Chereads / Quarantine Tower 7 / Chapter 8 - chapter 8

Chapter 8 - chapter 8

selanjutnya...

Lima menit telah berlalu, aku masih menunggu ke datangan perawat laki-laki itu. Sembari menunggu akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan menelusuri lorong Rumah Sakit yang ada di ruangan karantina ini.

Disaat aku berkeliling aku kembali bertemu dengan mas Erik "haii.. mba Nov sedang apa di sini?? belum mendapatkan ruangan juga ya mba?."

"Haii mas Erik, ehmm bukan kok, saya sudah dapatkan ruangan nya tapi saya lagi menunggu ransel dan barang-barang bawaan saya yang sedang diambilkan oleh mas mas perawat." Aku menjawab pertanyaan Mas Erik dan menyodorkan charger miliknya. "Ohh iya mas, saya mau mengembalikan charger milik Mas Erik. Terimakasih ya, Mas Erik telah meminjamkan charger, untunglah ada mas Erik."

"Sama-sama mba, kalau mba nya butuh apa-apa jangan sungkan untuk minta tolong kepada saya." Mas Erik menawarkan bantuan kepadaku. Membuatku merasa nyaman, jadin suatu saat aku butuh bantuan aku bisa minta tolong kepadanya. "Baik mas, terimakasih ya mas sudah banyak membantu saya. Maafkan saya telah merepotkan masnya"

"Sama-sama mba, tidak masalah itu mba. Saya pamit dulu ya mba, mau melanjutkan pekerjaan saya."

"Baik mas, silahkan! yang semangat kerja nya ya mas..!"

"..."

Aku terdiam di pojokan ruangan, melihat sekelilingku yang tampak ramai dan tidak pernah sepi. 'Lama sekali, ranselku belum sampai juga...' Aku mengeluh dalam hati. Terlalu lama menunggu membuatku bosan. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari kama Tower 7 terlebih dahulu.

'Tower 5,Tower 6, dan... ini pasti kamar Tower nomor 7. Ruangan yang Suster Susi bilang tadi.' Aku menghitung setiap ruangan yang kulewati di dalam hati. Akhirnya aku menemukannya tower no 7.

Aku semakin mendekatkan dan berusaha menerawang kamar ini melalui jendela kamar. Namun jendela ini terlihat hitam dan gelap, jadi aku tidak bisa melihatnya dari luar. Aku penasaran sekali, seperti apasih kamar yang nantinya menjadi kamarku selama 14 hari kedepan.

'brruubb... bruubb...' suara gemuruh perut terdengar di telingaku. Rupanya aku sangat lapar, karena semenjak kabur dari rumah. Tidak ada satu pun asupan makanan yang masuk ke dalam tubuhku ini.

laki-laki yang akan membawa ranselku tidak kunjung datang, padahal lapar ini sudah tidak dapat lagi di kompromi. Apakah aku harus mencari makan terlebih dahulu?.

'Ah.. tidak aku harus menunggu. Siapa tahu sebentar lagi mas masnya datang' Aku mengurungkan niatku untuk mencari makanan terlebih dahulu.

Aku terus memegangi perutku yang terus berbunyi dengan cepat, layaknya suara sebuah bom yang siap untuk meledak.

"aakkhhh...!" Aku berteriak karena terkejut. Tiba-tiba saja ada seseorang yang menepuk pundakku.

"Mba, ini tas milik mba.!" Seorang pria menyerahkan ransel milikku.

"Terimakasih ya mas! maaf saya kaget, tadi saya pikir hantu yang mencolek pundak saya. ckckck"

"Iya mba tidak apa-apa, lagian mba nya ngapain ngintip-ngintip? bukannya lansgung masuk saja."

"Saya menunggu ransel ini dulu mas, semua barang-barang saya kan ada disini!"

"Oalahh, iya mba. yaudah saya pamit dulu ya mba. Selamat beristirahat!"

"Eh tunggu mas!" Aku menghentikan sejenak perawat laki-laki itu, dan memberikan sedikit uang sebagai tips untuknya. "Ini mas, untuk uang rokok, diterima yah!"

"Waduhh... Terimakasih mba, saya jadi ga enak. Tapi sekali lagi terimakasih, saya pamit dulu ya mba!"

"Iya, silahkan mas!" Aku mempersilahkan perawat itu untuk pergi dan perlahan-lahan membuka pintu kamar yang sudah ada di hadapanku.

