Mei 2019.
Aku melangkahkan kakiku menuju sebuah restoran yang tertulis di dalam undangan reuni Angkatan 2007.
Sudah berapa lama ya aku tidak bertemu mereka? Mungkin sebelas atau dua belas tahun. Sampai rasanya aku ragu untuk masuk dan menyapa mereka semua.
Namun ketika aku terjebak dalam keraguanku, tangan seseorang melambai dengan senyum yang menghias di wajahnya.
"Ris!" teriaknya. "Di sini!" Aku pun tersenyum membalas lambaiannya, mempercepat langkahku sebab sepertinya tinggal aku saja yang belum datang.
Memilih duduk di samping Tya, teman yang sebenarnya dulu tidak terlalu akrab di kelas. Namun setelah lulus, aku malah sering chat dengannya.
"Gimana kabarnya? Baru sampai kampung kemarin ya?" tanya Tya, dia seakan memeriksa wajahku dengan memandangnya dari samping.
"Iya nih, baru sampai kemarin. Terus dapet undangan," jawabku.
Aku pun mengelilingkan pandanganku. Murid yang dulunya ada empat puluh empat, kini tinggal empat puluh satu. Namun dari sisanya, mungkin yang datang hanya sekitar tiga puluh orang.
Yang aku tahu mereka pindah kota, sampai ada yang bekerja di luar negeri di bidang pelayaran.
Namun tetap saja aku merasakan suatu yang kosong di dalam hatiku. Tapi apa ya?
"Oh ya ini udah mau enam tahun Damar gak ada ya?" Suara itu—aku langsung melirik ke arahnya ketika menyinggung nama Damar.
"Kan hari ini ya, dia meninggal enam tahun yang lalu. Pas banget loh, hari ini," sahut Astuti.
Damar—dia adalah cinta pertamaku. Cinta pertama yang aku temukan ketika aku masih berumur enam belas tahun. Cinta pertama dan cinta monyet, yang mungkin memiliki kesamaan.
Tapi sayangnya, aku tak bisa melupakan cinta monyetku itu? Kenapa?
"Kamu udah tau kan dulu dia meninggal karena apa?" bisik Tya kepadaku.
Aku mengangguk. Tentu saja aku tahu. Tahun dua ribu tiga belas, ketika aku membaca pesan dari teman sebangkuku Dini, yang mengatakan jika waktu itu Damar meninggal.
Dini: Damar meninggal.
Waktu itu aku merasakan degub jantungku berpacu sangat cepat. Lututku melemas seketika, dengan wajah yang mengencang.
Aku mencoba untuk tidak percaya. Mencoba untuk lebih percaya jika itu hanya humor April Mop. Tapi sayangnya waktu Dini mengirimkan pesan itu, bulan itu adalah bulan Mei.
"Gak mungkin," desisku tak percaya.
Tanganku yang memegang ponsel gemetar. Nining teman satu mess-ku mengguncang tubuhku.
"Kenapa Ris?" tanya Nining.
"Damar Ning, Damar."
Nining mengerutkan alisnya. Dia belum mengerti apa yang aku katakan saat itu. Aku pun akhirnya mengangsurkan ponsel pada Nining dan memintanya untuk membaca pesan itu sendiri.
Sementara aku terduduk di atas lantai yang dingin.
"Ini serius?" tanya Nining ikut tak percaya.
Nining adalah teman SMP-ku. Namun ketika masuk SMA, aku satu sekolah dengannya tapi berbeda kelas. Dia IPA—aku Bahasa.
Ketika lulus sekolah, aku dan Nining kemudian memutuskan untuk bekerja di luar kota. Dan tinggal satu mess.
Nining mengetikkan sesuatu di sana, tak lama ponselku berbunyi PIP.
"Bunuh diri, Ris," katanya dengan suara gemetar. Dia memegang kedua bahuku.
Nining tahu kalau aku adalah mantan kekasih Damar. Bahkan kisah cintaku dan Damar satu sekolah pun tahu, karena aku dan Damar adalah pasangan yang unik.
Di mana aku yang memiliki tinggi 165 sedangkan dia 155 sentimeter. Tapi aku tidak mempermasalahkan itu kok.
"Bunuh—diri." Mataku menatap Nining, dia kemudian membaca lagi pesan balasan dari Dini. "Meninggal di kamarnya—gimana? Mau ke sana?"
Mana mungkin! Jarak kota tempatku bekerja dan kampung halaman saat itu memakan waktu selama dua belas jam lebih mengingat belum ada jalan tol seperti sekarang.
