"Tidak ada penyakit seirus kok. Hanya saja kehamilan trimester ke 2 memang akan sering pusing dan mual. Mohon untuk tidak membuat calon ibu menjadi stres atau banyak pikiran karena itu akan mempengaruhi perkembangan janin. Saya akan segera buatkan resep dan vitamin untuk Nona Jeni." Dokter menjelaskan sambil sibuk menulis resep pada selembar kertas kecil yang berada di atas mejanya.
"Apa! Hamil?" Jefri terkejut dengan bola mata terbelalak.
"Iya, istri Bapak kan sedang hamil. Ini menginjak trimester 2. Usahakan agar istri Bapak tidak banyak pikiran atau stres ya, karena itu akan memicu ketidak stabilan pada tubuhnya," lanjut Dokter dengan penjelasannya.
Mendengar penjelasan dari dokter, tentu saja Jefri terkejut. Mana mungkin Jeni hamil? Hamil anak siapa?
Pikiran Jefri tiba-tiba berkecamuk. Ingin rasanya ia melanjutkan pertanyaannya kepada Dokter yang bertugas, namun karena hari ini posisinya sebagai suami rasanya tidak etis jika harus mempertanyakan mengenai kehamilan Jeni pada Dokter.
"Baik, Dok. Terima kasih atas penjelasannya." Jefri berkata dengan bibir yang sedikit menipis. Sepertinya dia memang tengah menahan amarahnya.
"Sama-sama, Pak. Ini resepnya ya silahkan ditebus di apotik," balas Dokter seraya menyerahkan resep yang telah ia tulis untuk Jeni.
Jefri mengambil selembar kertas kecil itu, ia segera beranjak dari tempat duduknya. Dengan perasaan yang memanas Jefri menuju ruangan pemeriksaan Jeni. Ia pun kini duduk di dekat Jeni dengan raut wajah yang masih ketus menahan emosi yang kian memanas di dalam dadanya.
"Mas, aku mau pulang saja," ucap Jeni tampak lesu. Ia merasa kalau tubuhnya baik-baik saja, karena yang tidak baik-baik saja adalah perasaannya selepas kehilangan Wili.
"Nanti malam kamu akan pulang! Tunggu air infusannya habis!" ketus Jefri. Nada bicaranya tak selembut tadi sehingga membuat Jeni mengernyitkan dahi saat mendengarnya.
'Ada apa lagi dengan, Mas Jefri? Kenapa tiba-tiba dia terlihat marah seperti itu,' gumam Jeni dalam hati. Ia merasa heran karena biasanya Jefri selalu ramah terhadapnya.
"Oke," balas Jeni pelan. Ia mecoba menutup kembali kelopak matanya karena perasaan lemas masih saja mendera tubuhnya. Mungkin setelah air infusan habis ia akan merasa lebih baik lagi.
'Sialan kamu, Jen! Anak siapa yang kini berada dalam perut kamu itu? Tunggu saja setelah pulang dari klinik, aku akan membuat perhitungan dengan kamu!' batin Jefri terasa murka. Ia berusaha menahan amarahnya karena kondisi Jeni yang masih lemah dan posisi keberadaan yang masih di klinik.
"Aku pergi dulu, aku akan kembali lagi nanti malam!" ucap Jefri dengan ketus dan Jeni bisa mendengarnya dengan jelas karena Jeni tidak tidur.
Tanpa mendengarkan balasan dari Jeni, lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih itu segera bangkit dari tempat duduknya. Ia akan segera pulang untuk mandi dan selanjutnya membuat perhitungan dengan adiknya, Wili.
"Apa yang telah Jeni lakukan selama ini? Dasar wanita murahan! Bisa-bisa dia hamil anak Wili. Aku yakin kalau anak yang tengah dikandungnya adalah hasil kenakalannya bersama, Wili." Jefri tampak murka, sambil berusaha fokus mengemudikan kendaraan roda empatnya menuju kediamannya.
Sesampainya di rumah pribadi Jefri, kedatangannya kini disambut riang gembira oleh kedua anaknya yang cantik dan tampan.
"Papah," panggil kedua anak kecil yang lucu dan menggemaskan itu saat Jefri masuk ke dalam rumahnya.
Kedua anak Jefri yang lucu itu segera memeluknya dengan erat dan raut wajah bahagia karena Jefri jarang sekali pulang.
