Menikah Dengan Mantan Kekasih Ibuku

Chaerani_T
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Part 1

BRAAKK ....

"Lihat, mereka berbuat mesum di malam hari," teriak salah satu warga yang mendobrak paksa pintu rumah Safira.

Banyak warga yang datang dan berkerumun hanya untuk menyaksikan penggrebekan yang sudah direncanakan dengan sengaja. Warga tersebut terhasut dengan ajakan seorang provokator untuk turut mencurigai gerak-gerik Satria yang berkunjung tengah malam ke rumah Diana.

"Tidak! kalian salah paham," teriak Safira membela diri dan sontak terkejut melihat banyak warga lainnya yang datang mengerumuni rumahnya.

"Lihat. Pria itu, dia saja sudah membuka bajunya, dan kamu Safira kamu sendiri memakai handuk di kepala. Pasti kalian sudah berbuat hal yang bukan-bukan," ungkap salah satu ibu paruh baya yang terlihat begitu kesal dengan Safira.

"Kami tidak berbuat hal yang aneh. Aku juga tidak berbuat apapun kepada Safira," sergah Satria yang langsung membantah tuduhan itu. Ia juga membela dan mencoba untuk menjelaskan hal yang sebenarnya. Karena semuanya hanya kesalahpahaman yang terjadi secara tiba-tiba.

"Sudah nikahkan saja mereka, nama daerah kita sudah tercoreng karena perbuatan mereka, " para warga mulai tidak terima dan terus bersorak menghina Safira juga Diana. Mereka memutuskan untuk mengadukannya kepada Ketua RT setempat. Agar keluarga Safira dapat diberi sanksi yang tegas, jika Satria dan Safira tidak mau mengakui perbuatan mereka.

Diana yang mendengar keributan dari ruang tamu pun terpaksa melangkahkan kakinya perlahan,untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan Safira dan Satria.

"Safira," panggil Diana, dari balik pintu yang menghubungkan jalan menuju ruangan lain yang berada di dalam.

"Bu," Safira berlari ke arah Diana yang menahan sakit pada bagian kakinya yang masih kaku untuk dibawa berjalan.

"Nah, lihat, wanita itu pasti yang sudah menjual anaknya kepada pria hidung belang ini, bawa saja dia ke kantor polisi," rupanya warga merasa geram. Mereka menyudutkan Diana yang masih belum mengerti tentang kejadian yang ada di depannya saat ini.

"Jangan, kalian tidak bisa membawa Ibuku ke kantor polisi, apa salah Ibuku?" tanya Safira kesal.

"Kalian orang miskin, pasti Ibumu memilih jalan yang sesat, dan menjual anaknya yang gadis kepada pria itu," sambung seorang ibu tua bertubuh kurus, yang ikut bersuara.

"Pak Satria ini teman saya, dia bukan ...," belum sempat Diana mencoba menjelaskan, salah satu warga berusaha menyelak perkataan Diana.

"Halah, bawa saja Bu Diana ke kantor polisi, atau usir mereka dari kota ini, " semua bersorak menyetujui usulan dari warga yang bersikeras mengusir Diana dan Safira.

Diana menangis dan memeluk Safira, Satria pun bangun dan menghentikan para warga yang sedang menghakimi mereka.

"Baik, saya akan bertanggung jawab. Saya akan menikahi Safira, tetapi dengan dua syarat, jangan bawa masalah ini ke hukum, dan jangan usir Diana dan Safira," ucap Satria lantang sehingga semua warga mendengarnya.

"Tidak bisa, kalian harus pergi dari kampung ini," beberapa warga mulai maju untuk mendekat kepada Diana, Safira dan Satria dan menarik lengan mereka untuk segera angkat kaki dari kota itu.

Satria mencoba mencari cara agar Safira dan Diana tetap tinggal ditempat mereka sendiri. dan menyakinkan kepada semua warga untuk memberikan kesempatan bagi ibu dan anak itu untuk tetap tinggal di kota ini.

"Beri mereka waktu empat hari untuk tinggal di tempat ini, dan hari ini juga tolong panggilkan penghulu untuk menikahkan saya dengan Safira, supaya masalah ini bisa diselesaikan dengan cara baik-baik," jelas Satria menawarkan kesepakatan kepada warga, ia ingin semua Kesalahpahaman ini bisa dibicarakan baik-baik tanpa ada masa yang mencoba menghakimi dengan kasar.

