1/6/22
Happy Reading
***
"Demi Dewa yang hidup di Olympus!! Ya Tuhan!" Laya Gemina berteriak lelah.
Frustrasi!
Iyaa, satu kata itu sangat-sangat mewakili keadaan hatinya dan pikirannya sekarang. Ia benar-benar tidak menyangka jika hidupnya yang dulu baik-baik saja kini seperti terlempar ke palung terdalam di dunia.
Dimana itu?!
Palung Mariana bukan?!
Argh! Entahlah! Yang jelas ....
"Kemana lagi aku harus mencari uang sebanyak itu!!" Lagi-lagi Laya berteriak jengah pada hidupnya yang gila ini.
"LAYA GEMINA PUTRI MENDIANG TUAN MATEO GEMINA!!!"
Jujur …
Jika Laya tidak dikejutkan dengan teriakan seorang wanita yang amat merdu itu, ia tidak akan pernah sadar jika saat ini dirinya masih berada di rumah sakit.
"Bisa diam, nak?!"
Aishh, sialan!
Itu suara Suster Rose. Perawat tertua dan paling dihormati di rumah sakit Fransisco Isamu ini. Menurut teman sejawatnya, usia beliau 50 tahun— tahun ini.
Entahlah, bukan urusannya memikirkan usia Suster Rose yang terkenal galak tapi berhati malaikat itu.
"Kau tahu ini dimana, Laya?!" tanyanya dengan suara lirih penuh penekanan, dan selirih-lirihnya Suster Rose bersuara, hal itu cukup membuat dada seorang Laya Gemina seperti dielus-elus palu.
"Iyaa." Laya mendengus. Berbalik badan. Melihat Suster Rose yang sedang berkacak pinggang. Padahal usianya sudah setua itu. Tapi, hem … karismanya sebagai perawat nomor satu di negeri ini tidak terbantahkan.
"Kebiasaan!"
"Maaf," kata Laya. Membungkukkan setengah tubuhnya penuh penyesalan. "Saya janji tidak akan mengulanginya lagi, sus."
"Terhitung 6 bulan, Laya." Suster Rose menurunkan kedua tangannya. "Janji yang kau katakan tidak pernah ditepati. Ingat?!"
"Iyaaa, suster." Laya mencebikkan bibir.
Kalau sudah seperti ini sebelum pergi dari rumah sakit, pasti Suster Rose akan menceramahinya selama …
Lima menit? Sepuluh menit atau secukupnya waktu saja untuk menceramahinya.
Dimulai dari sini ....
"Kau bisa lihat kamar-kamar yang ada disini, La?" Suster Rose menunjuk beberapa kamar yang pintunya tertutup rapat lalu menunjuk kamar yang pintunya masih terbuka.
Sebelum Suster Rose keluar dari kamar yang terletak diujung itu, Laya juga baru saja keluar dari sana.
"Kamar-kamar itu isinya orang sekarat semua. Antara hidup dan mati. Koma! Koma! Kau tahu?!"
Laya mengangguk pasrah. "Iya, tahu, sus."
Selama 6 bulan ia mengenal suster Rose— suster Rose akan mengawali ceramahnya seperti itu dan akan menjalar kemana-mana.
Kata suster Rose, biar lebih bersyukur menjalani hidup. Supaya ia tidak banyak mengeluh karena sesusah-susahnya ia mencari uang untuk biaya pengobatan masih banyak yang lebih kurang darinya.
"Bersyukur sedikit, bisa?! Kau ini masih sehat dan kuat. Masih bisa bekerja walau gajimu tidak bisa menutupi biaya hidupnya," kata Suster Rose sambil menunjuk seseorang yang terbaring lemah disana. "Setidaknya kau tidak mengemis atau melacurkan diri. Paham?! Kau itu …."
Masih berlanjut ternyata …
Ya Tuhan, terang-terangan sekali bicaranya!
Tapi benar juga apa yang dikatakan suster Rose.
Dulu Laya sempat berpikir mau jadi pelacur murahan saja supaya bisa cepat dapat uang karena katanya pendapatan pelacur dalam waktu semalam itu sangatlah besar.
