Chereads / Menjadi bintang / Chapter 2 - Membenci

Chapter 2 - Membenci

Rey menjauhkan benda pipih canggih itu dari pandangan wajahnya ketika, pesan chatnya tidak di balas dan hanya dibaca saja oleh Ray. Rey menyadari betapa Ray membencinya, ia bahkan tidak mengerti mengapa sikap kakaknya itu berubah saat mengetahui bahwa dirinya lulus seleksi menjadi anggota magang industri musik di agensi besar. Selama tiga tahun menjadi peserta magang, Rey tidak lagi berkomunikasi dengan Ray. Lantaran, kakaknya itu menjadi lebih tertutup dan itu perubahan yang tidak pernah di duga oleh Rey sendiri. Bahkan, sampai saat ini sikap Ray masih saja dingin padanya walaupun, belum pernah bertemu secara langsung. Tapi, hal itu sudah dapat Rey rasakan ketika ia berusaha menghubungi Ray, seperti melakukan panggilan video dimana Rey berusaha berbasa-basi banyak hal terkait dunia pendidikan yang di jalani Ray setelah pindah dari sekolah seni dan akademi dance. Dan, hal yang di mimpikan Rey nyatanya tidak sesuai harapan, Ray hanya merespon pertanyaannya dengan jawaban singkat seperti, 'Baik', 'Oh ya', dan, 'itu hebat'. Rey ingin mengamuk pada kakaknya itu.

Rey menaruh telepon canggih seharga puluhan juta ke atas meja lantaran, kedatangan teman satu grubnya yang membawakan makan siang. Saat ini, Rey berada di ruang karaoke. Rey hanya tersenyum simpul saat kedua matanya menatap wajah temannya itu, namanya Aiden.

"Aku membawa makanan kesukaan mu." ucap Aiden sambil menaruh sekotak pizza.

"Terima kasih tapi, aku sudah kenyang." jawab Rey berusaha agar Aiden tidak kecewa.

"Tapi, aku membeli ini agar makan siang ku tidak sendirian. Ayolah!"Aiden terlihat cemberut, ia mengambil sepotong pizza dan memaksa Rey agar menyambut potongan itu untuk dinikmati.

"Baiklah, karena kau memaksa ku." Rey akhirnya menyerah, anak itu menyambut sepotong pizza yang di tawarkan Aiden untuknya.

Setelah makan siang, Rey dan Aiden memilih berisitirahat dan sebelum akhirnya memutuskan untuk berlatih menari. Sebab, besok mereka akan ada jadwal manggung untuk kepentingan promosi lagu baru mereka yang baru di rilis dua hari yang lalu. Sebenarnya, grub mereka terdiri dari tujuh personel tapi, kelima personel sibuk dengan kegiatan masing-masing, beberapa ada yang menghabiskan waktu untuk beristirahat lantaran sebelum lagu baru dirilis, mereka berlatih setiap hari menghafalkan koreografi tarian yang cukup sulit. Berlatih sepanjang hari dengan waktu tidur yang sangat minim dibanding hari biasa sebelum ada jadwal comeback. Di hari biasa, personel yang tidak memiliki kontrak dengan brand atau bisnis ambassador akan menghabiskan waktu mereka untuk menulis lagu dan memperdalam keahlian berbahasa asing.

Kepiawaian berbahasa asing merupakan prioritas keempat setelah kemampuan menari, bernyanyi, dan akting. Tapi, tidak menuntut kemungkinan kalau berwajah tampan juga syarat utamanya. Menjadi penyanyi memang tidak harus memiliki suara merdu, zaman sekarang orang yang memiliki wajah tampan bisa sangat mudah masuk dalam dunia hiburan walaupun, memiliki suara yang terdengar dipaksakan untuk bernyanyi. Tidak heran, jika banyak penyanyi senior yang memiliki suara merdu namun, memiliki rupa yang pas-pasan menjalani serangkaian operasi plastik demi kepopuleran mereka di masa kini. Sebab, memiliki wajah tampan atau cantik adalah modal utama saat memulai karir, memiliki wajah yang rupawan juga seperti bentuk investasi untuk masa depan.