"tok... tok...!" Aku mengetuk pintu ini sebelum membukanya.

cklek (suara pintu terbuka)

"Permisi.. perkenalkan nama saya Novelyn Erithia Pratama, saya penghuni baru di kamar ini!" Aku memperkenalkan diriku di depan pintu yang masih terbuka, dan jujur aku masih terpanah akan apa yang aku lihat saat ini.

"Haiii nov! silahkan masuk dan silahkan bergabung di kamar Tower 7!" Ucap seorang wanita berambut panjang itu. Hanya ia yang menyambutku di kamar ini. Kulihat semuanya pada sibuk masing-masing dengan kesibukan yang mereka lakukan.

'Wahh Ternyata ruangannya luas sekali.' Gumamku dalam hati, setelah melihat satu ruangan berukuran kurang lebih 30m². Ruangan yang berkapasitas muat hingga 8 pasien ini terlihat cukup rapih dan juga bersih. Ada delapan ranjang rumah sakit tersusun rapih dengan satu loker di sampingnya. Ditambah dengan kapasitas televisi gantung, ac yang menempel di dinding. mataku terpanah melihat kamar mandi yang hanya ada satu di dalam ruangan ini.

Kamar mandi ini mengingatkan aku pada kamar mandi yang ada di rumah. Kamar mandi yang menjadi bahan rebutan antara aku dengan Randi setiap pagi.

Kakiku mulai memasuki kamar ini selangkah demi selangkah. Mataku menyisir setiap sudut ruangan ruangan yang terlihat cukup nyaman untukku. ternyata aku tidak sendirian disini. Aku pikir, aku akan di tempatkan di ruangan yang sendirian, sempit, kotor, dengan suasana yang sepi dan mencekam.

Aku berjalan menuju salah satu ranjang yang masih terlihat kosong. Ranjang itu tepat berada di samping wanita yang tadi menyambutku dengan baik.

Aku menatap ke semua penghuni yang ada di kamar ini. Mereka terlihat sibuk dengan aktivitas yang mereka lakukan.

Ada anak kecil yang sedang tertidur pulas, ada juga seorang remaja yang sibuk dengan handphone genggamnya, ada seorang ibu-ibu yang sedang membaca sebuah buku. Dan ada juga yang sedang sibuk merapihkan nakasnya.

Aku melangkah pelan-pelan, agar ketukan langkahku tidak berbunyi karena aku takut seseorang akan merasa terganggu bila mendengar suara deru langkah kaki.

"Permisi!" Ucapku pelan dengan suara yang sangat kecil, sampai-sampai hanya aku yang dapat mendengarnya. "Haii...! Namaku Novelyn, nama kamu siapa?" Aku berbisik pelan.

Wanita itu tersenyum manis kepadaku dan memperkenalkan dirinya. "Hai... Namaku Geraldin Gracia Elsa. Kamu boleh panggil aku Gerald, aku wanita paling cantik, imut, dan juga lucu di antara mereka semua yang berada di sini. Jadi meskipun kamu berada di sini, itu tak akan merubah predikat kecantikanku ya!"

"Ckckck... Sorry, i'm just kidding!" Gerald menambahkan candaan tanda perkenalan.

"It's okay. Aku justru senang karena berkenalan denganmu, dan akhirnya aku bisa mendapatkan teman di sini."

"off course! Aku mau kok jadi teman kamu, asal kamu jangan ngorok yah tidurnya. Habis aku tidak suka dengan orang yang mengorok saat tidur."

"Ckckck.. iya tenang aku gak ngorok kok."

Setelah berkenalan dengan Geraldine teman baruku, tanganku dengan telaten mengeluarkan barang-barang yang ada di ransel dan menatanya di dalam nakas. Ada sekitar 7 helai baju lengkap dengan celana yang berwarna senada yang telah ku siapkan dari rumah.

Sebenarnya semua baju ini akan kupakai di saat aku hiking bersama teman-teman. Namun aku tidak menyangka ternyata baju ini akan kupakai untuk hiking dan berminap selama 14 hari di rumah sakit ini.

Sebenarnya aku merasa sangat sedih, namun inilah resiko yang harus kuhadapi, setelah aku mengambil keputusan untuk kabur dari rumah dan menghiraukan peringatan-peringatan dari papah dan mamah.

(paah...! mahh...! aku sangat merindukanmu!) Lagi lagi aku hampir saja meneteskan air mata. Namun aku berusaha menyeka air mata ini sendirian, karena tidak ada lagi Raja, atau siapapun yang aku kenal.

