Chereads / AKU BAYI GEDE KELUARGA / Chapter 6 - History si Bayi Gede saat SD Kelas 3 & 4

Chapter 6 - History si Bayi Gede saat SD Kelas 3 & 4

Hari telah berganti, minggu berlalu, bulan menghilang, tahun baru pun tiba. Sekarang si Bayi Gede sudah memasuki usia ke sembilan tahun, sekarang dia pun sudah duduk di bangku sd kelas tiga. Suatu hari terjadilah sebuah peristiwa yang cukup menegangkan dan tidak terlupakan oleh si Bayi Gede hingga sekarang, bukan benci atau dendam yang membuatnya tidak bisa lupa tapi hal itu terasa lucu baginya dan setiap mengingat hal itu si Bayi Gede merasa tergelitik dan tertawa.

Ting...ting...ting... suara lonceng tanda rehat telah tiba. Saat jam rehat, si Bayi Gede tetap belajar dan sesekali bercanda dengan teman-teman sekelasnya. Ketika si Bayi Gede sedang asyik belajar metematika datanglah salah satu teman sekelasnya menghampiri meja si Bayi Gede. Semula temannya itu hanya menjahilinya dengan mengoyang-goyangkan meja ketika si Bayi Gede sedang menulis.

"Jangan gangu aku dulu!." Si Bayi Gede mengingatkan temannya.

"Bodo amat" Ucap sang pengacau terus mengocang meja lagi sehingga tulisan si Bayi Gede berantakan di buku tulisnya.

"Robet kalau mau main keluar!." Sergah si Bayi Gede karena jengkel.

"Aku gak mau, aku mau ganguin kamu aja. Kenapa, kamu berani?." Tantang Robet si pengacau pada si Bayi Gede.

"Udahlah..." Cetus si Bayi Gede mengalah lantas pergi keluar dan bermain dengan teman lainnya di halaman sekolah.

Saat si Bayi Gede sedang asyik bermain sama teman-teman lainnya si pengacau Robet datang lagi, ternyata hari ini dia memang ingin sekali mengacau si Bayi Gede.

Bruuugkh... bunyi si Bayi Gede jatuh terjungkal akibat kakinya tersandung karena sengaja di halangi oleh Robet si pengacau ketika si Bayi Gede berlari melintas di depannya, menjauhkan diri dan berkelit dari kejaran salah satu temannya yang ingin menangkap si Bayi Gede karena saat itu si Bayi Gede dan teman-temanya yang lain sedang main kejar-kejaran.

"Arrgggk... sialan..!." Geram si Bayi Gede ketika bangkit dari jatuhnya dan dengan sekuat tenaga si Bayi Gede mendorong Robet hingga terjungkal ketanah dan setelah itu si Bayi Gede pun berbalik meninggalkan Robet si pengacau.

"Sialan, keparat..!." Teriak Robet setelah bangkit dari jatuhnya dan segera berlari ke arah si Bayi Gede lalu melempar kepala si Bayi Gede menggunakan sepatunya yang telah dia lepaskan dari kakinya.

"Awas Lim!." Teriak teman-temannya memperingatkan si Bayi Gede namun sia-sia karena ternyata sepatu yang di lempar Robet si pengacau itu melesat dengan cepat dan berhasil mencium kepala bagian belakang si Bayi Gede.

"Auuuu... dasar bangsat, sialan, anjing!." Teriak si Bayi Gede dengan geram sambil memegang kepalanya yang kesakitan akibat ciuman keras sepatu yang di lempar oleh Robet si pengacau.

"Sorry gak sengaja!." Imbuh Robet si pengacau sambil tertawa dengan menunjukan muka tak berdosa ketika mendekati si Bayi Gede.

"Ngak sengaja kau bilang, anjing!." Sergah si Bayi Gede dengan geram dan menarik baju Robet si pengacau hingga beberapa kancing baju Robet si pengacau pun bertaburan ke tanah.

"Apa-apaan sih, anjing lo!." Jawab Robet si pengacau dan melepaskan diri dari cengkraman tangan si Bayi Gede yang menarik bajunya.

"Mau lo apa, anjing?." Tantang si Bayi Gede seraya mendorong dada Robet si pengacau.