Makhluk mana yang tidak terbuai oleh ketampanan dan kecantikan seorang manusia? Saat seorang penyanyi memulai karir dengan rupa bak pangeran dan putri di negeri dongeng. Hal pertama yang membuat orang terkesan adalah wajah mereka, banyak mata akan di buta kan oleh visual dan mengesampingkan kualitas lagu serta kemampuan artis itu dalam bermusik. Dari situlah, sulit mencari seorang penyanyi yang benar-benar berbakat lantaran, banyak orang yang memutuskan bekerja di industri musik saat mereka menyadari bahwa mereka memiliki rupa yang menawan.

Rey melap wajahnya yang berkeringat, kaus yang dikenakannya juga basah oleh keringat menjiplak kan otot dadanya yang menonjol dan bidang. Dadanya yang turun naik karena menarik napas yang panjang membuat benda bidang itu terlihat lebih besar dari ukuran aslinya, lebih terlihat seksi. Rey menghabiskan sebotol penuh air mineral yang sudah disediakan di ruang latihan, Rey meminumnya tanpa jeda.

Setelah beristirahat dan memulihkan tenaga dan merasa latihan hari ini cukup. Rey pergi lebih dulu meninggalkan Aiden yang katanya masih ingin menghabiskan waktu untuk berlatih. Sekarang, Rey sudah di dalam kamarnya. Rey duduk sebentar di atas kasurnya yang besar, kedua matanya yang berkelopak dua menatap ke arah figura ukuran 4r yang membungkus fotonya bersama Ray. Ia menatap lekat-lekat wajahnya yang sangat identik itu, foto yang diambil saat Rey mengikuti audisi yang saat itu diikuti juga oleh Ray. Rey tersenyum simpul mengingat masa indah ketika dirinya dan Ray sibuk mempersiapkan segala hal untuk mengikuti audisi di agensi besar yang sangat ditunggu-tunggu olehnya.

Senyum Rey sirna ketika, ia mengingat banyak perubahan dari Ray. Rey menarik napasnya dengan berat lalu, mengembuskan napasnya dengan perlahan. Mencoba bersabar menghadapi kenyataan tentang saudara kembarnya yang berubah dingin dan sangat tertutup. Rey kembali berdiri, ia segera meraih handuk dan masuk ke dalam kamar mandi untuk segera membersihkan diri.

0:00 ───|────── 0:00

Aku terbangun dari tidur lantaran pintu kamarku yang diketuk sangat keras. Aku mengumpulkan kesadaran lalu, segera berdiri dan memasang kaus polos sebelum membuka pintu. Jujur saja, aku sangat kesal pada orang tidak tahu sopan santun mengganggu waktu istirahat orang lain dengan mengetuk pintu sangat keras dan tak sabaran.

Aku mendengus kesal, saat ku buka. Ku dapati Ayah yang berdiri berkacak pinggang dengan pakaian kerja yang masih dikenakannya. Tamparan keras dari Ayah membuat kesadaran ku yang baru bangun tidur terkumpul penuh, apalagi rasa panas yang ku terima begitu terasa membakar dan membekas. Aku tahu di mana letak kesalahannya, aku tidak berani menatap wajah Ayah yang sepertinya sudah sangat merah seperti kepiting rebus saking marahnya, darahnya yang mungkin mendidih membuat matanya tidak berkedip menatap ke arah ku.

"Kau bolos!? Lihat nilai mu yang semakin hancur ini! Mau jadi apa kau?" pertanyaan Ayah sangat mengintimidasi membuatku tidak bisa langsung menjawab. Tangan kanannya menggenggam laporan nilai ulangan yang pasti diberi wali kelas ku padanya. Di undakan tangga, terlihat Ibu yang hanya menonton ku dan menonton tindakan Ayah yang terlalu keras dengan anaknya sendiri. Ibu berdiri melipat kedua tangannya di dada, Ibu juga masih mengenakan pakaian kerja.

