Setelah kecelakaan itu, Ayah tidak bisa jalan, dan harus menggunakan kursi roda. Dan otomatis, Ayah juga berhenti sebagai tukang sayur. Sebagai gantinya, pagi-pagi sekali aku harus ke pasar belanja sayuran, laly sayuran itu dijual Ibu di rumah.
Tapi rupanya jualan di rumah ridak seramai jualan keliling. Hal ini tentu saja mempengaruhi pendapatan keluarga kami. Kami harus lebih berhemat lagi agar kebutuhan tercukupi.
Diam-diam tanpa sepengetahuan Ayah Ibu,aku rela bekerja di toko selepas sekolah. Tugasku hanya menata dagangan di etalase sama nelayani pembeli. Hanya Gilang adikku yang tahu. Dengan gaji tiga puluh ribu sehari, lumayan bisa membantu membeli lauk di rumah.
Hari-hari biasa aku pulang sampai rumah jam lima sore. Tapi hari itu Pak Haji, bosku ada keperluan keluarga jadi toko tutup lebih awal. Jam empat toko sudah tutup. Hari itu kebetulan aku diberi bonus uang lima puluh ribu dari Pak Haji.
Aku sangat senang, dengan uang itu aku bisa beli jajanan kesukaan kelurgaku. Aku bisa beli martabak, pasti mereka semua suka. Karena sudah lama sekali kami nggak pernah makan jajanan dari luar. Paling sering Ibu merebus singkong, itu pun sudah buat kami bahagia.
Setelah membeli martabak, aku bergegas pulang. Tak sabar aku melihat wajah gembira adik-adikku saat menikmati martabak telur kesukaan mereka.
Sampai di depan rumah, aku melihat ada mobil mewah warna putih parkir di jalan depan rumahku. Siapa juga pikirku, tumben ada tamu orang kaya ke rumahku.
Sampai di teras dari balik jendela, kulihat sosok yang tak asing lagi, beliau Pak Haryo. Mungkin Pak Haryo ingin menjenguk Ayah, melihat kondisi Ayah.
Belum sampai aku melangkahkan kaki lagi, kudengar Pak Haryo berkata, " Jadi begini Pak, Bu, kedatangan saya kemari ingin mengutarakan niat saya, saya ingin menjadikan Renata pendamping saya." Deg, bagai petir di siang bolong, apa aku nggak salah dengar.
Apa yang saya dengar ini membuat aku sangat syok, hingga tak sadar aku menjatuhkan salah satu pot yang aku senggol. Dan timbul suara yang sangat keras, karena pot itu jatuh dan terguling, apalagi pot itu terbuat dari kaleng.
'Renata!" Ibu keluar dan menyebut namaku. Aku tak tahu harus berbuat apa, mataku berkaca-kaca. " Masuk, Nak. Ada Pak Haryo menunggu kamu dari tadi." Ajak Ibuku. " Tapi Bu...." aku berusaha menolak tapi Ibu tetap menyuruhku masuk rumah dan menemui Pak Haryo.
Dengan terpaksa, aku akhirnya menemui Pak Haryo, aku tidak sanggup menatap wajahnya. Pak haryo kembali mengulangi niatannya untuk melamarku, menjadikanku istri. Beliau ingin menolong keluarga kami, ingin membantu ekonomi keluarga kami. Tapi beliau juga butuh pendamping, setelah istrinya atau Ibu mas Arbi meninggal. Tapi kami hanya terikat kawin kontrak dalam jangka waktu tertentu.
Dan Pak Haryo, merasa akulah sosok yang tepat untuk dijadikannya istri, pendamping pengganti Ibunya mas Arbi. Pak Haryo juga berjanji untuk menguliahkanku juga membantu biaya pendidikan adik-adikku. Juga berjanji membuatkan warung kelontong untuk jualan Ayah dan Ibuku.
Tawaran dari Pak Haryo terasa seperti dewa penolong bagi keluarga kami. Tapi rasanya tidak adil bagiku. Aku merasa, aku harus berkorban untuk keberlangsungan keluargaku. Bagaimana aku menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Sementara cinta saja aku belum pernah merasakan.
Ayah dan Ibu sangat berharap aku menyetujui permintaan pak Haryo. Ayah dan Ibu tidak ingin aku bekerja sangat keras, dari pagi sampai sore. Mereka juga melihat Pak Haryo sosok yang baik.
Jika aku menolak permintaan pak Haryo, beliau akan menghentikan biaya berobat Ayah. Setiap seminggu sekali Ayah harus terapi. Dan biaya terapi sangat besar.
Aku meneteskan airmata, aku merasa sangat egois kalau aku menolak permintaan ini. Aku tidak tega kalau pengobatan Ayah dihentikan. Sebuah dilema yang berat aku rasakan.