Mobil yang aku kendarai memasuki halaman Vila yang cukup lumayan besar, dengan pagar hitam yang menjulang tinggi. Vila yang berada di dekat tepian pantai. Dengan 5 anak buah yang berjaga di Vila milikku. Salah satu anak buah kepercayaan ku yaitu Fans membuka pintu mobil milikku.
"Bos." Bibir Fans seketika berhenti berbicara saat kedua mata melirik wanita yang sedang duduk di kursi kemudi sejajar dengan bangku kemudi.
Fans mengerutkan dahinya, kedua mata menatap Jingga serius. 'Tidak biasanya Bos membawa wanita lain ke Vila pribadi dan tersembunyi miliknya. Siapa wanita polos yang cantik ini?' Batin Fans, kedua mata tak berkedip memandang Jingga.
Jingga melambaikan tangan kanannya, bibir tersenyum manis. "Hai. Kamu bekerja di sini ya?" Sapa Jingga ramah.
Fans melambaikan tangan kanan, wajah panik, bibir tersenyum kaku. "Ha-hai." Kedua mata melirik diriku.
Aku memainkan mata kiriku.
Aku langsung menatap Jingga, tangan kanan aku memegang kuat lengan kiri Fans. "Pria ini adalah anak…..eh, maksudnya orang kepercayaanku." Ucapku hampir keceplosan. Aku menatap wajah Fans yang terlihat bingung. "Fans. Kamu segera buka pintu mobil milik Jingga dan suruh yang lain untuk mengantarkan Jingga ke kamar tamu. Dan katakan pada mereka semua agar tidak membicarakan hal apa pun." Ucapku tegas.
"Baik Bos." Fans langsung berlari, ia membuka pintu mobil milik Jingga. Fans mengajak Jingga keluar dari dalam mobil dan mengantarkan dirinya kepada salah satu penjaga yang berada di depan pintu Vila yang kini aku ubah menjadi rumah. Aku sangat yakin pasti Jingga tidak bisa membedakan mana Vila mana rumah, karena dirinya hanya gadis polos dan sedikit bodoh.
Melihat Jingga berjalan masuk ke dalam Vila dengan seorang penjaga yang menjaga pintu Vila. Aku segera melambaikan tangan kananku. "Fans." Panggilku dari samping mobil.
Fans segera berlari, tak lupa 3 orang anak buah yang tadi sedang berjaga di masing-masing tempat sudah berdiri di hadapanku. Kedua tangan memegang rambutku. Aku seperti seorang pria yang frustasi karena baru kali ini aku membawa seorang wanita ke dalam kediaman tempat aku tinggal dan kemungkinan akan terus bersamaku karena aku punya hutang nyawa padanya. "Ah. Apa kalian sudah lihat siapa gadis yang aku bawa."
Fans dan 3 anak buahku mengangguk. "Sudah Bos." Sahut mereka serentak.
"Bos. Kenapa Anda membawa gadis itu ke sini! Bukannya itu sangat berbahaya membawa dirinya bersama kita. Dan kenapa Bos terlihat kaku?" Tanya Fans tanpa pikir panjang.
Tak!
Aku melayangkan tangan kanan memukul dahi Fans yang banyak bertanya kepadaku yang sedang pusing.
"Wanita itu sungguh bodoh di luar sana. Apa kamu tahu." Aku mendekatkan wajahku menatap Fans yang terlihat serius, tangan kanan mengelus lembut dahi yang memerah. "Asal berjumpa dia selalu saja disakitin. Kamu kan tahu kalau aku belum membalas kebaikan dirinya." Aku berdiri tegak, kedua tangan merapihkan keras kemeja yang aku kenakan, wajah terlihat gugup. "Walau pun aku seorang Iblis, tapi aku kan masih ada sisi baiknya kepada wanita yang telah menolongku."
"Oh." Sahut semua anak buahku saling menatap, kepala saling mengangguk.
"Bos..Bos. Gawat." Teriak salah satu anak buah keluar dari dalam Vila, nafas terengah-engah. Ia menundukkan sedikit tubuhnya, kedua tangan di letakkan di depan kedua lututnya.
"Ada apa?"
"Saat saya membereskan kamar tamu, gadis itu masuk ke ruang penyimpan barang alat tempur milik Bos. Dia sempat bertanya pekerjaan apa yang Bos lakukan sehingga memiliki banyak koleksi senjata api dan alat kejahatan lainnya."
"Terus kamu jawab apa?" Tanyaku yang ikutan panik. Fans dan 3 orang lainnya ikutan tegang.
"Aku bilang Bos penjual mainan anak-anak."
Aku menghela nafas, tangan kanan membelai dada kekar milikku. "Syukurlah."
"Iya. Syukurlah." Sahut Fans dan 3 orang lainnya saling bertatap muka.
Kemudian aku teringat kembali dengan jawaban salah satu anak buahku yang mengantarkan Jingga. Aku mengerutkan dahiku, kedua alis menyatu, kedua kaki melangkah mendekati anak buahku, aku melayangkan kedua tanganku ke tubuhnya.
"Kamu bilang apa tadi! Aku seorang penujual mainan anak-anak. Tidak ada yang lebih keren lagi."
"Ampun Bos. Hanya itu yang cocok dengan semua alat tempur yang Bos miliki."
Aku segera menghetikan perbuatanku yang menghakimi anak buahku sendiri. Aku berdiri, kedua tangan merapihkan kembali kemeja milikku. "Kalau begitu aku mau masuk dulu. Jangan lupa dengan perintah yang aku katakan." Tegas ku mengingatkan kembali.