"Ayah, Aku-"

Plak! Tamparan kedua mendarat di pipi kiri ku, sekarang lengkap lah sudah. Kedua pipiku rasanya terbakar dan berkedut-kedut,

"Kau memang payah! Lihat adik mu yang sukses dan terkenal, Rey membanggakan keluarga, tidak seperti mu! Harusnya kau tiru adik mu itu. Dasar berandal tidak tahu terima kasih, bukannya membalas jasa orang tua dengan prestasi malahan membuat kecewa. Buang-buang uang saja memberimu makan!" Ayah melempar rekap nilai mingu ini ke wajah ku lalu, berbalik mendatangi Ibu dan turun dari tangga bersamaan.

Aku mundur satu langkah dan membanting pintu dengan keras. Hanya itu bentuk jawaban ku atas kata-kata Ayah yang menyakitkan, di samping itu Ayah selalu memasukkan nama Rey setiap memarahi ku masalah nilai. Aku dan Rey memang di lahirkan kembar, tapi bukan berarti kami memiliki kemampuan yang sama, nasib yang sama dan keberhasilan yang sama. Takdir manusia sudah ditentukan oleh yang Maha kuasa walau kami kembar sekalipun. Aku tahu Rey pintar, saat sekolah dasar pun Rey banyak menyumbangkan prestasi untuk sekolah, lemari kaca yang berdiri di dekat sofa di ruang keluarga itu dipenuhi dengan piala milik Rey yang di simpan menjadi koleksi, diantara banyaknya piala itu, hanya empat milikku. Tapi, aku cukup bahagia atas pencapaian ku walaupun tidak sehebat Rey. Aku bersyukur untuk itu tapi, kedua orang tuaku memang tidak berhenti dan puas membedakan antara aku dan Rey, itu menjadi salah satu penyebab aku membenci Rey dan kedua orangtuaku.

Aku duduk bersandar di pintu, duduk memeluk kedua lutut berusaha memberikan pelukan hangat untuk diriku sendiri. Berusaha melupakan semua hal buruk yang dilakukan keluargaku sendiri padaku, diri ini memang tidak sempurna dan, aku sudah berusaha mensyukuri apa yang kumiliki, menerima semua tentang diriku yang sebenarnya sangat sulit untuk ku akui. Berusaha tidak menyalahkan Tuhan atas ciptaannya untuk ku, atas segala pemberiannya pada ku. Kau tahu? Semakin aku berusaha menerima diri sendiri maka, semakin besar keinginan ku untuk menghancurkan satu persatu apa yang ingin ku patahkan. Sama seperti mimpi ku yang ingin menjadi seorang idola seperti Rey, aku sudah berusaha melepaskan mimpi itu dari kehidupan ku dan memilih mengejar cita-cita yang lebih masuk akal tapi, semakin aku berusaha menguburnya semakin besar pula godaan dari dunia musik yang mengiringi perjalanan melupakan.

Semua tidak semudah yang orang lain lihat, Ayah hanya menatapku tanpa memberikan dukungannya. Lalu, menyalahkan aku yang terlalu bodoh, nyatanya Ayah hanya diam berdiri menonton dan langsung mengambil kesimpulan tanpa menimangnya terlebih dahulu. Aku rasa manusia memang seperti itu, sangat mudah mengutarakan opini mereka yang mungkin menyakiti salah satu pihak. Andai saja orang yang menilai ku bisa menjadi diriku, maka mereka akan merasakan bagaimana rasanya menjadi diriku. Kerasnya hidup yang berusaha ku tempuh, besarnya halangan yang berusaha ku terjang. Kalian tidak tahu bahkan, orang yang sedarah pun tidak tentu mengerti keadaan kita. Seperti perlakuan Ayah padaku.

Aku menyapu air mataku yang sudah terlanjur jatuh, aku tahu, aku memang laki-laki yang lemah. Ada yang mengatakan, kalau laki-laki tidak boleh menangis, menurutku itu salah besar. Manusia memiliki rasa sakit dan cara menyalurkan rasa sakit adalah dengan menangis, kurasa menangis adalah bentuk komunikasi hati pada pemiliknya dan pada orang lain. Dengan menitikkan air mata, orang lain akan tahu kalau kita sedang merasakan sakit dan bersedih. Bayangkan saja jika seseorang bersedih tanpa air mata, itu aneh dan langka.

