Chereads / 365 Wedding Day / Chapter 2 - Meraih Mimpi Hingga Mati Rasa

Chapter 2 - Meraih Mimpi Hingga Mati Rasa

01 DAY

Apa yang membuat hidup terlihat sangat menakutkan?

Bagi Amai hidup akan menakutkan saat tidak sesuai dengan manusia lain, Damaila Putri nama yang sangat umum dimiliki oleh semua orang, Amai seorang perempuan biasa, ia bahkan tidak terlalu istimewa, Amai hanya punya tekad sebesar dunia untuk mewujudkan mimipinya.

Akan tetapi, disaat mimipi Amai telah terwujud muncul masalah baru yang sangat menggerutu, masalah umur yang selalu menjadi patokan untuk melakukan setiap hal, diumur 29 tahun tentu saja Amai telah berhasil melewati masa krisis dan meraih mimpinya, karir Amai cemerlang tapi tidak dengan kisah cintanya yang hambar.

"Jadi umur kamu udah 29 tahun, selama ini kamu pasti banyak kerja keras." Amai menatap datar seorang laki-laki yang menjadi teman kencanya hari ini.

Tentu saja kencan amai hari ini lebih mirip sebagai perjodohan yang gencar dilakukan mamanya.

Setelah berbincang singkat dengan laki-laki tersebut Amai lalu berpamitan dan terpaksa tersenyum demi sebuah kesopanan dan akhirnya memutuskan untuk pulang. Teman kencan Amai ternyata tidak bisa mengantar, ia meminta maaf berulang kepada Amai lalu pergi meninggalkan Amai sendiri.

"Asik gue ditolak," gumam lirih Amai.

Kedua matanya melihat keluar jendela, matahari yang terbenam nampak menyilaukan Amai enggan melihatnya. Sama seperti pesan yang dikirimnya mamanya kepada Amai, bertubi-tubi hingga membuatnya ingin menagis saat ini juga.

Amai berdiri, ia beranjak untuk pulang ke rumah, walaupun sangat malas bila bertemu mamanya yang pasti akan bertanya tentang hasil kencannya hari ini.

"Kencan kok kayak ujian ditanyain hasil mulu," gerutu Amai.

Amai yang setengah kesal meratapi hidup, tanpa sengaja ditabrak oleh sesorang, ia tersungkur di jalan, tas Amai bahkan berserakan. Akan tetapi, laki-laki yang menabrak amai justru tetap berjalan seakan tidak terjadi apapun.

Amai melirik sekitar yang memang kurang ramai, ia lalu berteriak kepada laki-laki itu tapi tidak ada balasan, laki-laki tersebut menyumpal telinganya dengan lantunan lagu yang keras.

Amai lalu bangun setelah memasukan barangnya yang jatuh ke dalam tas, lalu dengan sekuat tenaga berlari, dan menjambak rambut laki-laki tersebut.

"Kurang ajar lo, abis nabrak gue main kabur, liat lutut gue berdarah gara-gara lo, lo harus tanggung jawab," ucap Amai masih dengan tangan yang menjambak laki-laki tersebut.

Beberapa orang melihat mereka dan tidak mencoba memisahkan.

Sebenarnya Amai juga kaget dengan tindakannya saat ini. Namun, jauh dilubuk hatinya, ia melakukan tindakan spontan ini untuk menghilangkan stressnya.

"Mbak tenang dulu, mbak iya saya minta maaf," balas laki-laki tersebut, ia sangat terkejut dengan serangan Amai

"Tenang... tenang." Laki-laki tersebut melepaskankan earphone dari telinganya.

"Iya saya tanggung jawab," ucapnya lagi, mencoba menenangkan Amai yang kini sudah menurunkan tangannya dari rambut laki-laki tersebut.

****

Setelah aksi menjambak, saat ini Amai tengah berada di apotik menunggu laki-laki tadi membeli obat, ia duduk sambil melihat luka didengkulnya yang perih, Amai coba membersihkannya dengan tisu.

Suara langkah kaki laki-laki itu mendekat ke arah Amai, ia membawa satu bungkus obat untuk Amai.

"Mbak maaf tadi benaran saya gak tau, karena buru-buru juga," ucap laki-laki tersebut lalu duduk disebelah Amai, ia membuka plasternya lalu memberikan pada Amai

"Hmm iyaudah," balas Amai, ia ingin meminta maaf, tetapi tertahan dimulut.

Amai menerima memasang plester luka tersebut, sambil memasang plester di kakinya, amai melirik laki-laki yang menabraknya tadi walau wajahnya tertutup dengan masker.

Pada akhirnya Laki-laki tersebut memesankan taksi online untuk Amai pulang, ia melihat Amai sampai benar-benar masuk ke dalam mobil.

