"Ada apa, Ibu Merry?"
"Tolong panggilkan ambulan! Mora sedang kritis, cepat!" Ibu Merry tampak panik. Dan begitu Casanova melihat apa yang terjadi di dapur itu, ia lekas melotot mendapati Mora yang sedang berlumuran darah, terkapar tak sadarkan diri di lantai.
Tak menunggu lama, Casanova pergi ke ruang tengah dan meraih telepon rumah Ibu Merry. Secepat mungkin ia menekan nomor telpon rumah sakit.
"Hallo, tolong cepat ke sini! Seseorang sedang dalam keadaan kritis dan membutuhkan pertolongan segera!"
"...."
"Ya, ya, aku tunggu segera!" Casanova segera membagi alamat rumah Ibu Merry kemudian menutup telponnya. Setelah itu ia kembali ke dapur, dan melihat Ibu Merry yang menangis tersedu-sedu selagi memeluk putrinya.
"Bangun, Mora, bangun! Kenapa kau lakukan semua ini, Nak? Huhuhuu..." Ia menggoncang-goncangkan tubuh Mora, tapi gadis itu tak merespon apa-apa. Bahkan darah mengalir tak berhenti dari pergelangan tangan.
Casanova mendekat, melihat ini adalah hal berbahaya. Tak seperti Ibu Merry yang hanya menangis panik, ia coba berpikir tenang seraya mencermati keadaan. Iris birunya bergerak-gerak tajam, tanda ia sedang mencari ide yang harus dilakukan.
"Permisi sebentar Ibu Merry, sebaiknya saya perlu menghentikan pendaharannya." Segera, Casanova berinisatif mengambil handuk biru yang tersampir di pundak Ibu Merry. Lalu ia merobeknya menggunakan gigi, kemudian membalutkan ke pergelangan tangan Mora dan mengikat handuk itu kuat-kuat tepat di samping lukanya.
Tak berhenti sampai di situ. Casanova juga mengikat tangan Mora ke meja dapur menggunakan sisa handuk lainnya, agar posisinya bisa lebih terangkat tinggi, sehingga aliran darah bisa lebih terhenti. "Selesai," ucapnya kemudian. Dengan ini ia yakin pendarahan Mora bisa berhenti, atau setidaknya bisa berkurang mengucurnya. Sebab bagaimanapun gadis itu telah pucat dan hampir mati kehilangan banyak darah dari pergelangan tangan.
Ibu Merry tak peduli dengan usaha Casanova. Ia masih menangis dan memeluk putrinya sangat erat seraya meratap.
Tak lama, suara sirine mobil ambulan terdengar di luar rumah. Dua petugas segera datang membawa tandu menerobos masuk ke dalam rumah.
"Oh Tuhan, apa yang terjadi?" tanya si petugas laki-laki yang terheran dengan banyaknya darah di dapur. Ia memeriksa tubuh Mora seraya memastikan gadis itu masih hidup.
"Tidak tahu, tapi tolong putriku cepat, ia harus segera ditangani." Ibu Merry menangis dan berharap kedua petugas itu bagaikan mepunyai kekuatan penyembuh malaikat yang bisa menyembuhkan Mora seketika.
"Ya, ya, Ibu tenang dulu. Kami akan segera membawanya ke rumah sakit. Beruntung sekali pendarahannya bisa dihambat tepat waktu. Sehingga itu berhasil menyelamatkan nyawanya. Dan Anda, tolong bantu kami untuk mengangkat gadis ini ke dalam mobil!" ucap si petugas wanita berambut pendek, menyuruh Casanova membantu mengangkat tubuh Mora.
Casanova segera mengangkat tubuh itu untuk dibaringkan ke tandu, kemudian bersama petugas laki-laki Mora dibawa masuk ke dalam mobil ambulan yang sudah parkir di depan rumah.
Ibu Merry segera menyusul, mengambil jaket tebal dan ikut masuk ke dalam mobil ambulan bagian belakang. "Casanova, kau tidak perlu ikut. Jagalah rumah saja. Aku percayakan rumah ini padamu," ucapnya tergesa seraya duduk di sebelah Mora yang masih tidak sadarkan diri. Ia kembali melihat putrinya dan terus memeluknya.
"Baik, Ibu Merry, aku akan di sini menjaga rumah."
"Terima kasih."
BRUG!
Pintu belakang mobil ambulan ditutup. Berikutnya mobil itu pergi dari sana, hingga suara sirine terdengar menjauh dan menghilang dari pendengaran Casanova.
