Dirgantara mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesekali dia mengobrol santai dengan Mayang, istrinya. Sementara itu, di jok belakang Shinta terus berceloteh saat Aldi mencoba mengajaknya bermain. Beberapa kali bocah berusia 5 tahun itu menggayut manja pada sang kakak.
Kebahagiaan keluarga kecil yang hangat sedikit kembali hari itu. Sebelumnya, suasana dalam rumah mereka terasa suram. Meskipun rasa pilu masih membekas, mereka sudah mulai bangkit. Tiga tahun terus terjebak duka tidak akan bagus untuk kejiwaan. Akhirnya, Dirgantara pun mengajak liburan keluarganya untuk pertama kali setelah insiden kematian Syailendra dah Arunika.
"Abang, Abang, itu apaan, Bang?" celoteh Shinta sambil menunjuk tupai di dahan pohon.
"Itu tupai, Shinta," jelas Aldi.
Shinta mengangguk-angguk. Namun, jawaban singkat tidak akan memuaskannya. Dia terus bertanya tentang tupai, mulai dari apa makanan hewan itu? Kenapa tupai hidupnya di pohon, sampai apakah boleh memelihara tupai. Aldi sampai kewalahan menanggapi sang adik. Mayang terkekeh melihat keakraban putra putrinya. Namun, kedamaian itu tak berlangsung lama.
Awalnya, Shinta tiba-tiba ingin dibacakan dongeng. Mayang pun membuka laci dashboard tempat di mana buku cerita kesukaan putrinya disimpan. Namun, barang mengejutkan sekaligus mencurigakan ditemukannya di sana, sebuah bra. Amarah Mayang pun meledak.
"Ini apa, Pa?" tanyanya dengan suara tinggi. "Perempuan mana yang meninggalkan ini, Pa?"
Dirgantara tampak kaget. "Papa enggak tau, Ma!"
Melihat orang tuanya bertengkar, Aldi cepat memeluk adiknya, membenamkan wajah Shinta ke dada, juga menutup telinga gadis kecil itu. Sementara itu, pertengkaran Dirgantara dan Mayang semakin hebat.
"Ngaku, Pa!"
"Papa beneran enggak tau, Ma! Mungkin supir yang baru ...."
"Enggak usah nuduh orang, Pa. Mana berani supir pake mobil majikan buat begituan!" Mayang sudah tak kuasa menahan tangis. "Pa, kalo emang Papa enggak sayang lagi sama Mama, mending Papa lepasin Mama!"
"Tapi, Ma. Papa beneran enggak tau. Mama satu-satunya–"
Dirgantara terbelalak. Akibat berdebat dengan sang istri, dia lengah. Mobil yang dikemudikan salah jalur. Sementara itu dari arah depan, truk melaju dengan kecepatan tinggi. Mayang berteriak panik. Sementara Aldi di jok belakang semakin erat memeluk Shinta.
Dirgantara berusaha memutar kemudi. Mobil memang kembali ke jalur yang benar, tetapi seorang pengendara motor tiba-tiba berhenti. Dia cepat menginjak pedal rem.
"Ck! Sial!" umpatnya begitu menyadari rem blong.
Dirgantara terpaksa membanting stir. Tabrakan dengan pohon tak terelakkan. Mobil terguling beberapa kali membuat Aldi dan Shinta yang berpelukan terlempar keluar. Selanjutnya hal mengerikan terjadi, ledakan besar membakar mobil bersama Dirgantara dan Mayang.
...
Aldi terbangun dengan tubuh dibanjiri keringat. Napasnya masih tersengal. Pipinya juga terasa basah. Mimpi tentang kejadian buruk di masa lalu membuatnya tanpa sadar menangis.
Mimpi buruk itu datang mungkin karena kemarin malam, Aldi memeriksa kembali dokumen-dokumen terkait kecelakaan yang menimpa orang tuanya. Meskipun sudah tahu siapa pelaku utama, bukti belum cukup dan masih terlalu lemah. Manusia-manusia licik itu benar-benar licin dan pandai memotong ekor, sehingga mereka selalu bisa cuci tangan dari setiap kejahatan yang dilakukan.
Aldi mengepalkan tangan. "Pa, Ma, kematian kalian pasti ulah ular-ular sialan itu juga, suatu saat aku akan membalasnya. Jika buktinya sudah terkumpul, aku tidak akan melepaskan mereka," tekadnya.
