**2 hari telah berlalu.**
Saat Jingga membersihkan tubuhku dengan handuk lembut hangat, aku membuka kedua kelopak mataku perlahan. Bibir mungil yang terlihat manis bersenandung nada, wajah polos dan cantik tersenyum manis menatap lengan kekar yang sedang ia bersihkan dengan handuk lembut yang hangat.
"Kenapa kamu tersenyum."
"Eh! Eh."
Jingga terkejut, air yang berada di baskom kecil tumpah ke seluruh baju dan wajah polosnya terkena cipratan air hangat. Kedua alisnya menyatu menatap diriku yang berwajah datar. Tangan kanan yang memegang handuk lembut yang masih hangat di hempas ke wajahku, dengan cepat tangan kananku menangkap handuk tersebut.
"Basah aku, kamu buat." Ketus Jingga kepadaku. Kedua tangan di lipat di depan dada, wajah ia palingkan ke sisi kiri. "Dasar pria tidak tahu terima kasih." Ucapnya pelan.
Tangan kananku menarik tangan kiri Jingga, membuat dirinya terjatuh di atas bidang dada kekar milikku. Kedua mata menatap wajah panik miliknya. "Kamu tadi bilang apa?"
"Da-dasar pria tidak tahu terimakasih." Sahut Jingga kaku.
Aku semakin membawa dirinya jatuh dalam bidang dada kekar milikku, tangan kiri memegang pinggul kecil miliknya. "Coba katakan sekali lagi." Ucapku mempermainkan dirinya.
"Lepaskan aku, wajah dan tubuh kita sangat dekat membuat aku tidak bisa bernafas." Lirih Jingga berusaha lepas dari dekapanku.
Aku segera melepaskan pelukanku, aku segera duduk. Kedua tangan menyingkap selimut yang menutupi seluruh tubuhku, tangan kanan menarik infus yang melekat di pergelangan kiriku. "Kenapa setiap aku hampir mati dan berakhir di Neraka, infus ini selalu melekat di pergelangan tanganku." Keluhku.
"Karena kamu memang tidak pantas mati. Tuhan dan Malaikat masih memperhitungkan dosa-dosa yang kamu lakukan." Sahut Jingga tanpa takut.
"Mulai berani kamu, ya!" Ucapku, aku menolehkan sedikit kepalaku kebelakang menatap Jingga yang masih duduk di tepian ranjang.
"Kenapa aku tidak berani! Bukannya kamu terlebih dahulu yang membuat aku kesal. Sekarang aku tahu siapa kamu. Kamu adalah pria yang sudah aku tolong tapi malah kabur dari rumah sakit. Bukan itu saja, kamu juga sudah mencuri uang untuk membayar biaya rumah sakit kamu. Sudah mengambil uang kotor, malah kamu melebihkan uang kotor itu kepadaku. Karena kita bertemu aku akan mengembalikan uang kotor kamu." Sahut Jingga penuh amarah dan berfikir jika aku adalah pencuri. Kedua kaki melangkah pergi mendekati meja rias.
Melihat Jingga sibuk mencari uang yang berada di sling bag miliknya. Aku melangkahkan kedua kakiku mendekati sepasang baju yang terlipat rapih di atas lemari kecil di sisi kanan kepala ranjang. Aku segera mengenakan baju dan celanaku. Aku tidak menggubris amarah Jingga yang sudah mengetahui tentang diriku adalah pria yang telah kabur dari rumah sakit tanpa memberikan ucapan terimakasih, serta aku juga sudah meletakkan beberapa lembar atau setumpuk uang merah di atas ranjang rumah sakit dengan cara yang tidak baik.
Jingga mendekati diriku, ia menarik tangan kananku yang baru ingin mengancing resleting celanaku. Membalikkan telapak tangan kananku, meletakkan beberapa lembar uang merah yang kusut di telapak tangan kananku. "Ambil ini." Ketusnya.
"Resleting celanaku belum naik sempurna, karena aku lagi memegang uang di tangan kananku. Bagaimana jika kamu menaikkan resleting celanaku." Ucapku mengerjain Jingga yang sedang di penuhi amarah.
Kedua mata hitam pekat milik Jingga turun ke bawah, bibirnya terus mengeluh. "Kayak gini saja kamu tidak bisa. Pria macam apa kamu ini." Keluh bibir Jingga, tapi kedua tangan mengerjakan apa yang aku perintahkan.
Bibirku mengulas senyum tipis, kedua mataku menatap wajah Jingga yang terlihat imut saat sedang marah. 'Wanita ini mengalihkan duniaku.' Batinku.
"Sudah siap. Aku mau pergi." Ucapnya sambil berbalik badan.
Aku segera mencengkram tangan kanannya. "Kamu pikir bisa dengan muda keluar dari kandang Singa tanpa memberinya makan." Ucapku.
Jingga berbalik badan, tangan kiri berusaha melepaskan tangan kananku yang mencengkram kuat pergelangan tangannya. "Aku bukan mangsa kamu. Soal uang yang kamu kasih kepada wanita paruh baya, aku akan melunasi nya."
"Jika aku menginginkan uang aku kembali dalam waktu 5 hari beserta bunganya bagaimana?" Tanyaku semakin mencengkram erat pergelangan tangan kanannya.