"Mau lo apa, anjing? Lihat kancing baju ku jadi rusak, anjing!." Balas Robet si pengacau seraya melempar bajunya yang telah dia lepas ke muka si Bayi Gede dengan geram.

"Anjing lo!." Teriak si Bayi Gede lantas melancarkan kepalan tangan kananya yang munggilnya ke wajah Robet si pengacau dengan cepat setelah baju yang di lempar Robet si pengacu jatuh ke tanah setelah menabrak mukanya.

"Anjing!." Teriak Robet si pengacau lantas membuka sepatunya untuk memukul si Bayi Gede.

Pergulatan antara si Bayi Gede dan Robet si pengacau pun tidak terelakan, pergulatan pun terjadi semakin sengit dan anak-anak lainnya mulai bersorak mengelilingi keduanya sambil berteriak untuk memberi dukungan ke salah satu jagoannya atau temannya dan ada yang memang hadir hanya untuk membuat keadaan semakin panas dengan mengompor-ngompori dari samping.

Beberapa anak-anak perempuan yang dekat dengan si Bayi Gede berlari ke kantor dan melaporkan perkelahian antar si Bayi Gede dan Robet si pengacau pada guru-guru.

Setelah setengah jam kemudian datanglah seorang guru wanita yang bijak bernama Anastasia.

"Hei, berhenti kalian, minggir kalian, bubar!." Teriak Bu Guru pada anak-anak yang mengelilingi si Bayi Gede dan Robet si pengacau yang sedang sengit.

Anak-anak pun segera berhenti berteriak dan bubar namun teman-teman si Bayi Gede tetap di tempat untuk memberi penjelasan dan pembelaan pada si Bayi Gede karena dia memang tidak bersalah.

"Lim... Robet... sudah, cukup, hentikan!." Bu Guru lanjut meneriaki si Bayi Gede dan Robet si pengacau yang masih sengit bergulat. Beberapa saat kemudian si Bayi Gede berhasil mengunci Robet si pengacau sehingga Robet si pengacau tidak dapat berkutik.

"Gimana, masih berani lo anjing? Sergah si Bayi Gede seraya terus mengunci gerakan Robet si pengacau dengan menjepit kaki Robet si pengacau mengunakan kakinya, mengunci kedua tangan Robet si pengacau ke belakang mengunakan tangan kanan dan mengunci leher Robet si pengacau mengunakan tangan kirinya sehingga menyebabkan Robet si pengacau tidak dapat berkutik dan napasnya tersengal-sengal.

Setelah menyadari Robet si pengacau yang telah tersengal-sengal, lemas dan tidak berdaya si Bayi Gede pun melepasnya dengan mendorong seraya bangkit dan menendang paha Robet si pengacau sekali lalu pergi menjauh untuk menenangkan diri dari emosinya yang telah meledak.

Ting...ting...ting... suara lonceng sekolah berbunyi tanda jam rehat usai. Si Bayi Gede dan anak-anak lainnya pun bergegas masuk kelas dan menyiapkan buku tulis sesuai jadwal bidang studi yang akan mereka pelajari.

Jam dinding sudah berdenting menunjukkan angka 12 wib, tidak lama kemudian bunyi lonceng pun terdengar. Ting...ting...ting... bunyi lonceng menari di udara menandakan waktu pelajaran telah habis dan tiba masanya untuk kembali ke rumah.

"Ye... lonceng." Seru beberapa anak di kelas.

"Baik, jam belajar kita habis. Sekarang simpan peralatan belajar kalian dan cek jangan sampai ada barang yang tertinggal." Seru Bu Guru pada si Bayi Gede dan teman-teman sekelasnya.

"Baik Bu" Jawab beberapa anak secara bersamaan.

"Jika sudah siap, mari kita berdoa dulu supaya selamat sampai tujuan." Imbuh Bu Guru kemudian.

"Siap Bu, mari kita berdoa." Jawab beberapa anak bersamaan.

"Lim, ayo pimpin doanya." Pinta Bu Guru pada si Bayi Gede.

