidak tahu apa-apa itu," tutur gadis malang tersebut.
Dia benar-benar bingung dengan semuanya. Bagaimana dua menjadi penanggung jawab ini.
"Ssst! Diam! Aku masih punya hati nurani tidak membuat kamu dan adikmu mati kelaparan. Jadi, jangan mengelak," cibir Hanna yang cukup senang.
"Ibu, aku mohon. Maafkan kami kali ini, Bu," mohon Simon yang berlutut kembali.
Bella yang melihat adiknya seperti itu, hatinya semakin terkoyak. Seperti dicakar sesuatu. Sakit sekali. Tidak ada yang membelanya kali ini.
"Simon! Sudahlah, kita pergi dari sini," kata Bella yang menarik Simon lalu berjalan menuju kamar untuk mengambil pakaiannya.
"Eitss! Itu pun, kalian tidak bisa membawanya," kata Hanna sembari memegang kukunya dengan centil.
"Apa? Bukankah ini sangat kejam?" tanya Bella yang mulai ingin menaikan tekanan darahnya.
"Ibu bilang, kalian beruntung tidak mati juga. Kalau begitu, kamu pilih mati saat ini juga atau pergi tanpa membawa apapun?" sarkasnya dengan nada yang mengejek.
"Baik. Tidak apa-apa. Ayo, Kak. Kita pergi," ajak Simon sambil menundukan kepalanya. Mata nya merah seperti menahan tangis.
Mereka pun berjalan menyusuri angin malam. Tawa ria para manusia mereka temui di sepanjang titik. Seakan hidup mereka paling sulit.
"Tidak mau duduk dulu? Kita perlu berbicara, bukan?" ajak Bella untuk duduk di halte bus.
Mereka pun duduk dalam keadaan diam. tidak ada yang menangis. Mereka sama-sama menatap jalanan dengan tatapan kosong, namun pundak yang sangat berat.
Hingga Bella mulai memulai pembicaraan setelah lama membisu. "Maaf ya, kakak tidak melakukan yang terbaik. Kakak malah menyeretmu keluar. Di sini dingin, ' kan?" tanya Bella terhadap Simon yang sudah lama tertidur di pundaknya.
"Dingin, ya. Nenek sihir itu bahkan tidak memberikan jaket untukmu," sambungnya sembari disusul dengan air yang menetes tanpa izin.
Pikiran Bella terasa penuh. Seperti ingin meledak saat itu juga. Dia tidak tahu, saat ini harus kemana. Namun, dia teringat bahwa dia masih membawa utuh tasnya. Beruntunglah dia masih memiliki uang yang diberikan pria tadi.
Bella pun membangunkan Simon. "Simon, bangun! Ayo, kita makan yang hangat," ajaknya sembari mengusap air matanya.
Mereka pun sudah berada di sebuah cafe kecil yang tidak jauh dari rumahnya. Bella melihat adiknya yang berumur 21 tahun tersebut, bahagia bisa melihatnya makan dengan lahap.
"Adikku sudah besar, ternyata," kata Bella sambil mengacak rambut adiknya itu.
Simon membalas dengan senyuman manis dan mulut yang penuh.
"Habis makan, kita akan mencari tempat tinggal, ya," ajak Bella yang menopang dagu nya.
"Baiklah. Aku punya uang untuk satu bulan tinggal," katanya dengan makanan yang dimasukkan cepat.
"Ish, pelan-pelan. Aku tidak akan mencurii makananmu," sindir Bella sambil mengusap makanan di sudut bibir Simon
"Kakak, mulai hari ini, aku yang akan melindungi kakak. Kakak sedih, ya, karena sudah tidak ada ayah. Tenang saja. Aku kan juga laki-laki. Lalu, untuk pacarmu itu, lupakanlah kak. Dia hanya akan merepotkanmu," jelasnya dengan tampang yang ingin terlihat hebat.
Mereka kini bisa tertawa di cafe tersebut. Walaupun akan kembali dengan pikiran yang penuh. Hidup memang begini, ekspresi yang ditimbulkan tidak selalu abadi.