"Tidak paman, aku tidak mau," tolak Safira, yang mengenggam erat lengan baju Diana.

"Cepat! Nikahkan saja mereka. Segera panggil penghulu, dan kalian, awasi mereka jangan sampai mereka pergi," beberapa warga pergi menjemput Bapak penghulu dan ketua RT setempat agar kedua tersangka yang mencoreng nama baik kota mereka harus segera menikah supaya kota tersebut tidak menjadi kota yang terkena sial hanya karena perbuatan hubungan gelap.

Safira menangis memohon kepada Diana, agar ia tidak dinikahkan dengan Satria. ia memaksa bunya itu untuk membatalkan semuanya. ia berharap ibunya bisa melakukan sesuatu agar pernikahan itu tidak terjadi.

"Bu, Safira tidak mau, Safira tidak salah Bu," rengek Safira memeluk kaki Diana.

"Tapi Safira ...," ucap Diana menggantung kalimatnya.

"Izinkan aku untuk menolong kalian, aku mohon Diana," suara lembut Satria membuat Diana menyetuju jika Safira harus menikah dengan Satria.Sebagai satu-satunya jalan keluar dari fitnah yang sudah melekat pada Diana dan Safira. Cara itu bertujuan agar mereka tidak terusir dari tempat tinggal mereka.

"Tapi Bu, aku masih ingin sekolah, aku tidak mau menikah," keinginannya untuk meraih cita-citanya kini sudah menjadi debu yang hilang dan tidak pernah bisa ia untuk menggapai semuanya dan sangat mustahil jika ia harus mendapatkannya kembali.

"Nak, kita sedang berada di situasi yang menyudutkan kita, apa yang harus Ibu perbuat jika mereka terus menghakimi kita seperti ini?" tutur Diana yang begitu pasrah dengan keadaan yang kini menyudutkannya, tubuhnya hampir tidak kuat untuk menahan rasa sakit yang sedang ia rasakan saat ini, belum lagi fitnah yang sudah tersebar luas membuat semua orang di sekitarnya membencinya.

"Paman, Paman punya banyak uang kan?  tolong tutup saja mulut mereka dengan uang Paman, dan aku tetap tidak mau menikah dengan Paman," desak Safira dengan menangis, karena pernikahan bukanlah keinginannya saat ini.

"Jaga ucapanmu Safira," geram Diana, yang terpaksa menampar wajah Safira di depan Satria dan beberapa warga yang mengawasi ketiga orang itu.

"Dia ingin menolong kita, kita hampir saja diusir dari rumah kita sendiri, apa yang akan kamu lakukan? ini jalan satu-satunya supaya kita bisa hidup," tutur Diana menjelaskan dengan perasaan sedih dan kecewa di depan putri satu-satunya itu.

Safira menangis pergi kekamar, Satria mendekati Diana yang tampak mengatur kembali kesabarannya menghadapi Safira.

"Diana, jangan terlalu keras mengahadapi Safira, ia masih belum mengerti," bela Satria dan mencoba mendinginkan suasana hati Diana saat ini. Tentunya Diana tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi masalah ini.

"Dia sudah dewasa, mau tidak mau kalian harus menikah, semua warga sudah terlanjur salah paham akan hal ini, dan aku menitipkan Safira kepadamu, karena aku tidak bisa membahagiakannya dengan kondisiku yang seperti ini," jelas Diana yang mengungkapkan isi hatinya yang selama ini menjadi sebuah beban untuknya. Menjadi orang tua tunggal yang harus berjuang keras untuk membahagiakan putri satu-satunya di rumah ini.

"Apa  kamu merestui jika Safira menikah denganku?" tanya Satria.

"Aku ikhlas, Safira orang yang tepat untuk kau jadikan sebagai seorang istri. Aku memanggilmu bukan untuk menjawab lamaran yang kau sampaikan kemarin, tapi aku ingin menitipkan Safira kepadamu, karena kondisi aku yang mungkin tidak akan bertahan lama," tutur Diana akan nasibnya.

Satria terdiam mendengar jawaban Diana. Ada kekecewaan di dalam hatinya tidak bisa memiliki Diana, wanita yang sangat lama menempati hatinya.

"Aku masih mencintai Mas Ridwan, Satria, dan mungkin ini adalah takdir jika Safira adalah jodohmu," tutur Diana.

"Baiklah, aku akan menjaga Safira sesuai permintaanmu," ucap Satria mengalah, ia juga tidak bisa menolak permintaan Diana yang memintanya untuk menjaga Safira.

