[Wah, wah. Sisi yang satu itu baru bisa dibilang marquis.]
Dari celah kecil jendela kereta kuda, Rheannon mengintip keluar. Pertempuran beberapa waktu yang lalu seakan tidak pernah terjadi. Tempat kejadian perkara sudah bersih dan orang-orang sudah berlagak normal. Yang berbeda hanyalah pengawasan yang semakin ketat.
Hadrian sendiri berada di luar jarak pandang Rheannon. Namun dia tahu di mana dan sedang apa pria itu.
Sepertinya aku harus bersyukur karena Hadrian tidak sempat mengintrogasiku dengan cara seperti itu, batin Rheannon.
"Hmmm–yang biru," igau Desmond dalam tidurnya.
Tangan Rheannon secara refleks mengusap kepala Desmond, mengajaknya tidur kembali dalam mimpi yang indah tanpa teror perampok.
Orang Pyrs yang mencari pengendali iblis bukanlah hal yang baru. Hanya saja Rheannon tidak menyangka dirinyalah yang menjadi incaran mereka. Sebenarnya wajar saja mengingat memang hanya Rheannon seorang yang tersisa di Rexton.
Masalahnya, apa benar begitu? Atau…
Pintu kereta kuda diketuk pelan, membuyarkan pikiran Rheannon. Ternyata Hadrian, yang muncul dengan penampilan bersih dari sisa-sisa pembantaian kejam.
"Bau darah," komentar Rheannon sambil mengernyitkan hidungnya.
"Benarkah?" Hadrian mengendus dirinya sendiri. "Saya memang hanya sempat berganti pakaian luar saja. Bagaimana keadaanmu dan Desmond?"
"Baik. Desmond tidur," jawab Rheannon. Telunjuknya menelusuri garis hidung Desmond sekali.
"Ya, karena kamu, kan? Seperti yang pernah kamu lakukan pada Sir Ichabod dulu."
Rheannon tertawa kecil. "Tenang saja. Tidak akan… memberi efek samping."
Hadrian mendekat. Tangannya terulur hendak mengusap kepala Desmond, tapi kemudian dia urung. Mungkin karena ingat jika dia bau darah seperti apa kata Rheannon tadi. Hadrian terlihat tidak ingin mengganggu tidur Desmond.
"Sebenarnya ada yang ingin saya katakan padamu," ucap Hadrian pelan. "Tapi mungkin besok pada saja. Desmond juga masih tidur."
"Desmond… tidak boleh tahu?"
"Apa yang saya katakan saja sudah pasti akan membebanimu. Apalagi bagi Desmond."
"Anda memiliki… dua sisi yang… kontras." Rheannon menyampirkan jalinan rambut Hadrian ke balik bahunya yang lebar. "Satu yang lembut… satu lagi kejam."
"Apa maksudmu?"
Rheannon menatap ke dalam mata gelap Hadrian. Dia mengajaknya jalan-jalan sebentar ke masa di mana Hadrian menjemput mendiang ibunya dari pesta minum teh bersama Nyonya Whitley. Di detik berikutnya, Hadrian memenggal kepala wanita tersebut beserta suaminya di halaman Istana.
Suara tarikan napas Hadrian terdengar menyakitkan, tapi Rheannon sama sekali tidak berniat untuk meminta maaf.
[Sebenarnya yang mana Hadrian Melchoir yang asli?]
Hadrian menatap Rheannon nyalang. "Hentikan!" desisnya sambil menarik kerah baju Rheannon.
Rheannon melirik sekilas ke arah Desmond yang masih tertidur pulas. Hadrian menahan diri dari entah apa.
[Saya bukannya bermaksud membuat Anda teringat dengan kenangan itu, Marquis. Saya paham jika pada saat itu pun Anda juga kehilangan keluarga Anda–karena keluarga saya, kalau kata orang-orang.] Rheannon menatapnya tenang. [Waktu itu Anda juga terpaksa melakukannya karena Anda mendadak menggantikan Marquis Melchoir yang dulu.]
Perlahan Hadrian melepaskan cengkramannya dari kerah baju Rheannon. "Kau tidak tahu apa-apa. Tidak tahu bagaimana perasaan saya sekalipun kau bisa membaca pikiranku," bisiknya tajam.
"Saya memang… tidak tahu," kata Rheannon. Dia membenarkan kerah bajunya. "Perasaan manusia adalah… misteri. Sekalipun memiliki… kekuatan tertentu untuk… menerkanya." Dia tersenyum simpul. "Saya hanya… ingin tahu… Anda yang sebenarnya,"
"Inilah saya yang sebenarnya," tegas Hadrian. "Saya hanya berusaha melakukan pekerjaan saya dengan baik."
[Sepertinya diri Anda yang sebenarnya adalah sosok yang loyal pada Yang Mulia Raja.]
"Pada kerajaan," koreksi Hadrian. "Beristirahatlah, Rheannon. Saya ke sini bukan untuk bertengkar."
"Tentu saja," kata Rheannon. "Selamat malam, suamiku."
Hadrian menutup pintu kereta kuda, pergi meninggalkan istri dan anaknya.