"Apa kamu sudah gila. Seharusnya aku tidak menerima kebaikan kamu yang ternyata penuh maksud. Apa kamu ini pria jahat yang akan menjual diriku pada orang lain!" Teriak Jingga dengan kedua tangan bersusah payah melepaskan tangan kananku yang semakin erat.
Karena aku dan Jingga masih dekat dengan sisi ranjang. Aku menarik tangan Jingga, membuat tubuhnya terjatuh di atas ranjang. Tangan kanan melonggarkan kancing kemeja ku. Kedua kaki mendekati ranjang.
Aku naik ke atas ranjang, aku menindih tubuh Jingga, kedua tangan memegang pergelangan tangannya. Aku mendekatkan wajahku ke daun telinga kanannya.
"Terimakasih telah menyelamatkan nyawaku." Bisikku pelan.
Jingga mengerutkan dahinya, kedua mata hitam pekat menatap wajahku yang sangat dekat dengan wajahnya. 'Pria ini baru saja bangun dari tidur panjang selama 2 hari, dan bekas luka yang cukup serius. Tapi kenapa tenaga pria ini jauh lebih kuat dari diriku! Apa pria ini titisan Iblis. Jika memang benar dia pria titisan Iblis, maka aku harus hati-hati dekat dengannya.' Batin Jingga menganggap diriku titisan Iblis.
"Kenapa kamu menatap tajam wajah tampan ku?" Tanyaku.
"Karena aku ingin kamu melepaskan aku. Aku mohon." Pinta Jingga dengan wajah memelas.
"Tidak. Aku tidak akan melepaskan kamu."
"Kenapa?"
"Karena aku memang tak ingin melepaskan kamu." Ucapku dengan nada sedikit tinggi.
"Aku tidak ingin tinggal satu atap dengan kamu."
"Kenapa? Apa makanan di Vila ini tidak enak."
"Vila. Kamu bilang ini rumah! Tapi kenapa bisa berubah menjadi Vila?"
"Berisik. Kamu membuat aku sangat marah dan aku ingin sekali menghukum diri kamu." Ucapku dengan wajah yang sangat kesal.
"Lepaskan aku."
Aku sangat benci dan sangat marah ketika ada seseorang yang tak patuh dengan kebaikan dan semua perbuatan baik yang aku lakukan. Kalau saja dia bukan manusia yang menolong diriku, mungkin aku akan membungkam mulutnya dengan beberapa jahitan. Tapi saat melihat kedua mata hitam pekat, bibir manis dan wajah polosnya membuat diriku merasakan perasaan yang tak menentu. Memang baru pertama berjumpa, tapi dirinya sudah membuat diriku dan hatiku tak menentu dan kenapa dirinya membuat aku selalu memikirkannya.
Kedua mataku turun ke bibir merah muda yang terlihat manis yang terus berbicara tanpa henti. Tubuhku spontan bergerak, aku mengulum bibir merah muda yang terlihat manis. Aku membuka kedua mataku, menatap kedua mata Jingga yang terpejam.
'Akh. Lembut sekali, dan ini adalah ciuman pertamaku yang di curi wanita ini.' Batinku.
Karena kelembutan yang aku rasakan dari bibir mungil yang terlihat manis, aku semakin bergairah dan terus mengulum bibirnya tanpa jeda.
Kedua mata Jingga terbuka, dirinya yang tadi ikut terlena kini harus bertindak karena tidak bisa bernafas karena kenikmatan yang aku rasakan sendiri. Kedua tangan mungil memukul pelan bidang dadaku.
Aku membuka kedua mataku, aku melepaskan ciuman manis pertama milikku. Aku segera duduk, jari jempol tangan kananku membelai lembut bibir bawahku. "Tidak sia-sia aku merelakan ciuman pertamaku."
"Itu ciuman pertamaku juga." Sambung Jingga dengan lembut, kedua pipinya memerah, kedua mata hitam pekat beralih pandang menatap jendela kamar yang terbuka lebar.
'Pantes saja terasa beda.' Batinku.
Aku segera berdiri di sisi ranjang, kedua mata melirik wajah Jingga yang datar.
"Karena kamu sudah mencuri ciuman pertamaku, maka kamu tidak boleh keluar dari Vila milikku. Dan sekarang kamu adalah milikku." Ucapku tegas. Kedua kaki aku langkahkan meninggakan kamar.
"Bukan aku yang mencuri ciumana pertama kamu, tapi kamu yang sudah mencuri ciuman pertamaku." Teriak Jingga, kedua tangan melepar bantal.
Bugh!
Bantal yang Jingga lempar mengenai wajah Fans yang tadi membuka pintu kamar yang baru saja tertutup. "Nona muda." Ucap Fans terkejut, tangan kanan menutup kembali pintu kamar. Fans menyandarkan tubuhnya ke dinding pintu kamar, tangan kanan mengelus dada. "Fyuh! Untung cuman bantal, kalau benda berbahaya lainnya, apa tidak habis wajah tampanku ini." Keluh Fans pelan, kedua mata menatap pintu kamar. "Tadi saat berpapasan sama Bos di anak tangga, kedua pipi Bos memerah. Apa mereka sedang…." Fans menghentikan pikiran kotornya, ia menggeleng pelan. "Berhenti dari pikiran kotor kamu Fans." Ucapnya sendiri.