Aku berusaha mengeluarkan handphone genggamku dari saku celana dan menghubungkannya dengan charger. Setelah ku aktifkan kembali handphoneku ini banyak sekali notifikasi masuk. Ada sekitar 100 panggila masuk, nomor itu berasal dari nomor papah, mamah, Naya, dan juga Raja.

Dan ada satu pesan yang menggetarkan hatiku. Pesan itu dikirim dari nomornya Randi.

"Kak... kamu di mana? pulanglah! papah dan mamah khawatir denganmu, mereka pergi ke kampus untuk mencarimu. Namun papah mamah tidak menemukanmu. Kalau memang kaka marah kepadaku, dan tidak menyukai kehadiranku di sini. Biarkan aku yang pergi dari sini. kaka pulang saja ya! aku tak akan mengganggumu lagi. Randi janji pada kaka!"

Ucapan yang Randi tuliskan di dalam sebuah pesan untukku sungguh-sungguh menyentuh. Aku benar-benar menyesal! ternyata papah, mamah, dan Randi khawatir kepadaku.

Aku membaca dan membalas satu persatu pesan dari mereka. Tak terasa air mata ini jatuh dengan derasnya.

'ting...! ting...! ting...!' Suara notifikasi handphoneku tak berhenti berdering. Suaranya terdengar hingga satu ruangan bisa Mendengarnya.

"Hei...! kau berisik sekali. pelankan handphonemu! itu bisa mengganggu ketenangan kami yang ada di sini." Teriak seorang ibu-ibu yang berada di pojokan.

"Baik bu, maafkan saya!"

Aku terkejut mendengar suaranya yang melengking. Aku seperti merasakan kembali jeritan dan ocehan seorang ibu, yang tiap hari aku dapatkan dari mamah.

***

Waktu menunjukkan pukul Lima sore. Aku berjalan masuk ke dalam ke kamar mandi

mencoba menghubungi mamah melalui handphone genggamku.

Aku memang sengaja, menghubungi mamah dan papah di dalam kamar mandi. Karena aku takut suaraku kembali mengusik ketenangan penghuni yang lainya.

"Halo mah..." Kuucapkan kata Halo kepada seseorang di sebrang telpon.

keran air yang berada tepat di atas bak penampung sengaja ku nyalakan. Agar suaranya dapat menutupi tangisanku yang tidak dapat terbendung lagi.

"mah... maafkan aku karena telah menjadi anak yang membangkang, susah diatur, susah dikasih tahu, maafkan aku mahh...!"

Mamahku sempat terdiam, mendengarkan apa yang aku katakan. "Mah... mamah kok diam aja, mamah masih marahq ya sama aku?" Tanyaku memastikan bahwa mamah tidak marah kepadaku.

"Erit sayang, dengarkan mamah baik-baik! mamah tidak marah kepadamu, mamah juga sepatut minta maaf kepadamu. Karena mungkin selama ini mamah terlalu mengekang, dan menuntutmu menjadi anak seperti apa yang mamah inginkan. Mamah tidak marah sama Erit." Ucap mamah, suaranya terdengar lembut dan meneduhkan

"Mamah tidak marah kepadamu hanya saja sedikit kecewa, tapi mamah harap kamu bisa mengambil pelajaran dari semua yang kamu alami saat ini. Satu pesan mamah jaga baik-baik dirimu disana!. Mamah yakin kamu pasti akan sembuh." Lanjutnya memberiku nasihat dengan sangat manis, teduh kudengar suara mamah yang lembut membuatku semakin terpancing untuk terus menangis.

"Mahhh... maafkan aku! mamah tidak salah, akulah yang bersalah mah. Aku janji setelah ini aku akan menjadi anak yang lebih baik lagi. Aku tidak akan menjadi anak yang membangkang lagi kepada mamah dan papah. Maaf mah.. maafkan aku!"

"Iya sayang. Mamah sudah memaafkan kamu. Jaga dirimu baik-baik yah. Jangan panik! jangan khawatir. Mamah yakin kamu pasti bisa melewati semua ini. Dan kamu akan segera sembuh, dan pulang bersama kita kembali." Ujar mamah. Baru kali ini aku bisa berbincang dengan santai. Dengan mamahku sendiri, karena biasanya aku dan mamah selalu berdebat karena sama sama keras kepala.

"Terimakasih mamah, aku sayang sama mamah. Dan... papah mana mah?"

"Tunggu sebentar, papahmu biar mamah panggilkan"

"Baik mah." Aku menunggu beberapa saat dengan keberadaan ku yang masih di dalam kamar mandi.

