Namaku Renata, aku sulung dari empat bersaudara. Sekarang aku duduk di bangku kelas 12 SMA. Bapakku, pak Asep penjual sayur keliling.
Sementara Ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Kehidupan kami sangat sederhana, bahkan bisa dibilang kekurangan.
Suatu hari, seperti biasa pagi-pagi Ibu sudah menyiapkan sarapan bagi kami, nasi goreng dengan nasi sisa kemarin malam.
Walaupun sederhana, tapi bagi kami itu sudah luar biasa. Dengan satu butir telur yang dicampur dengan nasi, hal itu sudah sangat istimewa.
Sementara Ayah, sudah sejak sebelum subuh sudah ke pasar, belanja sayuran untuk dijual keliling kampung atau perumahan.
Bagi kami Ayah adalah pejuang keluarga. Hanya Ayah tumpuan ekonomi kami. Kami dilarang Ayah untuk bekerja sampingan untuk membantu ekonomi keluarga.
Tugas kami hanya belajar dan sekedar membantu pekerjaan rumah. Karena tanggungjawab menafkahi keluarga adalah tanggungjawab Ayah.
Walaupun hasil dari jualan sayur tidak banyak, tapi kami mensyukurinya. Aku dan Gilang adikku nomer dua, juga menanam sayur-sayuran di pot kaleng bekas. Hasil dari kami menanam kadang dijual Ayah.
Setelah sarapan, kami bergegas berangkat ke sekolah. Aku dan Gilang berboncengan sepeda ke sekolah. Kebetulan kami satu sekolah, Gilang kelas satu atau kelas sepuluh.
Sering kami diejek teman-teman, karena kami ke sekolah naik sepeda butut. Walaupun butut, tapi sepeda ini telah banyak membantu keluarga kami.
Saat pelajaran masih jam kedua, tiba-tiba aku dipanggil Bu Dena untuk datang ke kantor. Sampai di kantor, rupanya sudah ada Ibu dan Gilang.
Aku jadi bingung, apalagi melihat Ibu yang menangis. "Ada apa Bu?" Tanyaku.
Ibu menghampiriku lalu memelukku. Aku semakin bingung dengan keadaan ini. "Ada apa Bu?" Tanyaku lagi. Tapi tangis Ibu semakin kencang.
" Ayah kecelakaan Kak." Jawab Gilang. Tentu aku sangat kaget mendengar jawaban Gilang.
Lalu kami bergegas ke rumah sakit dengan diantar mobil sekolah.
Sesampainya di sana, rupanya Ayah masih di rawat di IGD.
Di sana juga ada petugas kepolisian juga ada seorang laki-laki seumuran Ayah.
Melihat dari penampilannya, sepertinya laki-laki itu orang kaya
" Ibu, keluarga pak Asep?" Tanya petugas berseragam polisi. " Iya Pak, bagaimana keadaan suami saya Pak? " Tanya Ibu khawatir.
" Kondisi Bapak tidak sadar Buk, sekarang masih ditangani dokter." Jawab petugas polisi.
Tentu saja kondisi ini membuat kami kaget dan khawatir. Kulihat Ibu masih saja menangis. Aku genggamg tangan Ibu dan berusaha menguatkannya.
Sambil menunggu, aku mendatangi petugas kepolisian. Sementara Ibu bersama Gilang.
" Maaf Pak, saya putrinya Pak Asep. Mau tanya bagaimana kronologi kejadian tadi Pak?" Tanyaku.
" Ooo iya, tadi Bapak adik menyeberang, dan kebetulan ada mobil pak Haryo ini lewat, karena jarak yang sudah dekat dan tidak bisa rem mendadak akhirnya terjadi tabrakan." Jelas petugas polisi itu.
Aku lihat Pak Haryo yang berdiri mondar-mandir. Mungkin beliau juga tidak menyangka akan mengalami kejadian seperti ini.
Pak Haryo rupanya tahu kalau aku memperhatikannya. Walaupun usia pak Haryo seusia Ayah tapi melihat penampilannya juga postur tubuhnya yang tinggi besar, pak Haryo terlihat lebih muda dari Ayah.
Aku kaget, karena Pak Haryo berjalan ke arahku. " Maaf, adik ini putri Pak Asep?" Aku mengangguk sopan.
" Kenalkan saya Haryo, maaf saya tadi yang menabrak pak Asep." Tak kusangka, rupanya Gilang mendengar percakapan kami.
Tiba-tiba saja dia melayangkan bogem ke wajah pak Haryo. Dan pukulan yang tiba-tiba itu membuat Pak Haryo terkejut dan langsung sempoyongan.
" Gilang, jangan!" Aku berteriak mengingatkan Gilang untuk tidak melanjutkan pukulannya.
Aku pegangi Gilang dan berusaha menenangkannya. " Yang sabar Gilang, kecelakaan ini tidak sengaja. Kamu tenang ya."
Sementara Pak Haryo ditolong petugas kepolisian. Untung Pak Haryo tidak membalas pukulan Giilang.
Keadaan kembali tenang, dan kami menunggu perkembangan kondisi Ayah. Setelah agak lama menunggu, dokter keluar dan menjelaskan kondisi Ayah.
Ada pendarahan di kepala Ayah, dan hal itu harus dilakukan operasi sekarang itu juga. Karena kami tidak punya kartu BPJS, dokter menyebut nominal biaya produksi yang lumayan banyak.
Bagaimana kami mencari uang sebanyak itu. Sementara untuk makan saja kami susah. Kami juga tidak punya barang berharga .
" Saya yang akan membayarnya ." Betapa kagetnya aku tiba-tiba Pak Haryo berkata begitu.
Seketika aku meneteskan air mata. ' Terima kasih Pak " kataku dengan mengusap airmata yang deras mengalir