Aku melangkah pelan sambil terus mengusap pipiku yang basah. Aku berdiri di depan cermin, menatapi dan menilai diriku dari pantulannya. Ku tatapi seluruh tubuhku, ku lihat kedua pipiku yang merah karena tamparan Ayah, ku tatap juga kedua mataku yang sembab. Aku kembali menunduk, kembali menangis saat melihat kondisi diriku sendiri yang sudah terlalu lama berpura-pura kuat, aku membenci hal itu. Aku segera mengusap kedua pipiku lagi, melangkah menuju meja belajar. Aku duduk berdiam di sana, mencoba menenangkan diri ku sendiri.

Merasa cukup lebih baik, aku mencoba tersenyum untuk menghibur diriku sendiri. Aku bangkit dari tempat duduk, ku langkahkan kakiku menuju pintu kamar. Ku putar kenop pintunya dan ku dorong dengan pelan. Kedua mata ku yang sembab memperhatikan sekitar area kamar, ternyata sudah sepi dan siang juga akan segera berganti malam, ku tatap ke bawah dan ternyata masih ada kertas yang digumpal Ayah. Tanpa pikir panjang, aku langsung memungut benda itu dan kembali duduk. Aku membuka kertas yang di gumpal itu, ku periksa sendiri rekap nilai mingguan yang sudah kusut itu. Ku buka buku pelajaran untuk memperdalam materi yang belum ku pahami karena, bisanya, guru akan mengulang kembali materi itu sebelum melanjutkan ke materi selanjutnya.

Sekitar satu jam sudah aku belajar, mataku juga sudah terasa sangat berat untuk di buka. Ku lipat kedua tanganku di atas meja dan ku topang kan wajahku di sana. Sampai pada akhirnya, aku tertidur pulas dibuai oleh dunia bawah sadar yang lebih menyenangkan ketimbang dunia nyata ini.

Aku terbangun dari tidurku yang cukup nyenyak. Ku periksa jam weker yang diletakkan diatas meja belajar dekat buku-buku yang tumpang tindih. Ku kucek mataku lantaran pandangan kabur, perutku terasa sangat lapar. Kurasa, itulah penyebab utama aku terbangun. Aku melewatkan makan malam bersama keluarga, sekarang sudah pukul sembilan malam, sepertinya mencari makanan di luar lebih baik daripada menikmati makanan yang ada di rumah. Ucapan Ayah masih ku ingat dengan jelas.

Aku segera berdiri dari tempat duduk, melangkah ke kamar mandi untuk mencuci wajah. Setelah selesai, aku membuka lemari dan mengambil sweater abu-abu, sweater ini satu-satunya benda yang berbeda dari pakaian yang kumiliki. Maksud ku, satu-satunya yang tidak sama seperti milik Rey. Aku segera mengenakannya lalu, keluar dari dalam kamar mengendap-endap. Ternyata rumah cukup sunyi, sepertinya kedua orang tuaku sudah tidur pulas.

Udara sejuk di malam hari membuatku sedikit lebih tenang, malam yang dingin ini membuatku semakin mempercepat langkah lantaran, perut ku semakin terasa sangat perih karena belum diisi. Tepat di kafe yang tidak terlalu jauh dari rumah, aku memilih ke sana dan memesan makanan hangat walaupun, makanan di sana lebih mahal daripada makanan yang di jual di warungan. Padahal, jenis makanan yang di jual sama. Ku rasa yang membuat makanan itu mahal adalah status tempat itu yang lebih berkelas dibanding warung. Aku menikmati makanan ku yang terasa sangat enak mungkin, ini efek karena aku terlalu lapar. Di tengah acara makan ku, layar handphone ku menyala dan melihat pesan chat dari Ryker, ia mengirimi ku foto. Ku coba mengunduh foto itu dan ternyata hal yang benar-benar tidak ku sukai dikirimkannya padaku. Setelah foto itu, Ryker mengirimi ku pesan teks. Aku mendengus kesal, ternyata anak itu menagih janjiku yang akan membelikannya dua kotak rokok. Astaga! Dia membuatku kesal. Tapi, aku bersyukur karena Ryker mengingatkan ku tentang janji itu walaupun, sebenarnya aku ingin menarik ucapan ku sendiri.

0:00 ───|────── 0:00