"Hei," bisik seorang pria. "Aku tak pernah tahu kita akan berada dalam situasi seperti ini."
"Aku …."
"Kenapa?"
Keduanya saling berbisik. Suara yang keluar seolah dapat menelusuri telinga masing-masing.
"Aku … ah, ini memalukan …," ucap pemuda satunya seperti tengah menahan sesuatu.
Pria yang tadi terkekeh. "Kau pikir aku mau seperti ini?"
Sosok dengan manik sebiru langit itu melebarkan pandangannya, menatap wajah pria yang tentu saja hanya berjarak tak kurang dari lima senti darinya itu. Warna mata yang hampir mirip dengan miliknya itu menyorotkan sesuatu. Sebuah hal yang bahkan hanya ia yang tahu. Sementara itu, gerakan berangsur di antara keduanya terasa melambat.
"Hei, Frans …," bisik pemuda tersebut masih dengan nada tertahan.
Pria bernama Frans itu berdeham menimpali. Ia masih berusaha menahan ritme gerakan yang dilakukannya sejak beberapa saat yang lalu. Entahlah, terhitung sudah lebih dari dua jam mereka melakukan hal itu.
"Tentang Dimitri …," lanjut pemuda tadi. Netranya menatap ke arah lain di mana ia bisa menikmati corak dari desain ruangan yang hampir keseluruhan sudutnya berwarna keemas an tersebut.
"Kenapa?"
"Em …, coba kau pikirkan," katanya.
Frans menghentikan gerakannya. Maniknya memandang lamat-lamat pemuda yang berada di bawahnya sejak tadi. "Pikirkan apa?" tanyanya.
Pemuda tadi terdiam. Sorot matanya berubah sendu.
"Eden …," bisik Frans. Satu tangannya mengusap lembut pipi pemuda itu. "Berhenti memikirkan apa yang tidak seharusnya kau pikirkan."
Eden yang masih bergeming lalu mengangguk pelan. Kemudian, ia tersenyum, menunjukkan manis lekuk di sudut bibirnya sejenak. "Terima kasih …."
Begitupula dengan Frans. Ia membalas senyuman Eden dengan kecupan hangat, bersamaan dengan gerakannya yang berlanjut. Dia mengerti sekali bagaimana nasib keduanya bila Keluarga Dimitri tahu. Hubungan keduanya jelas dilarang meski Frans bersikeras tetap berada di sisi Eden.
Pikiran-pikiran berlebihan itu terus mengoyak lembah di dalam otak keduanya. Baik Frans atau Eden, mungkin saja mereka terhanyut oleh panas membara di antara keduanya detik ini. Kegalauan yang menyedihkan, menghilang sejenak terganti dengan suara manja dan kegagahan yang saling bersua. Seolah semua duka lenyap ditelan waktu di setiap gerakan beruntun yang keduanya lakukan. Dikelilingi oleh wewangian yang memancing feromon untuk tetap merekah serta atmosfer cinta kasih yang melilit keduanya.
Iya.
Memang seharusnya mereka tidak melakukan hal tabu tersebut.
***
Seseorang hendak menyematkan sebuah bros mawar biru di salah satu sisi jubah Frans. Namun, pria itu menolak. Ia kemudian berjalan ke arah nakas di samping ranjangnya dan mengambil sebuah kotak, lalu memberikannya kepada sang pelayan.
"Aku hanya ingin mengenakan ini sekarang," katanya.
Sang pelayan terdiam sejenak usai menerima kotak mungil seukuran genggaman tangan tersebut. Dibukanya perlahan hingga sebuah bros dengan manik kristal berwarna senada dengan netra tuannya nampak anggun terlihat. Pelayan itu menatap Frans sejenak, lalu menyematkan bros berbentuk bunga abstrak itu di jubah Frans.
"Anda sangat berwibawa dengan benda ini, Tuan," pujinya kemudian.
Frans tersenyum kecil membalas. Ada rona bahagia terpancar di wajahnya, membuat sang pelayan diam-diam mengetahui gelagat tuannya tersebut.
"Ada sesuatu yang Anda simpan?" tanya sang pelayan.
Pria itu tersentak gelagapan. "Ah, tidak," katanya cepat, membuat wanita bertubuh gempal di depannya terkikik.
"Benarkah?" Wanita itu memicingkan mata, menelisik rahasia tuannya.
"Tidak, Bibi Guera …." Frans merajuk, memeluk wanita yang sudah dianggap 'ibu' olehnya itu. "Akan aku tunjukkan kalau waktunya sudah tepat."
