Chereads / Red Zone: Precognition / Chapter 1 - 00. Prolog

Red Zone: Precognition

🇮🇩cici_err
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 812
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 00. Prolog

Jenna menatap sekitarnya tak percaya. Alisnya yang berkerut menampakkan ekspresi kebingungan bercampur kengerian. Pemandangan di depannya benar-benar menyeramkan. Berlaku bagi siapa saja yang melihatnya.

Banyak tubuh tanpa tenaga yang bergelimpangan. Entah masih bernyawa atau tidak. Yang pasti mereka hanya diam, tak bergerak. Sedangkan jauh di ujung tanah lapang sana. Segerombolan orang menatap kosong ke arah tubuh yang bergelimpangan. Di setiap kepala dari segerombolan orang itu terdapat sebuah benda--tampak seperti ikat kepala--yang berpendar merah.

Jenna memerhatikan benda itu lamat-lamat dari kejauahan. Benda itu tampak seperti batu, dengan warna merah seperti ruby. Batu itu dikelilingi oleh lapisan tipis berwarna perak menyerupai ikatan kepala.

Pandangan Jenna perlahan turun ke wajah orang-orang dengan tatapan kosong itu. Wajah mereka pucat juga datar seperti tanpa emosi. Tatapan kosong menatap ke arah Jenna. Membuat bulu kuduknya meremang.

Jenna kembali mengedarkan pandangannya ke wajah lain. Berharap ada seorang saja yang berbeda dan mampu membuat Jenna memahami kondisi yang sedang terjadi. Sesaat setelah mengedarkan pandangannya, Jenna menangkap sesosok wajah yang sangat dikenalinya.

Jantung Jenna terasa seperti berhenti berdetak. Matanya sontak membulat. Ekspresinya sekarang sudah berganti dengan ekspresi terkejut sekaligus penuh harap. Namun, harapan Jenna seketika pupus. Jenna melihat benda berwarna merah mengelilingi krpala sosok itu.

Jenna tahu, itu bukan hal baik. Sosok yang dikenali Jenna sebagai kakaknya itu, mungkin sedang berada di bawah kendali benda yang mengelilingi kepalanya. Jenna bisa berpikir begitu setelah melihat langkah mereka yang bak robot berjalan. Juga ekspresi yang tak berubah, meskipun mereka nyaris menginjak--atau bahkan sudah menginjak--tubuh yang tergeletak lemah di hadapan mereka. Mereka seperti tak melihat bahwa ada tubuh lain di depan jalan mereka.

Jenna perlahan melangkah mundur. Lututnya menjadi gemetar. Keringat dingin mulai membasahi kening dan telapak tangannya. "Aku harus sembunyi," pikir Jenna.

Jenna lalu mengedarkan pandangannya. Mencari sebuah tempat persembunyian yang bisa melindungi tubuh kecilnya. Jenna tahu, jika ia tertangkap, maka ia akan berakhir sama dengan tubuh-tubuh yang tergelatak tak berdaya di sekelilingnya.

Jenna mulai kalut. Sedari tadi ia tak menemukan barang satu tempat pun yang memungkinkan untuknya bersembunyi. Jenna tersadar, ia berada di tanah lapang. Tak ada pohon, bangunan atau bahkan sebuah celah sempit di sana.

"Apa aku harus berpura-pura tak sadar? Apa aku harus berpura-pura seperti tubuh yang tergeletak? Akankah mereka melewatiku? Akankah mereka tak menyadariku?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkelebat di kepala Jenna. Memaksanya untuk mengambil sebuah tindakan. Sementara segerombolan orang itu sakin mendekat ke arahnya.

Jenna memejamkan matanya, berharap apa yang saat ini terjadi tak nyata. Hingga suara kaki melewatinya, Jenna baru bisa bernapas lega.

Jenna kemudian membuka matanya, sambil mengusap sedikit air mata yang berkumpul di pelupuk matanya. Namun, alangkah terkejutnya ia. Tepat saat membuka kedua matanya, ia mendapati wajah pucat pasi tepat di depan wajahnya. Wajah itu menatapnya tanpa ekspresi.

"Ka... Kakak?!"

Detik berikutnya, sosok berwajah pucat itu mengangkat tangannya. Setelah itu, yang Jenna lihat hanyalah gelap.

###