"Hi, Sayang! Anak-anak Papah sudah pada makan?" tanya Jefri seraya mengusap kedua kepala anak-anaknya dengan lembut. Ia memang selalu berusaha perhatian kepada anak-anaknya, walau pun sering sekali terjadi pertikaian dengan istrinya.
Perasaannya yang tengah kalut memikirkan kehamilan Jeni, memang seketika mencair saat melihat senyuman kedua anak-anaknya.
"Aku cudah makan, Papah."
"Aku juga cudah, Papah," jawab kedua anak-anaknya dengan nada suara yang cadel dan menggemaskan.
"Bagus kalau begitu," balas Jefri berusaha tersenyum.
"Kamu baru pulang, Mas? Kemana saja?" Selin tampak sudah berdiri di belakang anak-anak dengan wajah ketus dan berpangku tangan.
Jefri mendongak ke arah istrinya. Perasaan kalutnya kembali muncul saat melihat wajah istrinya yang selalu saja membuatnya merasa bosan. Setelah itu, ia kembali mengalihkan perhatiannya pada wajah anak-anak yang masih berdiri di hadapannya dan mengusap kepala keduanya.
"Sayang. Anak-anak, Papah. Sekarang ke kamar dulu ya, Papah mau bicara sama Mamah dulu," pinta Jefri dengan lembut kepada anak-anaknya.
"Oke, Papah!" jawab anak-anak Jefri dengan serentak. Mereka berdua kemudian berlari kembali ke kamarnya dan kembali akan bermain di sana setelah Jefri mengecup keningnya masing-masing.
"Kamu dari mana saja, Mas? Kamu anggap rumah ini apa? Pulang seminggu dua kali. Kamu lupa kalau anak-anak kamu itu selalu menanyakan keberadaan papahnya, mereka rindu kasih sayang dari papahnya," ketus Selin menyambut kedatangan suaminya yang terlihat lelah karena seharian berjibaku dengan urusannya.
"Apaan sih kamu! Suami baru pulang bukannya disambut baik, dipersiapkan untuk mandinya, makannya. Ini malah disambut dengan ocehan yang ketus. Ini yang membuat aku malas pulang ke rumah," balas Jefri dengan ketus pula. Ia segera melepaskan lilitan dasi yang mengikat lehernya. Jefri dengan cepat berjalan menuju kamarnya dan akan segera mandi karena sudah tidak nyaman dengan pakaiannya. Meninggalkan Selin yang masih menunggu kejelasannya.
"Kamu kebiasaan, Mas. Aku serius bertanya sama kamu. Tapi kamu selalu saja berusaha menghindar," cerocos Selin sambil mengikuti langkah Jefri yang masuk ke dalam kamarnya.
"Aku bosan dengar ocehan kamu! Yang aku mau, saat aku pulang kamu sambut aku dengan ramah. Tapi kamu selalu saja memulai perdebatan," bentak Jefri seraya membuka jas hitam yang ia pakai. Kekacauan dalam dadanya kian bertambah kusut saat mendengar ocehan dari istrinya.
Pertengkaran memang selalu saja terjadi di dalam rumah tangga Selin dan Jefri. Bagai mana tidak, istri mana yang tak geram saat suaminya pulang hanya dua kali dalam seminggu. Entah pulang kemana saat Jefri tak di rumah, dan itu membuat Selin semakin murka dengan keadaan rumah tangganya.
Sementara Jefri, ia pun merasa kalau Selin sama sekali tak membuat perasaannya nyaman. Setiap kali pulang ke rumah ia jarang sekali memberikan nafkah batin untuk Selin, dan hal itu yang membuat Selin selalu murka terhadap dirinya.
"Bagaimana aku bisa menyambut kamu dengan baik, Mas! Kamu sendiri tak pernah memperlakukan aku selayaknya istri kamu. Kamu sudah berubah, Mas!" geram Selin mengeluarkan amarahnya.
"Cukup, Selin. Aku cape, aku mau mandi! Apa kamu tidak bisa membuat aku sedikit nyaman saat berdekatan dengan kamu? ha!" murka Jefri dengan bola mata membulat sempurna. Selin yang membuat isi dadanya semakin kacau membuat amarah Jefri semakin meletup-ketup di atas ubun-ubunnya.
"Bagaimana kamu bisa nyaman dengan aku, karena kamu sudah memiliki wanita simpanan lain! Iya kan?" geram Selin dengan rahang yang terlihat mengeras dengan emosinya.
Jefri membeliak tercengang dengan ucapan Selin. "Ngomong apa kamu, Selin!"