Diana merasa sangat lega jika Satria mau menjaga Safira dengan baik, ia merelakan Safira kepada Satria dengan kondisi apa yang sedang dialaminya saat ini.

Sudah dua tahun Diana mengidap kanker rahim, tubuhnya terus merasa lemas, sementara ia masih belum siap meninggalkan Safira yang harus berjuang keras sendirian untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Aku merasa lega jika Safira akan hidup bersamamu," ungkap Diana.

Tidak lama kemudian, Bapak penghulu datang bersama warga yang gemas untuk menghakimi Satria dan Safira.

"Pak tolong cepat. Segera nikahkan mereka secara agama, yang terpenting nama kota ini tidak ternodai oleh perbuatan bejat mereka," teriak warga, banyak dari mereka yang masih belum puas menghakimi Diana dengan Safira.

Safira melihat dari dekat pintu ruang tengah. Satria memantapkan keputusannya untuk menikahi dirinya, didepan semua warga.

"Aku menikah dengan Paman, lalu apa yang harus kukatakan kepada kak Bagas tentang hubungan kami?" bisik hatinya. Ia terus memohon doa dan petunjuk agar pernikahan terpaksa ini tidak terjadi.

Safira menangis, Diana mendekati Safira dan memintanya untuk duduk di sebelah Satria. karena sebentar lagi ijab qabul akan dilakukan bersama Satria dan disaksikan oleh warga setempat.

"Ini yang terbaik untuk kita, Nak," ucap Diana berharap Safira mengerti tentang keadaan mereka saat ini .

Safira tidak mau memperkeruh keadaan, ia melihat Bapak penghulu yang ia kenal sebagai Ayahnya Bagas. Safira hanya bisa tertunduk karena tidak sanggup menyakiti hati Bagas dan menahan rasa malu kepada Ayah Bagas.

Safira mendengar suara lembut Satria, ia menahan napas saat menyebut namanya dengan lantang dan penuh keyakinan. Semua warga bersorak dan serempak mengatakan kalimat SAH kepada kedua pengantin dadakan itu.

Diana tersenyum bahagia,ia tidak menyangka bisa menyaksikan putri tercintanya menikah, walaupun saat ini ia masih merasakan sakit yang tengah mengerogoti bagian dalam tubuhnya. ia langsung memeluk Safira dengan pandangan mata Safira yang terus melihat ke arah Ayah Bagas.

Satria mencium tangan Diana.Kini wanita yang sangat ia cintai sudah menjadi ibu mertuanya. Kekecewaan Satria harus ia tepis dengan rasa ikhlas untuk menerima Safira sebagai isterinya.

"Selamat untuk kalian berdua,semoga bisa menjadi suami dan istri yang bahagia," ungkap Diana yang mengucapkan rasa syukurnya dan mendoakan kebaikan kepada kedua pasangan yang terjebak menjadi Pengantin.

Safira hanya bisa terdiam. Ia terus menunduk malu saat Ayah Bagas memberi selamat kepada kedua pengantin itu.

"Selamat Safira. Semoga pernikahanmu berjalan dengan bahagia, " ucap Pak Jamal dan memberikan ucapan selamat dengan wajah yang tenang dan menganggukkan  kepalanya  ke arah Safira, mengisyaratkan bahawa tidak apa-apa jika ia menikah dengan pria lain.

"Eh, Pak, Safira minta maaf, Safira tidak bisa menjadi menantu Bapak hiks, aku tidak bermaksud untuk menyakiti hati kak Bagas," seketika Safira menangis, karena tidak bisa menahan rasa sedih dan rasa kecewanya.

Satria menoleh setelah mendengar perkataan Safira kepada Bapak penghulu yang menikahkan mereka.

"Bapak tahu kamu anak yang baik. Saya paham dengan posisi kamu yang seperti ini. Mungkin ini sudah menjadi takdir yang baik untuk kehidupanmu," ucap Ayah Bagas dan mencoba menenangkan hati Safira. Karena ia sangat tahu bagaimana cinta Safira kepada Bagas.

"Aku mohon jangan katakan ini kepada kak Bagas, aku tidak mau kak Bagas mengetahuinya," pinta Safira.

"Bapak tidak akan ikut campur terlalu jauh, biar kamu dan Bagas saja yang menyelesaikan masalah kalian," jelas Pak Jamal.

Safira mengangguk. Ia masih merasa malu dengan kehadiran Ayah Bagas. Pria tua yang selalu baik dan selalu menolongnya setiap kali ia membutuhkan bantuan.

