Lain cerita dengan Felicia yang merasa hidupnya runtuh. Kaisar sedang asik merokok di beranda lantai dua dan juga menghabiskan secangkir kopi. Sebagai pria dia memang enggak rugi apa pun, toh, mereka melakukan persetubuhan itu karena persetujuan dua belah pihak, bukan pemerkosaan.
Masalah itu bukanlah masalah besar di dalam hidup Kaisar yang rumit. Benar, bukan masalahkan? Apalah artinya kehilangan beberapa mili liter bibit? Toh saat mimpi basah juga tanpa sadar tubuh Kaisar membuangnya.
Tapi ucapan Felicia tadi cukup membuatnya kesal. Memang apa jeleknya bekerja sebagai kuli bangunan? Kan uangnya halal, bahkan Kaisar bisa membeli motor dua silinder dengan kapasitas 250 cc dari gajinya sebagai kuli bangunan.
"Payah," tukasnya kesal bila mengingat kembali betapa Felicia benci tidur dengan pria miskin sepertinya. Harga diri Kaisar seperti diinjak-injak.
Asap rokok mengepul dari bibirnya yang seksi. Kaisar mengusap dadanya yang bidang, kenapa berdenyut? Apa karena Felicia memintanya untuk melupakan kejadian semalam? Berbeda dari Felicia yang tak mengingat apa pun, Kaisar ingat tiap detail dari kejadian semalam, ia ingat betapa cantiknya wajah Felica saat mendesah sensual karena hentakan tubuh kekarnya semalam.
[Cih, tak hanya dia yang kehilangan keperawanan, gue juga kehilangan keperjakaan.] Decih Kaisar dalam hatinya. Score mereka itu sama, keduanya sama-sama masih suci. Well, Kaisar emang pernah mengeluarkannya dengan sabun sih.
Beberapa saat melamun, ponsel Kaisar berbunyi. Sebuah pesan masuk.
[Setidaknya jenguk Kakek!]
Kaisar hanya membacanya sepintas lalu dan meletakkan kembali ponselnya. Tak ada respon di wajah tampannya. Atau pun keinginan untuk menggerakan jemari dan membalas pesan itu.
"Aku harus pulang sebentar untuk memberi makan Gadis." Kaisar bangkit, ia mengambil langkah untuk menuju ke halte bus terdekat.
******
.
.
.
"Ah ... Ah, lebih cepat, Boy!!" Fiona melengguh saat kekasihnya menyodokkan tongkatnya masuk ke dalam lubang basah miliknya.
Fiona menungging dan membuat pantatnya yang besar begitu menonjol dan memantulkan pinggul Boy saat mereka bersenggama. Sesekali Boy menceples pantat Fiona karena gemas.
"Ah, ah, aku mau sampai!! Aku akan menghajarmu lebih keras, Sayang!" Pintanya.
Tubuh Fiona berkeringat karena permainan panasnya dengan Boy Hendrawan siang ini. Seorang pria pengangguran yang merupakan kekasih Fiona sejak gadis itu SMA. Cinta masa muda yang menggairahkan. Boy adalah senior Fiona di SMA, saat itu Boy kelas tiga dan Fiona kelas satu. Anjani sudah beberapa kali memisahkan mereka karena Boy adalah anak nakal dengan segudang prestasi buruk. Tukang mabuk, berantem, kebut-kebutan, suka main judi, dan juga pernah beberapa kali terlibat pengedaran obat-obatan terlarang.
Well, tapi kata orang yang bajingan jauh lebih menarik dari pada yang pendiam dan berprestasi. Tak ayal, Fiona yang dididik dengan keras oleh kedua orang tuanya penasaran kehidupan bebas dan tergoda untuk menjadi kekasih Boy, bahkan mereka diam-diam berpacaran di belakang Anjani dan Rangga.
"Gue keluar, Beb! Sini wajah lo!" Boy menarik keluar kejantanannya dan menembakkannya ke wajah Fiona. Cairan putih kental itu memenuhi wajah cantik Fiona. Dengan jemarinya yang lentik Fiona meratakan cairan lengket itu ke wajahnya.
"Maskeran, biar cantik." Fiona terkikih, kata buku yang pernah ia baca, sprma memang mengandung banyak sekali protein dan juga gizi yang bisa membuat kulit halus.
"Dasar, jangan deket-deket, baunya nggak enak!" Boy merebahkan tubuhnya ke atas kasur, lelah setelah bermain cukup lama dengan kekasihnya.
"Ga enak juga asalnya dari tubuh elo, Beb!" Fiona terkikih.
"Jijik ah, sana cuci muka!" Boy bergeleng dengan tingkah absurb Fiona.
Fiona menurut, ia pergi ke kemar mandi untuk membersihkan diri supaya segar. Setelah ini dia masih harus pergi dengan Reyhan ke bridal dan mencoba baju pengantin. Fiona akan menggantikan Felicia menapaki rumah tangga bersama dengan Reyhan.
