Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Kapan Aku Bisa Seberuntung Mereka?

🇮🇩Marianna13
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.6k
Views
Synopsis
Sebuah kumpulan cerita pendek tentang rasa kekecewaan.

Table of contents

Latest Update1
12 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - 1

Mengetahui bahwa para pelaku perisakanku pada masa sekolah menengah masih saja menjalani kehidupan yang cukup baik sama sekali tidak membantu mengurangi emosi-emosi negatif dalam lubuk sanubariku.

Aku sampai sekarang tidak mengerti.

Salah satu dari orang-orang jahat itu mendapatkan beasiswa kuliah dari Forum Anak daerahku. Dia bahkan pernah diundang oleh UNICEF Indonesia, tidak tahu sebagai apa …. Namun, dapat berfoto bersama dengan perwakilan organisasi internasional tersebut sudahlah merupakan hal yang sangat keren.

Kemudian, dua orang jahat yang lain berhasil menjadi mahasiswa Universitas Indonesia melalui jalur SBMPTN. Sementara aku … bersekolah di suatu universitas yang tidak terlalu bagus dan parahnya lagi melalui jalur mandiri 'plus'. Paham, 'kan, maksudku? Orang dalam, hahaha ….

Para pelaku penindasan dari seorang gadis bernama Nur tidak hanya ketiga orang itu, masih ada banyak tentunya, hahaha! Aku tidak ingin menyebutkan semua orangnya dan segudang prestasi-prestasinya. Yang pasti, tidak ada satu pun dari mereka yang aku ungguli ….

Hahaha …. Payah sekali diriku ….

Mengapa …?! Mengapa hidup mereka begitu mengenakkan?! Mereka tidak pantas mendapatkannya!

Katakanlah aku dengki melihat penindas-penindasku bahagia!

Akan tetapi, aku beritahukan sesuatu terlebih dahulu …. Mereka telah menganiaya jiwa dan ragaku. Kewarasanku, perlahan-lahan terdistorsi oleh perbuatan-perbuatan mereka. Aku hampir jatuh total dalam kegilaan.

Aku hanya ingin keadilan!

Tanpa sadar, bantal yang kujadikan sebagai alas kepala sudah sedemikian basah.

Hahaha, penyebabnya tidak lain adalah air mataku.

Sial, kesalahan ….

Andai diberi kesempatan untuk kembali pada pukul 00:00 lalu, niscaya akan kupilih untuk tidak menggulir setiap postingan Instagram mereka.

Akibatnya, kini jantungku berdebar tak karuan. Mulai ujung kaki hingga pucuk kepalaku terasa dingin. Sepasang netraku deras oleh air asin. Entah mengapa, sulit sekali untuk mengalihkannya dari sebuah ponsel yang terbungkus erat dalam kedua telapak tanganku. Genggaman itu sungguh kontras terhadap tanganku, lebih tepatnya seluruh tubuh, yang gemetaran dengan hebatnya.

Aku pikir mentalku sudah cukup kuat, ternyata belum, hahaha! Tahu begini, aku menonton YouTube saja tadi.

Butuh waktu bertahun-tahun untuk menumbuhkan perasaan-perasan positif dalam nuraniku, yang kemudian … runtuh semua … hanya dalam dua jam. Betapa ironisnya.

Aku ada ujian akhir semester pada jam delapan pagi nanti. Namun, tengoklah diriku sekarang. Alih-alih tenggelam ke dalam mimpi yang kemungkinan besar tidak akan bisa kuingat begitu bangun, aku dengan bodohnya menyiksa diri … lagi-lagi.

Tidak bisa, tidak bisa!

Aku benar-benar butuh obat tidur. Jam biologisku sudah pasti kacau ke depannya. Obat tidurlah yang satu-satunya dapat menolongku untuk ini.

Huh, kelihatannya hari ini aku akan bersua kembali dengan psikiater. Berarti pertemuan itu akan menjadi pertemuan perdana selepas dua tahun lamanya, ngomong-ngomong.