Ia masuk ke dalam rumah, mengambil ember, air, sabun, lap pel, serta peralatan lain untuk membersihkan noda darah yang tercecer di sana. Bahkan darah itu sudah mulai mengental, jika terlambat dibersihkan tentu akan semakin susah. Dan sembari membersihkan Casanova berpikir, "Kenapa Mora sampai nekad melakukan hal sebodoh ini? Apa dia punya masalah?"
Pemuda itu bahkan sampai bolak-balik kamar mandi untuk memeras lap pelnya yang kini berwarna merah. Namun beruntungnya ia sudah terbiasa melakukan kegiatan bersih-bersih di dapur restoran, sehingga urusan membersihkan noda seperti ini tidaklah hal sulit untuk dikerjakan.
Matahari perlahan tenggelam ketika pekerjaan bersih-bersih itu selesai. Sebentar Casanova pergi ke ruang tengah, duduk santai di sofa seraya menyalakan sebatang rokoknya.
TIK!
PUHH...
"Hm. Apa yang terjadi dengan Mora?" Sejenak ia berpikir kembali. "Apa mungkin gadis itu melihatku sedang bercumbu dengan Ibu Merry, sehingga itu membuatnya cemburu hingga nekad mengiris urat nadinya sendiri? Ah, entahlah ... toh, siapa yang peduli dengan itu? Yang terpenting sekarang aku harus pergi ke rumah judi sesuai dengan nasihat Ibu Merry." Diambilnya seikat uang dari balik sakunya, kemudian meletakkannya di atas meja.
Seribu dollar tunai! Wala, dengan modal sebanyak itu Casanova berpikir, apakah ia mampu untuk menggandakannya sepuluh kali lipat? Dan apakah jika sampai dirinya kalah, Ibu Merry akan memarahinya?
Entahlah...
PUHH...
Casanova beranjak dari kursi, kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia harus tampil maksimal malam ini, sebab ingin masuk ke dalam rumah judi yang pastinya banyak orang-orang berkelas di sana.
Ibu Merry memang menyuruhnya untuk bermain dari meja yang kecil, tapi Casanova berpikir tidak demikian. Di dalam kepalanya, ia sudah punya strategi sendiri.
Selesai mandi ia pergi ke lantai atas, masuk ke dalam kamar dan memilih baju milik mendiang suami Ibu Merry. Setelan semi-formal yang rapi, dengan atasan hem putih lengan panjang, dengan celana warna gelap tampaknya sangat cocok untuk bentuk badannya.
Ia juga menyemprotkan minyak wangi laki-laki beraroma maskulin, serta menyisir rambut pirangnya ke samping agar tampak lebih rapi. Ikat pinggang dikenakan, jam tangan kulit, juga sepatu kulit warna coklat ia ikat kuat-kuat di kakinya. Dan terakhir, ia mengambil jaket kulit warna hitam dari dalam lemari. Cukup berdebu memang, namun dengan sedikit tepukan jari-jari, debu-debu itu menghilang seketika, membuat warna hitamnya tampak garang dan ia kemudian memakainya.
"Wala, perfecto!" Casanova puas dengan penampilannya yang tampak begitu menawan terpantul dalam cermin. Apa lagi dengan cincin pemikat di jari kelingkingnya, membuat dirinya merasa lebih merasa percaya diri.
"Siapa aku?" tanyanya pada diri sendiri. Seraya menyulut sebatang rokok ia pun menjawab, "Perkenalkan, namaku Casanova. Pemuda tampan yang akan menjadi orang paling kaya, paling berbahaya, serta paling berpengaruh di Kota Venesia."
Wala, luar biasa!
Berikutnya tak mau membuang waktu, Casanova segera turun dari tangga dan bersiap menuju rumah judi paling besar yang berada di tengah-tengah kota.
Dengan jalan kaki? Bah! Apa-apaan jalan kaki? Tentu saja ia mengambil kunci mobil yang tergantung di ruang keluarga. Sebab, ia masih mengingat dengan baik nasihat dari Ibu Merry beberapa waktu lalu.
"Jika sedang berada di atas meja judi, Casanova, kau harus bersikap selayaknya orang yang terhormat ... ya, ya, ya, dan salah satu cara untuk menjadi terlihat seperti orang terhormat adalah dengan menunggangi mobil klasik mewah ini, bukan?" bibirnya tersenyum miring.