Guera berdecih, mencibirkan bibirnya. "Kau selalu bilang begitu kalau aku hendak membongkar rahasiamu," timpalnya sembari mencolek hidung bangir Frans layaknya anak sendiri. "Matamu tak bisa berbohong," bisiknya kemudian.
"Argh!" Frans mengerang seperti seorang anak yang ketauan berbohong pada ibunya. "Aku akan tunjukkan nanti. Nan-ti. Oke? Bibi jangan mengguruiku, oke?"
Guera kembali terkikik. Satu tangannya memukul lengan pria 25 tahun tersebut. Hanya dia yang bisa melakukan hal sesantai ini kepada Tuan Muda Dimitri—satu-satunya pewaris Keluarga Dimitri sekarang.
Guera mengasuh Frans sejak bayi, beberapa detik usai sang ibu meninggal setelah melahirkan pria tersebut. Guera pula yang memberi bayi merah itu nama atas ijin ayahnya yang merupakan raja saat itu. Frans Dimitri. Frans adalah nama mendiang putra Guera yang sudah lama meninggal karena sakit dan Dimitri adalah nama keluarga bangsawan tersebut.
Kedekatan keduanya sudah seperti ibu dan anak. Di mana Guera bisa menganggap Frans sebagai Frans kecilnya, sedangkan Frans bisa menganggap Guera sebagai ibu baginya. Terlebih saat Philip Dimitri—ayah Frans—jarang berada di kastil dan sibuk dengan pekerjaannya. Hanya Guera yang menjadi teman terdekat Frans setelah dirinya sendiri dan angin malam.
Wanita gempal tersebut berjalan di samping Frans, menyusuri setiap Lorong kastil. Sesekali matanya menatap wajah pria tampan itu. Ia masih berusaha menelisik rahasia di balik manik sebiru langit tersebut, sampai akhirnya pria itu menyadarinya.
"Ah, Bibi kenapa?" tanya Frans sembari mengibaskan tangan di jubahnya, menyingkirkan butiran debu yang mungkin menempel di sana.
"Rapikan rambutmu sebelum bertemu dengan calon istri—ah, maaf—maksudku, bertemu ayahmu," sahut Guera setengah menutup mulutnya.
Tentu saja hal itu disengaja. Frans tahu kelakuan konyol sang pengasuhnya tersebut. Wajahnya bersemu merah.
"Bibi. Tolong …."
Guera menahan kikikannya. Ia merapikan pakaian Frans sejenak, lalu mengacungkan dua jempol di hadapan pria itu. "Kau tampan!"
***
Philip Dimitri masih tampak gagah setelah beberapa waktu tidak terlihat di kastil karena pekerjaannya. Peperangan adalah favoritnya dan ia tak segan menghabisi nyawa satu kota hanya agar dirinya bisa memperluas kekuasaan. Bekas luka yang membelah wajah kirinya dan membuat matanya buta, menjadikan bukti bahwa dia adalah raja dari semua penguasa benua saat ini.
Sementara itu, Frans sendiri tak ingin seperti sang ayah. Dia sama sekali berbeda. Pria itu lebih memilih menjalankan bisnis keluarga daripada harus menghabisi nyawa demi memperluas wilayah kekuasaan.
Pria berjanggut putih itu meletakkan gelas minumannya di meja. Matanya masih memicing, menatap putra tunggalnya yang duduk di seberangnya. Ia menghela napas sejenak, menambah ketegangan atmosfer di sana. Sementara Frans, sejak tadi ia menunggu sang ayah berbicara. Sesekali dia mengetuk-etuk jemari di atas pahanya. Pertemuan ayah dan anak itu terkesan kaku dan justru tampak seperti penjamuan klien bisnis yang biasa Frans lakukan.
"Siapa dia?"
Suara Philip memecah keheningan. Seluruh orang di ruangan itu lantas menoleh ke arahnya, termasuk Frans. Pemuda itu menelan saliva sejenak.
Philip menatap lamat ke arah sang putra. "Siapa …. Siapa yang akan kau bawa ke acara besar ayahmu ini besok?"
Napas Frans tertahan, lalu diembuskannya pelan. Ia membalas tatapan sang ayah hingga mereka bersemuka amat lama. Sulit sekali rasanya menjentikkan pita suara agar kalimat yang keluar sesuai kemauannya. Namun, atmosfer ruangan seolah menjadi penghalang utama atas kejujuran Frans kali ini.
"Dia …."
***