"Tapi dia kenapa ya? Kan dia anaknya ceria begitu." Nining mulai berpikir.
Aku sendiri juga berpikir seperti itu awalnya. Namun, dalamnya hati siapa tahu. Bahkan terkadang orang yang menampilkan wajah cerianya di depan orang-orang, biasanya yang sering menyimpan luka di dalam hatinya.
Namun kenapa dia harus mengakhiri hidupnya seperti ini? Bukankah dia masih memiliki kekasih yang selalu ada untuknya?
Aku kemudian merebut ponselku, masuk ke salah satu media sosial. Karena aku berteman dengan adik Damar.
Dan benar saja, aku menemukan postingan berita duka mengenai Damar. Jadi tidak mungkin kalau hal itu adalah tipuan dari Dini. Bahkan aku melihat banyak komentar yang memenuhi kolom postingan milik Wulan.
Jadi benar-benar meninggal?
Saat itu aku mencoba untuk tidak percaya. Namun—aku menyerah, teman-temanku memberitahuku jika Damar meninggal hari itu.
Padahal aku dulu sempat bertemu dengannya beberapa kali sebelum merantau. Bahkan berkirim pesan di facebook. Namun—aku sungguh tidak menyangka jika dia akan memilih untuk mengakhiri hidupnya seperti itu.
"Tinggal empat puluh satu ya, Ris. Gak nyangka banget, orang yang kocak semuanya pergi," kata Tya. Dia menatap sekelilingnya, teman-temanku di sana masih bisa tertawa, sementara aku menelan kenangan itu dengan perasaan yang sesak.
Damar meninggal, kemudian disusul temanku lainya meninggal karena sakit. Lalu satunya lagi karena kecelakaan. Semuanya tanpa diduga, jika melihat waktu itu. Aku pikir mereka akan tiada karena menua, bukan seperti itu.
"Pasti belum bisa move on dari Damar ya?" goda Tya.
"Mana mungkin sih," sahutku ragu. Aku meminum jus yang baru saja datang dan meneguknya dengan gugup.
Mata Tya mendelik ke arahku, dia tahu kalau aku sedang berbohong.
"Tapi selamat ya, atas pernikahan kamu," ucapku pada Tya. Yang baru menikah bulan kemarin.
"Semuanya udah nikah, tinggal kamu tuh. Kapan?" Tya menyenggol bahuku. Aku hanya tersenyum.
Di acara reuni itu, aku hanya mengobrol dengan Tya. Sesekali aku menanggapi pertanyaan dari temanku yang lainnya.
Entah hanya perasaanku atau bukan. Namun aku merasakan ada dinding di antara kami.
Yang hanya lulus SMA dan yang belajar sampai kuliah. Aku merasa ada benteng itu berdiri tinggi di sini, saat ini.
Tya yang tidak kuliah dan memutuskan untuk langsung bekerja tentu saja duduk denganku.
Sementara Dini, yang kuliah. Dia memilih untuk ikut kelompok yang lain. Mengingat ketika sekolah aku dan Dini adalah chairmate sejati.
Miris, aku hanya tersenyum tipis.
"Aku ke toilet dulu ya, Tya," pamitku padanya. Aku bangkit dan mencari-cari tulisan toilet berada.
"Tuh di sana, Ris." Ratna yang juga lulusan SMA menunjukkan letak toilet. Aku pun langsung bergerak.
Ketika berjalan, aku melihat di sisi kiriku sebuah kolam renang yang biasanya dipakai ketika siang. Namun karena saat ini malam, kolam renang itu sepi.
Aku berhenti sebentar. Menatap air yang memantulkan bayanganku di sana.
Ketika aku hendak membalikkan tubuhku, seorang pelayan yang membawa nampan tak sengaja menyenggol bahuku hingga membuatku terdorong ke belakang.
Aku melihat langit yang penuh dengan bintang malam ini meski sesaat. Sebelum akhirnya merasakan air yang dingin membasahi tubuhku.
Aku tenggelam. Dan aku mulai sadar, jika aku tak bisa berenang.
Apakah aku akan mati malam ini? Karena tenggelam disebabkan tak bisa berenang?
Aku memejamkan mataku, menahan napasku dengan tangan terjulur ke atas. Dan ketika aku menutup mataku, bayangan Damar yang tengah tersenyum dan memakai seragam abu-abu putih terlihat jelas di mataku.
"Damar," panggilku dalam hati.