Setelah lumayan lama aku menunggu, suara ketukan pintu terdengar dari dalam. "siapa di dalam? gantian dong aku mau pup nih!"

"I... Iya tunggu sebentar lagi ya."

Suara itu terdengar seperti suara laki-laki. Aku menerka-nerka siapakah laki-laki itu, apakah dia laki-laki yang berada di ranjang pertama, atau dia laki-laki yang berada di sebrang ranjangku.

Rasa penasaran membuat diriku nekat untuk mengintip. Tanganku mulai menggapai pintu dan membukanya sekitar 0.01 centi. Sedikit sekali, sehingga aku hanya bisa melihat jarinya yang menempel di gagang pintu.

"Halo sayang, ini papah nak." Suara pria itu terdengar dari handphoneku. Sebenarnya handphoneku ini masih menempel di telinga, namun aku tidak berani untuk kembali melanjutkan obrolan ini. Jadi, aku terpaksa memutuskan teleponnya. Karena laki-laki yang berada di depan itu semakin mempercepat ketukan pintunya.

"Hei.. tolonglah cepat! atau pintu ini akan aku dobrak kalau kamu tidak keluar juga!" Ancam cowok itu dengan nada yang sedikit meninggi. "Aku hitung sampai tiga ya. Kalau tidak mau keluar juga akan kudobrak. satu... dua... ti..."

"Oke baik, aku keluar!" Tanganku refleks membuka dengan cepat pintu ini, sehingga mengenai wajah laki-laki tersebut dan membuatnya mengeluh kesakitan.

"Aduhh hidungku." Tangannya memegeng hidung yang memerah. "Kamu tidak bisa hati-hati yah, sakit tahu...!"

Pintu ini sudah terbuka dengan lebarnya, sehingga aku mampu melihat laki-laki itu dengan jelas, mataku terpanah melihat ketampanan seorang pria yang bertubuh besar, berkharisma dan mempesona.

Matanya berbinar-binar bak bintang yang mengkilaukan malam. Rahangnya yang tegas menambahkan ke tampanan yang ada. Sungguh Baru kali ini aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang pria yang tampaknya tidak lagi muda.

"Maafkan...!" Ucapku seperti tertahan. naluri seperti berhenti mata ini tak mampu lagi berkedip. "Jadi tadi itu aku.. aku.. jadi gini, jadi Karena aku tadi itu terburu-buru jadi itu... hidung kena dehh.."

Tak sempat menunjukkan tanganku kearah hidungnya, ia mendorongku dan dengan cepat ia masuk ke dalam kamar mandi. "Sudah awas! kamu kelamaan."

pria itu adalah cinta pertama untukku. Aku merindukan suaranya yang setiap pagi memanggilku dengan lembut. aku rindu papah..

"Pah.. maafkan aku!! aku tidak mau mendengarkan kata-katamu. Aku telah durhaka kepadamu pah..!"

"Tidak sayang, kamu adalah putri papah yang baik. dan penurut, papah do'a kan kamu agar baik-baik saja disana. Cepat sembuh dan cepatlah pulang bersama kami ya nak. papah tunggu kamu di rumah bersamaa mamah. papah Randi dan nenek. hati-hati disana ya sayang!"

"Baik pah, aku tutup dulu telepon nya ya pah!"

Aku menutup telepon dan keluar dari kamar mandi ini, karena tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar mandi ini.

"yaa tunggu sebentar!! "

"lama sekali. ngapain aja di kamar mandi. Eh.. kamu nangis ya??

ingat kalau handphone genggamku saat ini masih dalam keadaan mati. Tanganku meraba ke belakang celana dan mengambil handphone yang tidak kunjung keluar dari dalam saku.

membereskan barang-barang bawaan yang ada di ranselku.

"Kamu sudah lama berada disini ya?" Tanyaku untuk memulai obrolan.

"Sudah sekitar dua hari aku berada disini. Tapi tenang saja, aku bukan penghuni pertama kok di sini!"

Sekitar dua hari berada disini... ia bisa betah berada disini, apakah aku bisa juga bertahan di Rumah Sakit ini 14 hari, itukan tidak sebentar. Aku terkukung sekitar dua pekan di ruangan ini, sehari aja aku tidak betah bila harus berlama-lama di rumah.

"Aakkhhhh tidaaakkk...!" Teriakku memekik membuat seluruh penghuni kaget.

"Kamu kenapa Nov?" Langkah Gerald bergerak cepat mengarah ke ranjang tidurku.

Aku tidak