Paling tidak bisa dapat satu juta dalam waktu semalam. Kalau dikalikan 30 hari, kurang lebih dia akan mendapat 30 juta dalam waktu sebulan, dan uangnya bisa cepat-cepat digunakan untuk biaya operasi tunangannya yang terbaring lemah tak berdaya disana.
Heh… tunangan?
Iya, Laya sudah memiliki tunangan. Namanya Vihan Mahendra. Menurutnya, pria paling tampan di dunia ini hanyalah Vihan.
Vihan Mahendra adalah cinta pertamanya.
Untuk Vihan lah, Laya mengurungkan niatnya untuk menjadi pelacur saat itu. Ia masih ingat dengan kehormatan tunangannya yang sedang berjuang melawan komanya itu.
Tidak mungkin juga ia jual diri hanya untuk membiayai operasi gegar otaknya Vihan. Mau taruh dimana mukanya nanti saat Vihan bertanya, dapat uang dari mana untuk biaya operasinya. Kalau dijawab, dari melacurkan diri …
Pasti Vihan akan lebih memilih mati daripada diusahakan untuk hidup. Huh, akan sia-sia saja usahanya jadi pelacur nanti.
"Pergi sana! Nanti kau telat. Kalau kau telat bisa-bisa kau dipecat atau paling tidak gajimu akan dipotong. Cari uang yang rajin. Jangan lupa makan! Kesehatan nomor satu! Paham, Laya?!"
"Lha … yang menahan dan menceramahiku sejak tadi kan, suster Rose." Laya bergumam dalam hati.
Huh, sabar ... sabar!
Mengapa Laya sungguh sangat kebal diomelin dan diceramahi suster Rose selama 6 bulan terakhir ini karena Suster Rose mirip Mamanya.
Iyaa, Mama mirip sekali dengan suster Rose.
Dari cara bicaranya, cara marahnya, bawelnya, gerak tubuhnya … pokoknya semua mirip Mama. Kecuali satu, wajah.
Wajah Mama lebih cantik dari Suster Rose, apalagi kalau senyum. Wah, Mama adalah pemilik senyum terindah nomor satu didunia ini.
Uhuk … uhuk!
Laya menahan batuknya. Ia tidak mau membuat suster Rose khawatir. Ia mengusap dahinya yang basah karena keringat dan perutnya mendadak mual.
Argh, tiba-tiba tubuhnya menggigil jika mengingat semua kenangan indah yang pernah dilalui bersama Mamanya.
Oke, jangan panik, La!
Ingat yang bahagia-bahagia saja, Laya.
Oke, baiklah!
Yang mirip lagi dengan Mama … kalau sudah bicara jika belum selesai mengomel dan diusir untuk pergi, pasti Laya akan susah bergerak dari tempatnya. Pernah juga telinganya ini jadi korban tarikan jari cantik Mamanya.
Huh, yang bisa membantunya keluar dari putaran "surga" yang Mamanya ciptakan hanyalah Papa.
Hahaha, Papa, ya?
Papa ….
Laya menghembuskan napasnya. Sebelum pergi dari lorong rumah sakit itu, ia da da pada Suster Rose. Memberikan senyum terbaiknya dan berusaha untuk selalu terlihat tegar seperti biasanya.
"Jangan khawatirkan Vihan. Kalau ada apa-apa aku akan menghubungimu segera, Laya. Tetaplah fokus bekerja. Jangan berpikiran macam-macam, oke? Kalau tidak ada yang mendesak, tiga hari lagi kau baru boleh datang kemari, Laya."
Huh, ceramah Suster Rose selalu diakhiri dengan kata-kata seperti itu.
"Yaaa, terima kasih, suster."
Padahal masih rindu tapi ia sudah harus meninggalkan Vihan lagi dan akan datang tiga hari lagi.
Hem, bicara soal Vihan ...
Jujur, Laya benar-benar tidak tega melihat alat-alat yang ia tidak tahu namanya itu selalu menempel setia— selama 6 bulan— di beberapa sisi tubuh tunangannya itu.