Setelah duduk di dalam mobil, Amai baru bisa tenang, ia melihat matahari yang hilang dan menghela nafasnya panjang melihat jalanan ia lalui untuk pulang.

***

"Amai gimana kamu cocok," celetuk Mama, saat Amai baru saja selesai melepas sepatu dan masuk ke dalam rumah.

Amai mengabaikan ucapan mamanya dan berniat untuk mengambil minum, menghilangkan rasa sesaknya hari ini. Namun, Mamanya tetap mengikuti Amai dibelakang menunggu jawaban anaknya.

"Mama," tutur Amai, setelah meminum segelas air putih, ia melihat wajah wajah mamanya yang nampak sumringah.

"Gimana Mai?" tanya Mama lagi kepada Amai.

"Mama gak lihat dengkul aku?" balas Amai dengan pertanyaan.

Mama lalu menurunkan pandangannya ke dengkul anak perempuannya, ia kaget melihat dengkul Amai yang lecet.

"Ya ampun kamu kenapa?" tanya Mama Amai dengan raut wajah khawatir.

"Jatuh," jawab singkat Amai, ia mulai gerah dengan tingkah mamanya yang justru lebih memperhatikan hasil kencan.

"Mah, Mama cukup bikin aku kaya orang yang bodoh." Amai berucap sambil berjalan menjauh dari mamanya, menuju tempat ternyaman bagi Amai, yaitu kamar.

"Amai kamu jangan mulai lagi, Mamakan cuma tanya hasil kencan kamu hari ini, kalau emang gak cocok yaudah, Mama cuma pengen kamu dapat pasangan" balas Mama yang seakan tahu arah tujuan ucapan putrinya.

"Mah, hidup aku bukan tentang nikah terus Mah, Mama kapan ngerti sih," balas Amai tidak mau kalah, ia lalu menutup pintu kamarnya, membiarkan Mama berucap di depan pintu kamarnya.

"Amai, sekarang coba kamu yang ngertiin Mama, Mama cuma mau kamu hidup bahagia," tutur Mama masih mencoba membujuk anaknya, meskipun ia tahu bahwa hasil kencan Amai hari ini gagal.

"Aku sekarang udah bahagia Ma," jawab Amai dengan nada yang cukup keras, menurut Amai apa yang menurut Mama baik, belum tentu baik juga untuk dirinya.

"Terserah kamu Mai, Mama udah capek," bentak Mama, emosi Mama Amai ikut tersulut.

"Apa kamu gak mau punya keluarga yang bahagia, punya anak?" tanya Mama lagi masih di depan pintu kamar Amai, Amai diam ia tidak menjawab, sebab semakin ia menjawab maka Mama akan semakin marah.

"Amai, Mama takut kamu hidup sendiri nak." Tidak mendengar jawaban dari Amai, mama lalu pergi mendinginkan pikiran masing-masing yang terlampau keras kepala.

Amai menatap langit kamar yang masih sama sejak Amai lahir, langit kamar yang menyaksikan semua kesedihan Amai selama ini.

"Kenapa sih kalau umur 29 tapi belum nikah, apa harus nikah buat jadi orang yang bahagia, sendiri apa emang bikin mati, nyatanya gue gak kesepian selama ini," gerutu lirih Amai, ia meneteskan airmatanya lagi malam ini, menangis seperlunya lalu menyambut esok pagi dengan perasaan yang sama.

Amai tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan 29 tahunnya, ia mengambil handuk lalu membersihkan dirinya hari ini.

Setelah mandi, Amai teramat kaget melihat pesan yang masuk di ponselnya, ponselnya yang sepi dan mati, tiba-tiba ramai oleh grup angkatan yang ternyata mengajak reuni besar-besaran.

Amai hanya membaca sekilis, ia tidak berkeinginan untuk ikut reuni, Amai tidak ada waktu untuk melakukan hal tersebut, ia juga takut apabila bertemu dengan mantannya.

"Amai, lama gak keliatan" tulis seorang teman dalam grub dan menyebut nama Amai.

Amai memutar bola matanya malas, ia hanya membaca dan enggan membalas.

"Iya Mai, lo harus ikutan," celetuk yang lainnya, Amai lalu mematikan ponselnya dan bergegas tidur, sebisa mungkin ia menghindari acara reuni tersebut.

Namun, mata Amai enggan menutup, ia lalu bangun dari kasurnya dan keluar kamar, menuju kamar mamanya.

Amai melihat mamanya yang telah tidur sendiri, ia lalu tidur disamping mamanya dan memeluknya.

"Maafin Amai Mah, tapi beri amai waktu sebentar," lirih Amai.