"Baik, Bu. Semuanya, mari kita berdoa sebelum pulang. Untuk yang beragama muslim izinkan saya memimpin doa dan untuk teman-teman non muslim di persilakan berdoa menurut keyakinan masing-masing." Si Bayi Gede pun memimpin doa dengan khimat hingga selesai dan setelah itu mereka pun bersaliman secara bergantian dan berbaris rapi pada Bu Guru untuk berpamitan.

Sepanjang perjalanan pulang sekolah, si Bayi Gede dan beberapa temannya terus mengobrol dan bercanda hingga akhirnya satu persatu mereka pun menghilang karena telah sampai di rumah.

Tinggalah si Bayi Gede berjalan sendirian menelusuri jalanan karena di antara teman-temannya, rumah si Bayi Gede yang paling jauh dari sekolah. Sesekali si Bayi Gede menendang kerikil-kerikil yang ada di hadapannya dan terkadang dia pun berlari kecil kemudian berhenti.

Setelah beberapa kali berlari kecil si Bayi Gede berhenti dan mengambil aba-aba untuk mengumpulkan tenaga dan berlari kencang supaya cepat sampai rumah karena, cacing-caing dalam perutnya sudah meronta-ronta dan tengorokannya sudah sangat kering seperti padang pasir di Arab Saudi.

Hari itu matahari sedang sangat bahagia lantas memancarkan sinarnya dengan terang-benderang sehinga sangat menyengat di kulit tubuh dan kepala siapa pun yang terkena cahayanya.

Akhirnya si Bayi Gede pun tiba di rumah dengas napas tersengal-sengal karena haus dan lelah akibat berlari.

"Kenapa Lim?." Tanya Umak heran sekaligus khawatir melihat si Bayi Gede yang ngos-ngosan, kelelahan dan berkeringat bercucuran.

"Minta air mak." Pinta si Bayi Gede pada Umak dalam posisi nyender lemas di kursi teras rumahnya.

"Tunggu bentar." Jawab Umak lantas pergi mengambil air minum ke dapur.

"Makasih mak." Jawab si Bayi Gede seraya menyambut gelas air minum dan lekas mengubrisnya dengan sumbringah.

Roda waktu terus berputar, pagi, siang, sore, petang dan malam pun terus berganti. Sekarang si Bayi Gede sudah duduk di kelas empat.

Beberapa anak laki-laki terlihat berkumpul dan menatap si Bayi Gede dengan tatapan mencurigakan.

"Ayo kita tangkap si Lim terus kita ikat dan kita kunci di toilet." Kata Alib pada teman-temannya.

"Untuk apa?." Jawab salah seorang dari teman Alib yang bernama Sadikin.

"Si Lim kan pintar, kita ancam dia untuk memberitahu kita jawaban pr matematika kalau tidak mau memberitahu kita tinggalkan aja di toilet." Timpal Alib panjang lebar atas rencana jeleknya untuk si Bayi Gede pada teman-temannya.

"Aku ngak ikutan." Sahut Robet si pengacau yang pernah bergulat dengan si Bayi Gede.

"Kenapa, kau takut sama Lim.? payah, harusnya kau lebih semangat untuk balas dendam." Imbuh Alib pada Robet seraya menyipitkan matanya dan mendorong bahu Robet.

"Tahu ni, penakut. Jadi banci aja, besok pake rok usah pake celana lagi." Cerocos salah satu teman mereka yang bernama Awang.

"Jadi gimana nih, jadi ngak?." Tanya seorang lagi dari mereka yang bernama Sancau.

"Aku tetap ngak ikut." Jawab Robet.

"Banci tinggal di sini aja." Imbuh Alib dengan gayanya yang menyeringai.

Ting...ting...ting... bunyi lonceng bernyanyi tanda jam rehat selesai.

"Yah... sial!." Cetus Alib ketika mendengar suara lonceng.

"Nasib baik si Lim hari ini." Timpal Awang.

"Tenang, besok masih ada kesempatan untuk kita ngerjain dia." Sahut Sancau.

"Betul, aku gak sabar pengen kempesin kepalanya." Balas Sadikin seraya meremas kepalan tangan kananya mengunakan tangan kiri dengan geram seraya terawa lebar.

Beberapa saat kemudian, seorag guru perempuan masuk ke kelas si Bayi Gede. Beliau seorang guru Seni Budaya, namanya Lena.