"Gimana penampilan gue, Beb? Cantik nggak?" Fiona keluar dari kamar mandi dengan dress merah keluaran terbaru dari brand terkemuka. Boy hanya mengamati kekasihnya dari ranjang, kedua tangannya tertekuk ke atas menyangga kepala.
"Elo tahu nggak, Beb. Ini harganya sepuluh juta hlo. Reyhan yang beliin." Fiona mematut diri di depan cermin.
"Ck ... Reyhan lagi ... Reyhan lagi!! Nggak ada omongan lain apa?" Boy terlihat kesal.
"Lo cemburu ya, Beb??" Fiona tertawa nyaring.
"Emang ada ya cowok yang enggak cemburu kalau ceweknya jalan, bahkan mau menikah sama cowok lain?? Dan bahkan pakai pakaian yang dibeliin cowok lain, dan bahkan .... Tanya cocok apa engga?!" Boy melengkingkan suaranya pada kalimat terakhir.
Fiona tersenyum dan melangkah naik ke atas ranjang, duduk di antara kedua paha Boy. Fiona menyunggingkan sudut bibirnya dan menarik leher Boy mendekat.
"Kalau elo nggak pengangguran dan mau kerja, gue juga enggak perlu jadi tumbal Mama gue, Beb!" Fiona mencela kekasihnya, mata Boy menghindar dari tatapan tajam Fiona.
"Kalau elo bisa hasilin duit dan nggak judi terus terusan, mungkin juga gue nggak akan mau ngakang buat si Reyhan berengsek itu." Fiona melanjutkan celaannya.
"Gue bisa kok cari duit!" Sahut Boy.
"Dari judi dan jualan obat?? Yang selalu habis karena elo gak pernah menang!" Tebak Fiona.
"Fio—" Fiona membungkam bibir Boy dengan jemarinya. "Sstt ...."
"Elo pikir, apartemen yang lo tinggalin sekarang, baju yang elo pakai sekarang, ranjang yang kita pake buat bercinta tadi itu dari siapa??" Fiona mengusap leher dan naik untuk menjambak rambut Boy. Pria itu mengeryit, wajahnya mendongak dan bertemu dengan wajah Fiona.
"Lo pikir, semua yang lo punya saat ini dari siapa, Beb?" Fiona berbisik sebelum menggigit telinga Boy. "Semua dari gue, pakai duit Reyhan!!"
"Aduh!! Dasar wanita gila!!" Boy terpekik kesakitan.
"Jadi jangan protes!! Tunggu aja gue nikah sama dia dan dapetin perusahaan dia. Kalau bukan demi harta dia gue juga nggak sudi ngakang untuk sepuluh detik doang." tandasnya. Fiona bangkit dan merapikan lagi dressnya.
"Sepuluh detik? Stamina dia lemah banget, suru minum suplement," tukas Boy sembari menggosok telinganya yang memerah. Fiona hanya tertawa sumbang.
"Dan gue harus pura-pura mendesah keenakan sembari memuji dirinya. Gila nggak sih?? Kalau bukan karena duit dia banyak, gue juga ogah di obok-obok," tandas Fiona.
"Gue kira elo mau sama dia cuma karena perintah Mama lo doang, Sayang." Boy memeluk pinggang Fiona dan menaruh dagunya di dada, kembali menjadi cowok parasit.
"Gue bukan cewek cupu kayak Kak Cia."
Fiona hanya berdecih sebelum melepaskan diri dari pelukan Boy. Takut bau asap rokok dari bibir Boy melekat di tubuhnya. Fiona bergegas memakai parfum dan menyisir rambut seadanya. Ia akan menata rambut dan make up di salon saja.
"Gue pergi," pamit Fiona setelah mengecup bibir Boy.
Fiona di didik dengan keras oleh Anjani karena tak bisa mengungguli Felicia dalam hal apa pun. Sang ayah, Rangga, juga begitu, ia selalu membanding-bandingkan Fiona dengan Felicia. Menyuruh Fiona untuk mengikuti jejak Felicia, bila Fiona gagal maka Rangga akan mencelanya, menganggapnya anak yang tidak kompeten. Fiona lelah terus menjadi bayangan Felicia yang sampai kapan pun hanya akan berada di belakangnya. Lampu hanya akan menyorot pada Felicia, dan bayangan yang dihasilkan hanya akan terlupakan dan diinjak-injak.
"Gue benci banget sama kalian!! Lihat saja, begitu gue jadi nyonya Dirgantara, gue bakalah pergi dari rumah!! Gue bakalan tunjukkin ke kalian siapa gue, dan apa yang gue bisa lakuin!!" Fiona menggebrak setang mobilnya.
Depresi bertahun-tahun yang ia alami dalam tekanan keluarga akan segera berakhir. Fiona akan mengalihkan semua harta Reyhan atas namanya. Dan begitu semuanya tercapai, ia akan menceraikam Reyhan dan hidup dengan Boy.
— ***** —