2023, haha! Aku sambut dikau dengan pergi ke RSJ, berkonsultasi kepada dokter kesehatan jiwa!

Sebenarnya, hal ini bukan hal yang baru bagiku. Tahun baru 2019 dan 2020 juga aku rayakan berbareng dengan Bu Dokter bernama Aisyah.

Aku adalah seorang perempuan yang selalu penasaran akan hak istimewa perempuan cantik. Maklum saja, aku ditakdirkan memiliki wajah yang dapat kalian temui dengan mudah di jalanan. Dengan kata lain, rata-rata … atau mungkin dibawah rata-rata …. Kemudian, sebagai keturunan Jawa, hal yang umum apabila kulitku berwarna sawo matang. Sayangnya, aku lahir dan besar di Indonesia. Aku tidak habis pikir mengapa sedikit sekali orang yang mampu mengapresiasi fitur-fitur fisik khas etnisku. Orang tuaku tak luput, lho! Padahal, aku memperolehnya dari mereka, hahaha!

Tidak akan pernah tercerna oleh otak udangku tentang alasan-alasan orang-orang begitu jahatnya mencemooh atas sesuatu yang tidak bisa kuubah.

Sekira karunia-Mu tidak dialokasikan ke dalam penampilan, setidaknya, berkati aku dengan perihal lain. Mungkin anugerahkan aku dengan kepribadian yang membuat orang-orang betah untuk terus mengobrol? Aku tidak paham mengapa mereka menargetkanku yang pendiam ini. Padahal, aku hanya diam, lho …. Apa salahku?

Atau tidak, tolong, sekali-kali munculkanlah dalam sejarah kata 'aku' serta 'berbakat' bergabung menjadi satu frasa ….

Materi? Sejatinya aku melarat, tetapi tidak dengan orang tuaku. Tak pernah sekali pun aku menampik soal diriku yang sebetulnya cukup beruntung terlahir menjadi anak bungsu dari keluarga berkecukupan. Namun, apa yang harus aku bayar untuk itu? Keluarga yang tidak terlalu harmonis, fisik yang tidak memuaskan mata, dan karakter yang membosankan, serta angka IQ yang tidak terlalu tinggi. Aku juga dimanfaatkan. Aku kira orang jahat itu tulus akan diriku. Rupanya, matanya hijau, hahaha!

Ah … menjadi individu miskin harta, tetapi ayu serta kaya ilmu terdengar seratus persen bak mimpi indah dalam runguku. Menjadi fakir, tetapi memiliki karakter kupu-kupu sosial kedengarannya juga mengasyikkan.

Pernahkah terbesit rasa kekecewaan terhadap Tuhan dalam kalbuku? Pernah, sering malah. Biarlah aku disebut pengikut bodoh dan berdusta lantaran berani marah kepada-Nya, hahaha! Lagi pula, aku bukanlah nabi yang memang dikodratkan untuk mampu menanggung beban terlampau berat.

"Hikz, hikz ...."

Beberapa isakan tangis tak sengaja keluar. Mulutku refleks menggigit guling. Aku sebenarnya tidak berpikir bahwa ayah dan ibu yang sedang tidur terpisah di kamar mereka yang mana mengapit kamarku akan mendengarnya. Ngomong-ngomong, sekarang jam 4 pagi.

Kepada diriku ….

Aku tahu bahwa kamu menyadari sesuatu.

Janganlah terus mengecewakan dirimu sendiri …. Janganlah engkau selalu melemparkan kesalahan kepada ayah dan ibu …. Meski turut bersalah, setidaknya kedua orang tuamu sudah memohon pengampunan. Jadi, tidak benar-benar hina seperti mereka!

Akan tetapi, sungguh. Mengapa keadilan tidak berpihak kepadaku?

Mengapa orang jahat secara general dapat menikmati kenikmatan dalam hidup?

Aku sampai sekarang tak habis pikir.

Kapan … kapan aku bisa seberuntung mereka?