"Bagaimana kabar kalian?." Sapa bu guru Lena, gueu Seni Budaya pada anak didiknya setelah meletakan tas dan bukunya di meja.

"Baik bu." Jawab si Bayi Gede dan teman-teman sekelas bersamaan.

"Hari ini kita akan belajar menyanyi sebuah lagu daerah dari Timur. Sari, ayo maju tuliskan lagunya di papan tulis." Imbug bu guru kemudian.

"Baik bu." Jawab Sari lantas maju ke depan dan menulis bait perbait lagu asal Timur, hingga selesai.

"Siapa yang pernah dengar lagu ini sebelumnya?." Tanya bu guru Lena pada anak didiknya seraya melihat ke kiri dan kanan sambil tersenyum. Semua anak-anak pun saling bertukar pandang, ternyata belum ada satu pun di antara mereka yang sudah mendengar lagu tersebut.

"Mari ajari kami cara bernyanyinya bu." Pinta salah satu murid perempuan bernama Masni.

"Ya, udah. Mari kita bernyanyi bersama. Setelah itu ibu mau kalian praktekan satu persatu ke depan." Jawab bu guru Lena serius.

"Baik bu." Jawab beberapa anak yang hobi bernyanyi.

Si Bayi Gede adalah salah satu orang yang sangat menyukai nyanyian tapi dia hanya pendengar dan dia sangat tidak suka jika di minta untuk bernyanyi karena dia sangat buta terhadap nada. Jika si Bayi Gede bernyanyi jangankan orang yang mendengarkan, dirinya sendiri pun ketakutan karena bernyanyi potong bebek angsa saja nadanya datar. Untuk beberapa orang jika mendengar si Bayi Gede bernyanyi pasti akan tertawa terbahak-bahak karena lucu mendengarnya dan ada pula yang langsung mengejek dan mengintimidasinya karena nada lagunya sangat tidak nyaman di nikmati oleh indera pendengar.

"Masni, ayo maju dan nyanyikan lagunya." Perintah bu gur Lena pada Masni. Masni pun maju dengan percaya diri dan dia punenyelesaikan nyanyian itu dengan sangat indah.

"Ayo beri tepuk tangan yang meriah untuk Masni." Ajak bu guru Lena. Setelah itu dia pun memanggil salah satu muridnya lagi dan giliran jatuh pada si Bayi Gede.

"Ampun bu, saya tidak bisa bernyanyi." Jawab si Bayi Gede secara jujur dengan wajah memelas untuk memohon jangan memaksanya bernyanyi.

"Lim, di sini kita semua belajar. Ayo maju dan coba dulu, kamu pasti bisa!." Bu guru Lena memberi semangat untuk menbangun rasa percaya diri si Bayi Gede.

"Saya benaran tidak bisa bernyanyi bu tapi saya akan coba." Jawab si Bayi Gede seraya melangkah ke depan dengan sangat malas.

"Ayo Lim, kamu pasti bisa!." Seru beberapa teman dekat si Bayi Gede untuk menambah rasa percaya diri si Bayi Gede.

Si Bayi Gede pun bernyanyi dan benar apa yang dia katakan, lagunya benar-benar buruk ketika si Bayi Gede yang menyanyikannya. Nada dari a sampai z sangat datar dan sontak bu guru Lena pun tersenyum memandang si Bayi Gede sementara teman-teman sekelas yang tidak menyukai Bayi Gede langsung berteriak dan bersorak mengejeknya.

Si Bayi Gede tetap menyelesaikan lagu yang dia nyanyikan meski kakinya dan suaranya sudah terlihat dan terdengar gemetar karena menahan malu. Setelah si Bayi Gede selesai bernyanyi semua teman-temannya pun bertepuk tangan dengan gemuruh dan beberapa temannya mengatakan bahwa si Bayi Gede kren dan hebat seraya melempar senyum yang sangat manis untuk menyemangati si Bayi Gede.

Ibu guru Lena pun ikut berpetuk tangan, memuji si Bayi Gede lantas mendekat dan merangkul untuk menepuk lembut bahu si Bayi Gede tanda bu guru Lena merasa bangga sama si Bayi Gede karena dia mampu menyelesaikan tugasnya meski dia dalam keadaan tertekan.

