Saat aku terbangun dari mimpi buruk dan tidur panjangku, aku melihat diriku sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit kecil. Aku menundukkan wajahku, kedua mata menatap tangan kanan di infus, lengan kanan di perban. Kedua tangan menyentuh bagian perut dan punggung yang terasa perih. Tangan kananku menyelinap masuk ke dalam baju, aku merasakan perban menyelimuti bekas lukaku.
"Akh. Aku pikir aku sudah mati dan mimpi itu adalah Neraka."
"Bos." Sapa seorang perawat laki-laki yang sedang berdiri di sisi ranjang ku. Tubuhnya menunduk sedikit, wajah di tutup masker putih.
"Dimana gadis yang menolongku." Sahutku datar. Aku bertanya seperti itu karena aku tahu jika dia adalah anak buahku. Tangan kanan melepas paksa infus yang masih melekat di lengan kananku. Aku duduk di tepian ranjang, tangan kanan aku ulurkan. "Mana baju-baju ku."
Pria yang memakai baju perawat membuka tas kecil yang ia bawa, tangan kanan mengambil baju dari dalam tas. "Ini Bos." Pria yang memakai baju perawat menundukkan wajahnya. "Gadis itu sedang tidak di sini." Perawat pria mendekati diriku, ia menundukkan sedikit tubuhnya, bibirnya menempel di daun telingaku.
Aku membulatkan penuh kedua mataku saat mendengar ucapannya. "Sial. Kita harus segera pergi dari sini." Tegasku. Aku segera berdiri, tangan kanan mengambil kaca mata hitam, aku memakai topi hitam untuk menutupi wajahku. Tak lupa aku letakkan beberapa lembar uang merah di atas bantal.
"Baik Bos."
Aku dan pria yang memakai baju perawat segera bergegas pergi meninggalkan ruangan menuju pintu belakang rumah sakit. Kedua kaki terus melangkah dengan tenang agar anggota rumah sakit tidak menaruh curiga kepadaku. Kedua kaki terus berjalan sampai di depan pintu rumah sakit bagian belakang, aku melihat mobil Avanza berwarna serba gelap sudah menunggu dengan supir tua berdiri di depan pintu mobil khusus penumpang.
Melihat diriku sudah mendekat, Pak supir tua bergegas membuka pintu mobil, kepala tertunduk. "Selamat datang Bos."
Aku segera masuk ke dalam mobil bersama dengan pria yang memakai baju perawat. Pintu mobil segera di tutup, mobil Avanza hitam berjalan dengan cepat meninggalkan rumah sakit.
"Bagaimana dengan pesan yang aku kirimkan kepada kalian, apa kalian sudah mencarinya?" Tanyaku, tangan kanan memakai jam tangan di pergelangan tangan kiri.
"Sudah. Kami juga sudah menangkap penembak jitu yang di bayar oleh mereka. Apakah Bos ingin melihat siapa pelakunya?" Sahut supir Pak tua yang ternyata adalah seorang pria muda yang menyamar sebagai orang tua yang penuh dengan keriput.
"Iya. Bawa aku ke sana." Sahutku tegas.
Saat mobilku melaju dengan kecepatan tinggi, pria yang memakai baju peawat mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah kaca jendela mobilku.
"Bos. Wanita yang sedang berjualan koran di sana yang menolong Anda."
Aku memutar kedua bola mataku, aku menatap seorang wanita muda, rambut panjang di tutup topi, kulit putih bersih. Tangan kanan mengulur koran yang di lipat ke semua pejalan kaki yang lewat, tangan kiri memegang erat koran yang masih banyak.
"Cari alamat rumahnya dan siapa namanya."
"Baik Bos."
Mobilku melaju dengan kencang meninggalkan kota kecil dan kembali ke kota besar, dimana aku masih ada urusan dengan mereka yang ingin membunuhku secara diam-diam.
.
.
**Di rumah sakit**
"Suster…suster. Dimana pria yang sedang terbaring di atas ranjang ini." Teriak wanita yang menolong diriku di depan pintu ruangan.
"Tadi sepertinya masih ada di sana, dan bukannya perawat yang beranam Edy telah memberikan dia obat." Sahut salah satu perawat yang berjaga di ruang jaga yang menyangka jika Edy yang ia maksud adalah salah satu rekan kerja, padahal Edy yang asli sedang terkunci di dalam kamar mandi.
"Tidak ada Sus. Yang ada hanya uang yang bertaburan di atas ranjang." Teriak wanita yang menolongku.
Kehebohan pun terjadi di rumah sakit, semua perawat dan penjaga mencari diriku tapi tidak ketemu. Wanita yang menolong diriku memutuskan untuk melihat CCTV, namun CCTV yang berada di rumah sakit kecil tersebut rusak dan tidak bisa melihat kejadian kemana aku hilang dan pergi tanpa berpamitan dengan dirinya.
Wanita tersebut melangkahkan kedua kakinya keluar dari pintu rumah sakit, kepalanya tertunduk tangan kanan yang memegang beberapa lembar uang merah sisa pembayaran rumah sakit yang aku letakkan di atas ranjang.