Arghh, gara-gara kecelakaan sialan itu?!
Kenapa harus Papa, Mama dan Vihan?!
Kenapa bukan keluarga lainnya saja?!
Huh, kenapa harus keluargaku?
Sialan!! Sungguh takdir yang menyebalkan!
"Kau pasti bisa mendapatkan uang itu, Laya! Pasti!!" Laya mengusap bekas air mata di pipinya.
"Ingat 350 juta itu sedikit, oke?! Sangat-sangat sedikit. Tidak sebanyak yang kau bayangkan. Semangat, semangat, Laya!!"
Laya melangkahkan kakinya dengan mantap menaiki bus yang berhenti otomatis di halte milik rumah sakit Fransisco Isamu. Rumah sakit swasta milik Tuan Fransisco yang bekerjasama dengan perusahaan Isamu Grup.
Perusahaan dimana seorang Laya Gemina bekerja sebagai ....
Office Girl!
Not bad! Bukan pekerjaan hina, bukan? Lagipula gajinya lumayan, kok.
Tiga juta per bulan, ditambah uang transport dan makan seratus lima puluh ribu per hari.
Dari uang gajinya itu, Laya masih bisa mempertahankan hidup Vihan selama mungkin.
"Vihan, bersabarlah sebentar lagi. Aku akan mendapatkan uang itu secepatnya. Kau akan segera dioperasi, oke? Itu janjiku padamu. Jadi tetaplah hidup. Kau harus tetap hidup. Didunia ini hanya kau yang kumiliki."
*
*
*
Brakh!!!!
Deg!
Aduh! Sedikit lagi dadanya hampir meledak!
"Laya ... Laya ... Laya Gemina!!!"
Astaga!
Laya langsung menegakkan kepalanya yang … eum, tidak tahu sejak kapan tergeletak di meja yang ada di dapur kantor.
"Bangun!!!"
Iyaaa! Telinganya ada dua, kok.
"Bangun, tuan putriku! Ratuku! Permaisuriku! Sialannn!!"
Aish, itu suara kepala manajer bagian marketing untuk Divisi Desain Grafis Tata Letak Kota, panggil saja dia Juni. Pria sok paling berkuasa di dunia antah berantah ini.
"Payah!! Kenapa aku bisa ketiduran, sih?!" Laya merutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Mau kusebut apa kau, hah?! Mau kusebut apa? Jawab?!"
Sekali lagi karena tidak mendapat tanggapan dari Laya, Juni menggebrak meja dengan kekesalan yang sesungguhnya— otomatis hal itu membuat Laya langsung ....
"Maaf, Pak." Laya langsung berdiri. Ia mengusap sesuatu yang basah-basah berbau basi di pipinya, mana rasanya agak-agak lengket lagi.
"Apa yang bapak butuhkan dari saya?"
"Kopi! Teh! Jus! Air mineral! Snack! Kue!!" Juni berjalan mendekati Laya.
Hal itu tidak sukses membuat Laya takut dan memundurkan langkahnya sedikitpun. Ia tahu Juni itu adalah pria seperti apa.
"Mana yang bisa kau berikan pada saya, hah?!"
Laya bisa melihat senyum tersirat penuh kemesuman terbit dari bibir Juni.
Dan, semua orang yang bekerja disini pun dengan baik hatinya sudah memperingatkannya sejak awal jika Juni itu adalah pria yang suka tebar pesona. Pria yang senang sekali meniduri office girl-office girl di perusahaan ini dengan sebuah ancaman pemecatan.
Karena sudah diberitahu sejak awal jadi Laya sama sekali tidak pernah takut dengan pria murahan seperti Juni!
Malahan Laya ingin sekali menendang burung si Juni sampai bengkak.
Huh! Sabar … sabar!
Juni menghentikan langkahnya tepat setengah meter di depannya.
Oke, jarak yang sangat dekat dan enak untuk menampar pipi kanan kiri Juni sampai memar.
Awas saja, kalau berani macam-macam!