"Terimakasih Pak, karena Bapak bisa hadir untuk menikahkan saya dengan Safira," sambut Satria dengan berjabat tangan kepada Pak penghulu yang sudah mau menyempatkan waktu untuk menikahkan mereka.

"Tentu Pak. Saya titip Safira, saya sudah terlanjur sayang kepada Safira. Dia anak yang baik, dia juga anak yang ceria. Saya sudah menganggap nak Safira itu seperti anak saya sendiri. Saya hanya memiliki satu anak laki-laki yang sangat dekat juga dengan Safira. Mungkin Tuhan berkata lain. Pak Satria yang ternyata menjadi jodoh nak Safira," ungkap Pak Jamal.

"Tentu, saya akan menjaga Safira," ucap Satria memberi kepastian kepada Pak Jamal yang begitu ikut merasa kehilangan Safira yang seharusnya menjadi menantunya.

"Kalau begitu saya pulang, hari sudah semakin malam." Setelah itu Pak Jamal pamit dan segera pulang kerumahnya.

"Terimakasih Pak jamal," cakap Satria dan berjabat tangan kembali dengan Pak Jamal. Walaupun ini pertemuan pertama kali dengannya, sikap dan tutur kata Pak Jamal mencerminkan orang yang baik dan bijak.

"Ya, sama-sama Pak," jawab Satria dan mmmenimpalinya dengan senyuman.

Semua warga sepakat memberikan waktu selama empat hari kepada Diana atau Safira untuk pergi dari rumah mereka.

Safira hanya bisa menangis meratapi pernikahan yang tidak pernah ia harapkan. ia tidak bisa memikirkan apapun selain menumbuhkan rasa kesal dan kebencian kepada suaminya itu.

"Maafkan aku kak, aku terpaksa menghianati cinta kita," ucapnya dengan lirih.

Semua warga kembali ke tempat mereka. semua masalah sudah diselesaikan dengan cara baik-baik. Namun, mereka tetap meminta agar Safira yang pergi dari kota tersebut.

"Tenanglah Diana, semua masalah sudah terselesaikan," sambung Satria dan mencoba mengenggam tangan Diana. Namun, Diana segera menepisnya, sehingga mengurungkan niatnya untuk mendekati Diana.

"Satria, terimakasih sudah mau menolong kami, aku tidak pernah mengira jika kalian berdua menikah! Dan aku titip Safira, kepadamu!" 

Diana sudah merelakan Safira bersama dengan Satria.

"Setelah ini. aku akan menjaga Safira dengan baik. Sekarang, aku harus pergi ke Jakarta untuk mengurus semua surat pernikahan kami. Diana aku janji tidak akan mengecewakanmu," janji Satria kepada Diana.

Safira hanya terdiam melihat Satria yang menghampiri ibunya, dipikirannya saat ini adalah tentang nasib cintanya kepada Bagas yang sudah pupus dan terpaksa ia khianati hanya karena sebuah kesalahpahaman.

"Maafkan aku Kak," ucapanya lirih dan menangis tersedu.

Satria memilih pamit kepada Diana, Ia akan menjemput Safira besok sore, untuk tinggal bersamanya di Jakarta. Satria tidak bisa mendekati Safira, karena ia mengerti dan paham apa yang sedang dirasakan oleh istrinya itu, sehingga ia tidak mau merusak suasana hati Safira yang saat ini memilih bersikap diam.

"Safira, aku terpaksa untuk menjadikanmu istriku, sementara orang yang kucintai sejak dulu kini menjadi ibu mertuaku. Sudah sangat jelas jika Diana bukanlah jodohku, haruskah aku lupakan segala perasaanku kepada Diana dan memulai kembali membuka hati untuk Safira? Apakah mudah bagiku untuk bisa melupakannya? Karena selama ini aku menunggu kesiapan Diana yang akan menjadi istriku," jelas Satria yang pulang dengan perasaan gundah di hatinya. Cintanya kepada Diana sudah tidak bisa bersambut dengan baik. Harapannya kini sudah pupus ditelan waktu. Ia akan mencoba menghilangkan segala perasaan cinta yang sudah lama bertahan di lubuk hatinya.

Satria berjanji akan kembali besok sore dengan membawa Safira untuk ia kenalkan dengan kedua orang tuanya yang berada di Jakarta dan memulai hidup bersama dengan dirinya, sebagai pasangan suami dan istri.