"Sial. Dia pikir dia siapa. Berani sekali dia pergi tanpa mengucapkan terimakasih kepadaku, apa dia pikir dengan uang yang ia sisakan ini berharga. Sebaiknya aku buang saja." Keluh wanita tersebut, tangan kanan hendak membuang uang yang ia pegang namun ia mengurungkannya. "Tidak. Jika aku membuangnya maka orang lain yang akan mengambilnya. Sebaiknya aku simpan saja."
Wanita tersebut memasukkan kembali uang yang hendak ia buang ke dalam sling bag merah muda miliknya. Kedua kaki terus melangkah meninggalkan rumah sakit menuju pusat pasar.
.
.
.
.
**Di sisi lain**
Aku sedang duduk di sebuah kursi besi, kedua tangan merapihan jas yang aku kenakan, aku duduk, kedua mata menatap pemandangan yang cukup indah. Aku melihat 3 orang pria yang memakai baju seragam hitam, 3 orang pria penuh luka adalah penembak jitu yang sudah menembak diriku.
"Habisi mereka seperti mereka ingin menghabisi diriku."
"Baik Bos." Sahut 10 orang anak buahku, 3 orang berdiri di belakangku, 2 orang berada di depan diriku, 5 orang lagi berada di belakang 3 orang penembak jitu penuh luka.
Semua pistol milik anak buahku mengarah 3 pria penembak jitu, jari manis mulai menekan pelatuk dan terdengar suara tembakan.
Dor…Dor..Dor.
Suara tembakan sebanyak 10 kali mendarat ke 3 pria penembak jitu. Darah mengalir deras dan bertumpahan ke seluruh wajah anak buahku. Aku merasa puas dengan hal itu, rasa sakit yang masih menjalar di tubuhku seketika hilang, aku segera berdiri kedua tangan memberikan tepuk tangan yang meriah buat para anak buah ku.
"Hahaha. Bagus. Kalian semua memang anak buahku yang baik dan penurut."
"Terimakasih atas pujiannya Bos." Sahut anak buah ku serentak menundukkan sedikit tubuh mereka menghadap kepadaku.
"Tinggal sisa 1 amuba lagi yang harus aku musnahkan di muka Bumi ini. Di mana amuba itu?" Tanyaku menatap sekeliling gudang besar.
"Di atas sana Bos." Sahut salah satu anak buah mengarahkan tangan kanannya di atas rantai besi yang melingkar di tubuh pria tersebut.
Aku melambaikan tangan kananku. "Aku tak ingin melihat hal ini. Aku serahkan dirinya kepada kalian semua." Aku melangkahkan kaki kananku, tangan kanan mengambil rokok yang berada di dalam saku jaket bagian dalam. 1 batang rokok aku selip kan di dalam bibir, tangan kanan mematik mancis. Aku mengangkat tangan kananku ke atas udara. "Selesaikan."
"Baik."
Pria yang sedang terlilit rantai besi menggeliat. Kedua mata merah, wajah di penuhi luka menatap kepergian diriku.
"Alcandor. Kamu akan menyesal jika membunuhku. Jika kamu menghabisi diriku maka aku akan membuat wanita yang menolong dirimu terluka dan membuat dirinya tidak akan menatap masa depan lagi."
Aku menghentikan kedua langkah kakiku, tangan kanan yang memegang rokok yang masih menyala aku hempaskan ke atas tanah. Ujung sepatu mematikan puntung rokok yang masih menyala. Aku berbalik badan, tangan kanan segera mengambil pistol dari dalam saku jaket. Tangan kanan yang memegang pistol segera mengarah ke pria yang sedang tergantung.
"Wanita itu tidak ada urusannya dengan masalah pribadiku. Berani kamu menyentuhnya, maka kamu dan keturunanmu akan berakhir di sini." Ucapku menekan nada suaraku, tangan kanan yang memegang pistol bergetar menahan amarah.
"Hahaha. Wanita yang menyelamatkan diri kamu juga kehidupannya sedih, maka buat apa dia hidup di dunia ini. Dan buat kamu, aku pastikan tidak ada wanita yang bisa mencintai kamu dengan tulus dan kamu akan selalu hidup dengan kesendirian dan kepahitan di dunia ini." Teriak pria tersebut sekuatnya.
"Ba..jingan." Teriak diriku sekuat mungkin.
Aku menarik pelatuk, dan menghabisi dirinya dari kejauhan.
Dor…Dor..Dor.
Aku terus menembak pria tersebut hingga peluru yang berada di dalam pistol milikku habis, ujung pistol berasap. Aku berbalik badan, kaki kanan aku langkahkan meninggalkan gudang. Aku terus melangkah cepat.
'Wajah wanita polos dan baik seperti dia tidak boleh terluka dan tersakiti karena diriku. Aku memang belum bertemu langsung dan berterimakasih kepadanya. Yang jelas, aku punya hutang nyawa kepada dirinya. Aku harus bertemu dengan dirinya.' Batinku terkecoh dengan omong kosong ketua 'Geng kucing di dalam selimut'.