"Bu, boleh saya membawakan sebuah puisi untuk mengantikan lagu tadi supaya nilai saya tidak buruk." Pinta si Bayi Gede serius karena dia tidak mau nilainya dalam bidang studi seni budaya, rendah dan membuat perstasinya menurun.

"Kamu bisa berpuisi?." Tanya bu guru Lena dengan senyum manisnya.

"Bisa bu." Jawab si Bayi Gede singkat.

"Baik, anak-anak harab tenang. Kita akan mendengarkan sebuah puisi dari Lim." Pinta bu guru Lena pada anak didiknya supaya tidak ribut dan kembali tenang seraya mempersilakan si Bayi Gede untuk membawakan puisinya.

"Bapak ibu guru terhebat...

Terimakasih atas kasih mu,

Terimakasih atas didikan mu,

Terimakasih atas jasa mu,

Daku yang semula tak kenal huruf,

Daku yang semula tak kenal angka,

Daku yang semula tak tahu apa-apa,

Daku sekarang pandai membaca,

Daku sekarang pandai berhitung,

Daku sekarang padai menulis,

Dari hati terdalam daku sampaikan,

Daku bahagia mengenal bapak ibu guru,

Daku bangga pada bapak ibu guru,

Oh, bapak ibu guru terhebat...

Maafkan daku yang nakal,

Maafkan daku yang durhaka,

Oh, bapak ibu guru terhebat...

Kalian malaikat ke dua setelah ayah dan ibu,

Kalian adalah pelita dunia,

Kalian adalah cahaya terang ketika gelap,

Kalian sumber energi setelah matahari,

Oh, bapak ibu guru terhebat ku...

Sekali lagi daku ucapkan terimakasih,

Daku pernah menbuat gusar,

Daku pernah berbuat nakal,

Daku pernah durhaka,

Bapak ibu guru tetap mendidik daku,

Bapak ibu guru tetap mengajari daku,

Bapak ibu guru tetap membimbing daku,

Dengan sabar,

Dengan bijak,

Dan penuh kasih sayang,

Meski daku bukan darah mu,

Oh, bapak ibu guru terhebat ku...

Daku bangga menjadi anak didik mu."

Judul puisi, Terimakasih Bapak Ibu Guru Terhebat" pungkas si Bayi Gede setelah selesai membawakan puisinya dengan penuh khimat dan percaya diri.

"Kren, ibu bangga pada Lim. Puisinya sangat bagus, pembawaannya juga sangat hebat. Itu puisi karangan siapa?." Bu guru Lena tersenyum bangga seraya bertepuk tangan bersama anak-anak lainnya.

"Terimakasih bu, itu karangan saya sendiri." Jawab si Bayi Gede dengan senyum manisnya.

"Hebat, sejak kapan buat dan latihannya?." Timpal bu guru Lena seraya tetap tersenyum manis.

"Barusan bu tapi saya sudah lama suka baca puisi dari buku paket pelajaran dan berlatih membaca serta mengarang jikalau waktu sengang." Imbuh si Bayi Gede dan sontak membuat bu guru Lena semakin takjub dan bangga padanya, begitu juga dengan teman-teman sekelasnya. Tapi teman-teman sekelas yang tidak menyukai si Bayi Gede tetap berpura-pura tidak bangga pada si Bayi Gede, mereka tetap menunjukan sikap tidak bersahabat pada si Bayi Gede.

"Baiklah, Lim silakan kembali ke tempat duduknya. Sekarang kita lanjutkan bernyanyi lagi, Neli ayo maju." Lanjut bu guru Lena melanjutkan pelajarannya.

"Saya bu?." Jawab anak perempuan bernama Neli dengan sikapnya yang seakan linglung.

Neli adalah wanita tercantik di kelas empat, dia adalah sosok bidadari bagi anak laki-laki jika melihatnya dari segi fisik.

Kenapa Neli bersikap linglung ketika di panggil bu guru Lena maju ke depan?

Neli juga jago dalam hal tarik suara, suara sangat bagus bahkan lebih baik dari suara yang di miliki Masni. Tapi, Neli ternyata memiliki kapasitas IQ yang di bawah rata-rata.