"Saya akan menyediakan kopi untuk pak Juni dan yang lainnya dengan cepat," ucap Laya.
"Cih! Baru sekarang mau disediakan? Dari tadi ngapain saja, Laya?!! Rapat sudah selesai sejak satu jam lalu dan harusnya kita bisa dapat kopi beberapa detik setelah rapat itu selesai, kan? Iya, kan?!"
"Iya, saya ketiduran. Maaf untuk kelalaian yang saya perbuat, Pak." Laya mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Sebab, salahnya juga ketiduran di jam kerja seperti ini.
"Mau saya pecat?"
Cih!!
Laya benar-benar sudah terbiasa menghadapi mas-mas mesum kurang belaian seperti ini. "Bapak tidak punya wewenang untuk memecat saya karena yang berhak atas itu—"
"Sstt ...." Juni terkekeh. Tangannya dengan sengaja diletakan di bahu Laya yang indah.
Walau selalu memakai pakaian dinas office girl berwarna biru tua setiap hari, tapi tetap saja mata kelelakiannya tidak bisa dibohongi.
Laya, gadis ini punya tubuh yang sangat indah.
Sejak gadis manis ini bekerja disini sebagai Office Girl— hanya dialah satu-satunya wanita yang sangat susah didekati dan dirayu-rayu untuk diajak ke hotel olehnya.
Berulang kali Juni selalu mengancam Laya untuk dipecat tapi … iya, gadis manis ini selalu bisa mengalahkannya, bahkan ia sampai tidak bisa berkata-kata lagi jika sudah kalah debat dengan gadis manis incarannya itu.
Segala penolakan yang Laya berikan itu, sangat sukses membuat jiwa kelelakian seorang Juni semakin berkobar-kobar penasaran dan penuh semangat membara ingin menyentuhnya dimanapun ia mau.
"Maaf, Pak!" Laya menepiskan tangan Juni. Ia melirik cctv yang terpasang di sudut dapur. Untung saja di setiap sudut kantor ini ada cctv-nya.
Juni tanpa diberitahu pun sadar kemana arah lirikan mata Laya.
"Saya bisa melaporkan Anda dengan tuduhan pelecehan pada karyawan. Karena menyentuh tanpa izin sama saja dengan tindakan kriminal. Apalagi saya tahu jika bapak itu tertarik dengan tubuh saya. Jadi—"
"Hahahaha! Fu—" Juni tergelak. Dia sampai tidak bisa meneruskan ucapannya namun sedetik kemudian dia terdiam karena melihat senyum sinis yang tipis terukir cantik di sudut bibir Laya. Salah satu alisnya terangkat congkak. "Kau akan berakhir di ranjang saya, Laya."
Coba saja!!
"Kopi Anda akan segera datang, Pak." Laya membungkukan setengah tubuhnya dengan sopan namun Juni bisa merasakan keangkuhan serta keberanian Laya.
Gadis manis si office girl ini! Sungguh-sungguh sangat menggairahkan!
Laya sama sekali tidak takut dengan ancaman sinting itu.
Dan hal itu sukses membuat Juni meradang. Dia mengumpati Laya dengan bahasa ibunya dan meninggalkan Laya begitu saja.
Jujur, Laya tidak terlalu tahu bahasa yang digunakan Juni. Tapi yang jelas, ada satu kata yang ia tahu ...
Jika, Juni si pria mesum itu sudah menyebutnya sebagai wanita Jalang.
Dasar gigolo sinting!!
Laya tak henti-hentinya ikut mengumpati Juni dari dalam hati. Ingin rasanya dia menyiramkan air panas ini ke muka mesum itu.
Dasar menyebalkan!!
"Huh, untung saja sebelum masuk ke dunia kerja yang tidak waras ini, Papa sudah mengajariku, bagaimana cara menghadapi pria semesum dan segila itu sejak dini."
Laya menghembuskan napas, mencoba menenangkan diri. Ia melangkahkan kaki memasuki ruang rapat sambil membawa baki beserta minumannya.
***
Salam
Busa Lin