Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Hakikat Kehidupan

Aka_Jsp
--
chs / week
--
NOT RATINGS
744
Views
Synopsis
Kisah fiksi berisi realitas sehari-hari yang dialami oleh Joko (main character). Merupakan pikiran bebas Joko dan kesehariannya yang penuh kontradiksi. Lebih banyak soal perenungan dan pemikiran panjang akan realitas dan kerasnya hidup yang dialami oleh Joko.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Mengerti

Kehidupan merupakan sebuah realitas penting yang kita jalani setiap hari. Banyak hal berkecamuk dalam kehidupan kita. Harga sembako, urusan rumah tangga, harga sewa tanah, harga sewa apartemen, biaya langganan listrik dan air, sampai hal-hal lain yang juga diluar tanggung jawab kita. Seperti, aturan baru dari pemerintah. Dampak aktivitas ekonomi dan politik di luar sana. Ambisi dari para pemangku kebijakan dan konflik kepentingan. Perubahan iklim. Sistem pendidikan yang terus berubah. Hingga tuntutan sosial yang menghantui kita sepanjang hari. Itu semua memuakkan, tapi nyata. Lebih nyata dari film-film buatan Korea dan Jepang.

Sore-sore, kucoba lihat layar kaca sejenak. Nampak benar, berita baru muncul di layar kaca. Sambung menyambung antara satu topik dengan topik lainnya. Salah satu topik, cukup tidak enak untuk didengar. Tapi, ini yang ditunggu-tunggu juga.

"Kenaikan harga bahan pokok terjadi di sejumlah tempat. Sejumlah pedagang pasar tradisional Kabupaten Utara mengeluhkan omset yang menurun, sebagai imbas dari kenaikan harga. Sementara itu, produsen stok bahan pokok di Kabupaten Kidul merasakan berkah dari kenaikan harga. Pasalnya, mereka sempat merugi ketika harga komoditas anjlok pada titik yang paling nadir beberapa bulan yang lalu. Selanjutnya, kita beralih pada laporan langsung dari Reporter lapangan di Pasar Tradisional Kabupaten Utara", kata penyiar TV.

"Halo, reporter lapangan. Bagaimana keadaan di Pasar Tradisional Kabupaten Utara?", kata penyiar TV.

"Halo, baik. Asosiasi pedagang Kabupaten Utara mengeluhkan kenaikan harga bahan pokok yang berimbas pada menurunnya omset penjualan. Kondisi pasar memang agak sedikit lengang dari biasanya. Sementara itu, sejumlah konsumen juga merasa tertekan karena kenaikan harga terjadi secara tiba-tiba dengan tingkat kenaikan yang cukup tinggi.", kata reporter lapangan.

Mendengar itu saya cukup mengerti, bahwa terjadi shock dalam perekonomian. Hal ini saya pikir tidak jauh dari kondisi perekonomian global yang cukup terpuruk akibat serangan mikroorganisme asing yang memberikan dampak pada angka kesakitan manusia.

Lebih dari itu, terkadang saya bertanya, "Apa yang penting dalam hidup ini? Kenapa itu penting".

Saya merasa banyak hal tidak bis terjawab dalam satu waktu, banyak hal yang belum kita ketahui jawabannya. Kehidupan lebih kompleks dari sekedar merajut kata dan memenuhi target. Kadangkala, pihak-pihak yang memiliki beban kerja yang relatif lebih rendah justru memiliki penghasilan yang relatif besar. Bahkan, jika dibandingkan pihak lain yang bekerja keras membanting tulang dan tidak kenal waktu.

"Apakah ini perkara produktivitas atau sistem sosial yang menuntut dan melanggengkan adanya feodalisme maupun kasta-kasta tak kasat mata?", pikirku sejenak sambil duduk-duduk di depan teras rumah. Memang bosan, membosankan. Layar kaca kadang cukup membosankan dan menjadi stressor sepanjang masa. Makanya, aku keluar ke teras rumah.

Beberapa menit kemudian, datanglah Krisan. "Eh, Joko. Ngapain, bengong aja?", kata Krisan.

"Eh, kamu, San. Gak, gak bengong. Lagi mikir aja", sahutku.

"Alah, mikir. Sembarang hal kamu pikirin. Apa gak mumet itu pikiran? Negara kamu pikir, sembako kamu pikir. Tali sepatu pun kamu pikir. Apa hidupmu memang untuk jadi pemikir?", katanya

"Ya, enggak lah. Kamu berlebihan dalam menggambarkan orang berwibawa ini. Ilmu itu mesti, dipakai. Setidaknya, mikir daripada gak mikirlah", kataku

"Mikir-mikir, mikir sampai ngerti. Ya, emang dari awal kamu selalu mikir. Tapi, ya... .. ya udahlah terserah juga. Eh, aku mau kasih ini ke kamu", berbicara sambil menyodorkan sekotak mochi yang masih hangat

"Wah, apa nih, San?", tanyaku

"Mochi, buat kamu, spesial lah pakai keju", jawabnya

"Wah, thank you lah, jadi enak nih", kataku

"Hahaha, ya udah, aku balik dulu", jawabnya

"Oke, San, hati-hati ya", kataku

"Okee... Joko", jawabnya

Sembari, memakan mochi yang masih hangat. Aku kembali berpikir. Kupikir, ada benarnya kata-kata Krisan. Tapi, ya memang ini tabiatku, kalau kata bakat sudah dilarang. Meskipun, aku bukan pejabat partai atau petugas pajak. Pikirku, rakyat juga bagian dari negara. Sekalipun, bukan bagian dari pemerintah. It's okay, ketika pemerintah berkuasa. Namun, rakyat juga salah satu unsur negara yang penting. Kedudukan rakyat tidak lebih rendah dari public servant. Public servant maupun cicil society, keduanya tunduk pada hukum yang berlaku.

Memang, mengerti tidak selalu enak. Terlebih, jika kita mengerti sesuatu, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Itu jadi siksaan, yang lebih nyata dari siksaan lainnya. Sekalipun, terkadang yang jadi problem bukan perkara hal-hal eksternal. Terkadang yang jadi problem, ya pikiran kita sendiri.

Sebagian manusia memang bakat untuk memperumit sesuatu yang sebenarnya mudah. Tidak mudah memang untuk mengerti banyak hal. Tidak mudah untuk mengerti negara. Namun, bukan berarti kita perlu diam saja. Setidaknya, kita bisa melawan diri kita sendiri.

Hidup dibombardir oleh segenap informasi memang kadangkala membuat sebagian orang bingung. Hanya dengan mengetahui bahwa, kita sudah muak. Sudah overload. Itu sudah cukup. Setidaknya, cukup untuk menjaga kondisi mental kita agar tetap sehat. Mengerti waktu dan batasan, itu adalah awal yang tepat untuk memulai kehidupan yang lebih bermakna. Makna yang paling indah adalah kebahagiaan.