***
Sesuai janji, Aldi akan mengenalkan Putri dengan neneknya. Pagi menjelang siang, dia telah menjemput di panti asuhan. Shinta juga ikut serta. Rencananya, mereka akan bertemu di sebuah restoran ternama.
Awalnya, Sulistyawati meminta mereka datang ke rumahnya. Namun, tiba-tiba ada masalah di butik, sehingga dia harus terjebak kesibukan seharian ini. Akhirnya, pertemuan dipindahkan ke restoran di dekat butik saja sekalian makan siang. Aldi sempat menyarankan untuk menunda, tetapi sang nenek malah curiga.
"Ayo, Kak, kita masuk, Eyang sudah nunggu di dalam katanya," ajak Shinta ketika mereka sudah tiba di restoran.
Putri pasrah saja ketika ditarik Shinta memasuki restoran. Dia sibuk menenangkan jantung yang berdebar. Eyang yang dimaksud Shinta dan Aldi sudah seperti pengganti orang tua mereka. Seperti Putri, dua bersaudara itu juga telah kehilangan orang tua di usia belia. Jadi, pertemuan ini sama saja dengan bertemu calon mertua. Meskipun hanya pura-pura, entah kenapa Putri benar-benar gugup, seolah merasakan firasat buruk yang sangat kuat.
Shinta berhenti di meja nomor enam. Dia begitu semangat memperkenalkan Putri kepada sang nenek. Aldi yang mengekor menggeleng pelan melihat kelakuan adiknya. Sementara itu, Putri dan Sulistyawati terpaku dan saling menatap dengan mata membulat lebar.
"Eyang Sulis!" seru Putri tanpa sadar.
"Wulan!" balas Sulistyawati juga tanpa sadar.
"Tunggu ... apa maksud Eyang kalo dia Wulan?" sergah Aldi.
Jantung seketika berdetak kencang. Seruan neneknya sebenarnya sudah sangat menjelaskan semua kecurigaan. Kemiripan yang hampir 100 % kini sudah terjawab. Rasa nyaman saat bersama juga tidak lagi hal aneh. Namun, Aldi masih ingin lebih meyakinkan.
"Eyang, apa sebenarnya yang terjadi?"
Putri tersadar. Dia menelan ludah. Hidupnya benar-benar dipenuhi kebetulan. Aldi adalah benar-benar Joko. Putri menyesali tak mencari tahu kepanjangan huruf J di nama Aldi. Kini, dia tak mungkin bisa berkelit, apalagi mengajak Sulsityawati bersandiwara.
"Ternyata, hidup kita memang dipenuhi kebetulan, ya, Mas," gumamnya pada akhirnya.
Sulistyawati mengajak mereka duduk dulu dan memesan makan. Sambil menunggu pesanan, dia dan Putri menceritakan pertemuan pertama mereka setelah lama terpisah. Shinta sampai menggebrak meja saat mendengar Rani dan Paramitha sempat memfitnah Putri.
"Waktu kamu kenalkan Rani, Eyang menentang keras karena ya sudah ketemu, Wulan," tutur Sulistyawati mengakhiri ceritanya.
"Maaf, Eyang. Eyang pasti kecewa. Sebenarnya, aku sama Rani Cuma pacaran kontrak," jelas Aldi.
Dia memutuskan jujur. Sulistyawati sempat marah karena tidak suka jika hubungan dipermainkan. Namun, Putri berhasil membujuknya. Meskipun begitu, Aldi merasa tak nyaman, karena Putri malah terasa malah menjaga jarak.
Usai makan siang, Putri juga langsung minta diantar pulang. Sepanjang perjalanan, tak ada yang buka suara. Bahkan, Shinta yang biasanya selalu cerewet hanya bisa menahan rasa harunya. Aldi susah payah menahan gejolak kerinduan dalam dada. Rasa ingin memeluk gadis pujaan hati harus ditekan sebisa mungkin karena Putri semakin menjaga jarak.
***
Putri menatap langit-langit kamar dengan tatapan hampa. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Namun, matanya masih enggak terpejam. Berbagai rasa bercampur aduk dalam benak, membuat dada sesak dan kepala terasa berat.
"Kenapa, kenapa Mas Aldi harus benar-benar Mas Joko?"
Putri mengusap wajahnya.
"Jika begini, bagaimana caranya membalas dendam."
Bayangan Aldi tengah tersenyum manis mengusik pikiran. Putri mencengkeram dada, kesal dengan debaran jantungnya sendiri.
"Aku tidak mau luluh. Aku ...."
Entah karena terlalu memaksakan diri atau memang sangat mengantuk, Putri malah tertidur.
**