"Siap Bos." Sahut Fans dan 4 anak buahku serentak.
Aku melangkahkan kedua kakiku masuk ke dalam Vila yang sudah aku rubah menjadi rumah.
"Baru kali ini aku melihat Bos peduli dengan orang lain." Ucap Fans menatap kepergian ku.
"Iya. Wajah kejam, dingin dan datar kini sedikit terlihat lebih nyaman." Sahut salah satu anak buah yang berdiri di sisi kanan Fans.
"Sudah. Mari kita kembali bertugas, sebelum Bos marah kepada kita." Ucap Fans membubarkan 4 anak buahku.
.
.
.
Aku menghentikan kedua kakiku di depan pintu kamar tamu, tangan kanan mengetuk pelan pintu kamar.
Tok…Tok.
"Iya." Terdengar suara Jingga dari dalam kamar. Pintu kamar sedikit terbuka, ia berdiri di depan diriku. Rambut panjang yang basah, baju kemeja putih yang kedodoran, dua Cherry kembar menonjol dari kemeja putih yang ia kenakan, panjang kemeja hanya menutup bawah bokong. "Ada apa?"
Aku segera berbalik badan, kedua pipiku memerah, detak jantungku tak karuan.
Deg....Deg...
Aku menutup kedua mataku dengan kedua telapak tanganku. "Apa kamu tidak tahu malu. Kenapa kamu berpakaian seperti itu di saat semua rumah ramai pria di dalamnya." Teriakku kuat.
Jingga menundukkan pandangannya. "Maaf." Ucapnya pelan, kedua tangan di letakkan di depan perutnya. "Tadi aku ke belit pipis, tapi aku tidak menemukan gayung buat aku mengambil air. Aku hanya menemukan selang yang kepalanya seperti ular kobra dengan panjang tali besi menempel di dinding kamar mandi. Saat aku tak sengaja menekan tombol, airnya mancur sederas-derasnya, membuat rambut, selurut tubuh, baju dan bagian dalamku basah. Aku tak tahu harus memakai pakaian apa di sini, karena aku tidak membawa baju. Saat aku membuka pintu lemari pakaian aku hanya melihat banyak baju kemeja dan jas di dalamnya. Aku pakai saja." Ucapnya pelan.
Aku menelan saliva, kedua mata menatap lantai marmer yang memantulkan bayangan, kedua mataku melirik sedikit ke bayangan Jingga yang sedang berdiri di depan pintu. Aku tak sengaja melihat bayangan dirinya yang benar-benar polos tanpa memakai pakaian penutup dalam sama sekali.
"Mari masuk." Aku segera menggenggam erat pergelangan tangan kiri Jingga, aku membawa kasar dirinya masuk ke dalam kamar. Aku mengunci kamar dari dalam. Aku kembali menarik Jingga dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang empuk milikku.
"Ka-kamu kenapa seperti ini." Ucap Jingga terdengar takut. Jingga kini terbaring di atas ranjang empuk, paha bersih terlihat jelas di kedua mataku yang kini berdiri di samping ranjang.
Tangan kanan Jingga menarik selimut, menutupi tubuhnya yang terlihat polos.
Aku segera naik ke atas ranjang, aku mencengkram kedua lengan Jingga, membuat kedua lengan menjadi satu dan aku letakkan di atas kepalanya. Tangan kananku mulai menjalar di bagian paha bawah miliknya.
"Apa kamu suka jika ada seseorang yang melakukan hal ini pada kamu." Ucapku datar.
Jingga menggeleng, cairan bening mulai memenuhi kedua bola mata hitam pekat miliknya. "Ti-tidak." Sahutnya dengan suara gemetar.
Karena aku tahu dia tidak memakai dalaman, aku meletakkan tangan kananku terhenti di depan kancing kemeja yang ia pakai dan menutup sampai ke leher. Tangan kanan membuka perlahan kacing kemeja yang menutupi jenjang leher yang terdapat memar. Kedua mataku membesar saat aku melihat beberapa bekas luka lama di bagian jenjang leher mulus miliknya. Tapi hal itu tidak mengurungkan niatku untuk mengerjai dirinya. Saat kancing meja bagian dua gunung kembar miliknya hendak aku buka, Jingga menangis sejadi-jadinya dan berteriak.
"Jangan. Tolong jangan lakukan hal itu kepadaku. Aku mohon! Aku bisa melakukan apa pun tapi jangan buat diriku melakukan pekerjaan kotor. Aku mohon." Ucapnya lirih di bagian terakhir.
Tangisannya terasa pilu menusuk hatiku yang sudah lama mati. Aku tertugun, kedua mata menatap dirinya yang sedang menangis di balik bantal yang kini menutupi wajahnya. Aku duduk di sisi kanannya.
'Hal keji apa yang sudah di rasakannya saat dirinya masih kecil, dan beberapa luka itu terlihat sangat lama. Apa benar kehidupannya sangat menyedihkan seperti kata amuba yang sudah tinggal di neraka (Ketua 'Geng kucing dalam selimut'). Sial. Aku harus mencari tahu lebih lanjut.' Gerutu dalam hati.
Aku segera berdiri, aku melirik sedikit kebelakang, menatap seluruh tubuh Jingga yang kini tertutup selimut.
"Jangan pernah keluar sampai aku kembali untuk membawakan baju yang kamu butuhkan." Tegasku.
Aku melangkahkan kedua kakiku, aku berjalan cepat meninggalkan kamar Jingga.