Meski Neli adalah wanita yang sangat cantik dan pandai bernyanyi bahkan pandai bergaya bak model dan artis dia tetap menjadi bulan-bulanan teman-teman sekelasnya karena tidak pandai membaca.

"Ia, Neli sekarang giliran kamu. Ayo maju!." Ulang bu guru Lena.

"Ba...baik.. bu." Jawab Neli gugup.

"Kamu kenapa Neli.?." Tanya bu guru Lena merasa heran pada sikap Neli.

Setahunya Neli ketika duduk di kelas tiga, Neli adalah anak perempuan paling berbakat dalam hal tarik suara. Bu guru Lena mendengar kabar dari rekan gurunya di kantor namun bu guru Lena tidak tahu kalau Neli tidak pandai membaca.

"Tidak kenapa-napa bu." Jawab Neli singkat dan terus diam ketika sudah berada di depan.

"Ayo mulai bernyanyi Neli." Perintah bu guru Lena setelah Neli berdiri beberapa saat dan tetap diam.

"Saya belum hapal lagunya bu." Jawab Neli sekali lagi.

"Kan sudah di tulis di papan tulis, tinggal kamu baca." Bu guru Lena menunjuk ke arah papan tulis.

"I...ia.. bu." Jawab Neli semakin gugup.

"Ayo di mulai Neli, tunggu apa lagi..?." Imbuh bu guru Lena seraya bangkit dari kursinya dan mendekati Neli.

"I..ia bu." Cetus Neli lagi.

"Dari tadi jawab ia terus tapi tidak ada suaranya, kamu kenapa.?" Tanya bu guru Lena keheranan.

"Neli gak bisa baca bukkk." Jawab beberapa teman sekelas Neli sambil tertawa.

"Benar kamu gak bisa baca Neli.?" Tanya bu guru Lena penasaran.

"Benaran bukkk, coba suruh baca pasti gak bisa." Timpal salah satu teman perempuan sekelas Neli yang bernama Leni.

Leni adalah wanita yang sangat iri hati dengan kecantikan Neli. Leni sangat membenci Neli karena banyak anak laki-laki yang menyukai Neli, bukan cuma anak laki-laki satu sekolahan tapi anak laki-laki dari sekolah luar dan orang umum pun banyak yang mengejar cinta Neli. Bahkan yang sangat membuat hati Leni sangat gusar ternyata laki-laki yang menjadi incaran Leni dan telah lama dekat dengannya ketika mengenal Neli pun langsung berpaling dari Leni dan mengejar Neli sampai tidak pernah menoleh pada Leni kembali. Itulah alasan Leni selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan Neli dengan cara cantik bahkan Leni pun berpura-pura baik dan menjadi sahabat Neli.

"Baik, Neli coba baca tulisan ini." Perintah bu guru Lena pada Neli seraya menulis sebuah kalimat di papan tulis.

"P-i...pi p-a...pa oncoi." Setelah selesai mengeja dan mengucapkan kalimat ejaannya Neli pun semakin gugup dan bingung karena teman-teman sekelas pada tertawa sampai terbahak-bahak bahkan bu guru Lena pun ikut tertawa.

"P-i...pi p-a...pa kenapa bisa di baca oncoi Neli.?" Tanya bu guru Lena sambil tertawa karena merasa Neli sedang membuat lelucon.

Neli pun tetap diam dan terus memandang tulisan yang dia eja, terlihat mulutnya masih komat-kamit dan tangannya sesekali mengaruk kepalanya yang tidak gatal.

"P-i...pi p-a...pa oncoi." Neli mengulangi ejaannya sekali lagi dan lagi-lagi dia pun salah. Sehingga suasana kelas menjadi sangat gemuruh karena tertawa.

"Neli... Neli..." Timpal bu guru Lena pada Neli sambil geleng-geleng dan tertawa ringan seraya kembali ke tempat duduknya dan mempersilakan Neli kembali ke kursinya.

Ting..ting...ting... suara lonceng seakan menari memberitahu bahwa jam pelajaran telah selesai. Bu guru Lena pun mengakhiri pelajaran dan mereka pun pulang setelah selesai berdoa dan saliman.

###