Rheannon menatap kepergian Hadrian dengan tatapan puas.
***
"Orang-orang terlihat sedikit tegang. Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Desmond pada Hadrian sembari mengamati sekeliling.
Hadrian melirik sekilas ke arah anaknya. "Kemarin malam kita mendapat serangan," jawabnya sekenanya.
"Apa?" Desmond terdengar kaget. "Saya tidak mendengar apa-apa."
Kini Hadrian ganti melirik Rheannon. "Tidurmu semalam sangat nyenyak kata―ehm―ibumu."
Baik Hadrian maupun Desmond sama-sama bersemu malu. Hanya Rheannon yang menyeringai geli.
Akhirnya Hadrian menggunakan sebutan itu sebagai kata ganti Rheannon. Canggung luar biasa.
"Tidak ada yang… perlu dikhawatirkan," sahut Rheannon tenang. "Perjalanan kemarin mungkin… membuatmu lelah."
Desmond mengangguk mengerti. Dia menyantap sarapannya, lalu kembali bertanya, "Jadi siapa penyerangnya? Apakah berhasil ditangkap?"
Hadrian sudah memperkirakan bila Desmond akan menanyakan hal tersebut. Dia bahkan sudah mempersiapkan jawaban aman untuknya. Mau bagaimanapun nyatanya Hadrian tidak tega berbohong pada Desmond.
"Ya, mereka berhasil ditangkap karena mereka hanya kelompok kecil," jawab Hadrian pada akhirnya. Mana mungkin dia memberitahu Desmond jika yang menyerang semalam adalah orang-orang Pyrs yang mengaku sedang mengincar keluarganya?
Meski sudah bilang begitu, seusau sarapan Hadrian meminta agar Desmond jangan pergi atau keluar dari kereta kuda secara sembarangan. Dia menekankan pada Desmond agar selalu minta ditemani ke mana pun dia ingin pergi.
"Saya mengerti," kata Desmond menurut.
"Bagus. Sekarang masuklah ke dalam kereta kuda. Ayah ingin berbicara sebentar dengan Ibu," kata Hadrian. Dia kemudian memanggil seseorang untuk mengantar Desmond ke kereta kuda. Perhatiannya beralih pada Rheannon. "Saya tahu kamu sudah mengetahui kebenarannya," katanya.
Rheannon mengangguk. "Orang Pyrs… mengincar kita."
"Mungkin lebih tepatnya kamu," desah Hadrian. "Saya tidak menjamin setelah ini tidak akan ada serangan lain dari mereka."
"Bahkan… sesampainya di Paiton?"
"Terutama di Paiton," tegas Hadrian. "Saya harap kamu masih ingat kalau Paiton berbatasan langsung dengan Pyrs."
"Ya. Tentu saja… saya ingat."
"Biasanya yang masuk ke wilayah kami hanyalah hewan-hewan yang bermigrasi saja, dan dengan itu saja sudah cukup berbahaya bagi masyarakat sipil Paiton. Sekarang kami kecolongan begini… Entah bahaya apa lagi yang akan datang."
"Anda mengkhawatirkan… saya?"
"Rheannon, saya sudah berjanji pada Duke Colton dan Tuan Chas untuk menjagamu. Lagi pula, kamu istriku."
[Jujur saja, saya pikir Anda takut saya mati mengingat saya adalah aset berharga Rexton.]
Hadrian tertegun. Dia baru ingat wanita seperti apa sebenarnya yang baru saja dia nikahi ini.
"Suamiku memang… orang baik," goda Rheannon.
"Sepertinya percuma saja saya mengkhawatirkanmu. Kamu terlihat tenang-tenang saja."
"Saya lumayan bisa… menjaga diri," kata Rheannon percaya diri. "Iya, suamiku. Meski dengan… tubuh yang lemah."
"Harus saya katakan berapa kali supaya kau berhenti membaca pikiranku?" desah Hadrian. Rheannon tersenyum saja menanggapinya. "Intinya, saya ingin agar kamu lebih berhati-hati dalam bertindak maupun menampakkan diri. Saya juga mohon pengertiannya jika… kamu akan lebih sering terjebak di kediaman saya–tempat itu setidaknya aman. Walau sudah kamu akan dibiarkan hidup, tapi…"
Diculik lagi. Dipisahkan secara paksa dari keluarga lagi. Terpenjara lagi. Itu semua bukan hal yang menyenangkan.
"Anda… benar-benar baik, ya?"
"Dan kamu suka sekali bercanda." Hadrian terdiam, lalu menambahkan, "Dan terlalu santai. Apa kau sadar kalau saat ini kita sedang membicarakan nasibmu dan nyawa orang-orangku?"
"Oh." Rheannon menutup mulutnya. "Maaf. Yang terakhir itu… tidak terpikirkan."
"Yang penting kamu sudah sadar sekarang," kata Hadrian. "Untuk sementara ini, itu saja. Saya akan memperketat penjagaanmu. Mungkin akan membuatmu sedikit tidak nyaman."
"Tidak masalah."
"Lalu… tolong rahasiakan ini dari Desmond."
"Saya tahu."