Felicia menutup mulutnya yang mengangga setelah mengingat kejadian semalam. Felicia benar-benar gila dan tak tahu malu saat mabuk. Semua sisi gelapnya keluar dengan liar.
"Sorry, gue minta maaf. Gue nggak bermaksud nuduh elo, Kai. Sorry, gue beneran sama sekali nggak sadar." Felicia menggigit bibir bawahnya dengn gusar. Baru saja ia menuduh Kaisar dan bahkan mengatainya dengan kasar, padahal Kaisar telah menolongnya. Kalau bukan karena Felicia menarik tubuhnya saat mabuk, mungkin Kaisar bisa pulang dan beristirahat tanpa harus menemaninya semalaman.
"Nggak apa kok. Gue tahu elo suka nuduh orang sembarangan. Gue nggak kaget." Kaisar masih duduk dan memakai kembali sepatunya dengan tenang.
"Bu ... bukan gitu maksud gue. Hm ... sory, gue nggak sepantasnya membela diri. Benar, gue akui akhir-akhir ini gue susah percaya sama orang lain. Gue suka accused orang lain seenak jidat gue karena trauma dan takut tertipu lagi. Jadi ... gue mau minta maaf." Felicia mengulurkan tangannya ingin menjabat tangan Kaisar.
Kaisar mengamati tangan Felicia sesaat sebelum menampiknya pelan, "Ya udah gue maafin. Sekarang mending elo bangun dan minum air putih. Mabuk lo parah banget semalam dan gue yakin elo nggak akan bisa kerja kalau masih pegar."
"Kerja!!! Akh … Iya! Gue harus kerja!!" Felicia panik saat mendengarnya dari bibir Kaisar. Sudah tiga hari ia membolos tanpa alasan. Kalau hari ini ia masih tidak datang, Felicia pasti akan di pecat. Apa lagi mencari Rumah Sakit sebesar Mirielle International Hospital sebagai tempat bekerja bukanlah pekara yang mudah.
Felicia bergegas bangkit, ia tergopoh-gopoh membongkar lemarinya dan tak peduli pada Kaisar yang masih ada di sana. Felicia bahkan hampir terjatuh karena tersandung kakinya sendiri, beruntung Kaisar bisa menangkap tubuh langsingnya.
"Thanks." Felicia dengan wajah panas bergegas pergi menuju kamar mandi. Jantungnya masih berdebar karena tatapan Kaisar yang begitu teduh saat membantunya bangkit barusan.
.
.
.
"Jam berapa sekarang?! Gila! Pukul 7.35? Aku bisa terlambat!" cicit Felicia begitu keluar dari kamar mandi.
Felicia kebingungan, ia harus naik taxi online karena mobilnya lagi-lagi berada di bengkel. Namun ... mungkinkah Felicia bisa sampai tepat waktu di RS? Bukankah jam-jam masuk kantor adalah momok bagi para pengguana jalan? Sudah pasti jalanan akan macet karena semua pekerja akan tumpah ruah di jalanan menuju ke kantor masing-masing.
"Tak perlu panik, Cia. Gue anterin." Kaisar menawarkan dirinya.
"Benarkah? Serius??" Felicia menggosok rambutnya dengan handuk agar cepat kering.
"Iya," jawabnya.
Felicia bergegas memakai pakaian kerja dan juga menyisir rambutnya. Karena tak membeli kaca mata, Felicia memakai lensa kontak lagi.
Kaisar mengamati kesibukan Felicia pagi itu, entah kenapa ia merasa senang bisa melihatnya. Mengetahui apa saja yang dikerjakan Felicia, dan juga sisi lain dari kehidupan gadis itu membuat Kaisar semakin terpesona.
"Gue sudah siap. Ayo berangkat." Felicia memakai sepatu barunya. Terlalu terburu-buru malah membuatnya kesusahan mengikat kait pada pergelangan kaki. Kaisar yang melihat hal itu langsung membantu Felicia. Ia berjongkok dan menaikkan kaki Felicia ke atas pahanya sembari mengaitkan sepatu.
"Hei!! Jangan!! Kai!" pekik Felicia, ia sangat merasa tidak enak hati, namun sepertinya Kaisar tidak masalah melakukan hal itu.
"Sudah, ayo berangkat. Elo kerja di mana? Alamatnya?" Kaisar tahu Felicia adalah seorang dokter, tapi ia tak menyangka kalau Felicia adalah dokter yang berkerja di …
"MIH, Mirielle Hospital. Elo tahukan? Yang ada di tengah kota." ucapan Felicia membuat langkah kaki Kaisar terhenti. Kaisar menatap Felicia lekat.
"Eh? Mirielle?"
"Yup." Angguk Felicia dengan bangga.
Kaisar terdiam sesaat sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkah kakinya menuju ke bawah tanah, tempat parkir motor berada. Felicia mengikuti Kaisar dengan tertatih-tatih lantaran belum begitu terbiasa dengan sepatu barunya yang berheels lancip.
"Tunggu, Kai! Jangan cepat-cepat donk! Kakiku sakit." Pinta gadis itu dengan nada manja, eh kok!! Felicia menutup mulutnya yang merancau, ah, bisa-bisanya ia mengucapkan permintaan dengan nada menjijikan seperti itu. Kaisar entah kenapa mampu membuat Felicia menjadi seperti bukan dirinya sendiri. Felicia yang biasanya tak mau merepotkan orang lain kini justru ingin selalu bersandar manja pada Kaisar.
"Lo kesambet apa?" Tuh kan, Kaisar pasti merinding dengerin suara manjanya.
"Enggak kok, gue cuma mau bilang kaki gue sakit, jadi jangan cepet-cepet jalannya." Felicia menggaruk kepalanya padahal sama sekali tidak gatal.
"Terus gimana? Lo bilang keburu telat. Apa mau gue gendong ke parkiran motor?"
Wajah Felicia merona kemerahan, di gendong ke parkiran motor, Kaisar pasti sudah gila karena menawarkan hal seontim itu pada seorang wanita.
"Mau enggak??" tanyanya lagi sembari menepuk punggung belakangnya yang lebar.
"Enggak, gue punya kaki, bisa jalan sendiri." Felicia bergegas menghindari tatapan Kaisar, takut kalau terjatuh pada pesonanya. [Lo nggak boleh jatuh hati sama pria beristri, Cia, itu namanya pelakor.] ternyata Felicia masih menganggap kalau Kaisar punya anak dan istri.
"Dasar cewek! Sebenernya maunya apa?" Kaisar hanya mendengus panjang. Padahal ia serius dan nggak ada maksud selain mengantarkan Felicia dengan cepat sampai ke rumah sakit.
*******