"Sania, bisa kita bertemu?" tanya Ekal dari tempatnya, ponselnya menempel di telinganya.
Mata Ekal agak memerah dengan ujung hidung pun agak merah setelah kepergian Luna, Ekal sempat menumpahkan air matanya. Tapi, dia menunggu sampai Luna pergi karena Ekal tak mau tampak lemah di hadapan Luna.
Ekal menangis bukan karena dia cengeng, tapi. Karena dia baru sadar kalau dia sudah kehilangan sosok yang paling berharga dalam hidupnya, bodohnya dia tidak menyadari akan hal ini yang bisa terjadi di masa depannya.
Dia terlalu fokus untuk mencintai Sania dan mengikuti hawa nafsunya, sampai dia tidak sadar kalau dia sudah menggadaikan cintanya demi cinta yang sesaat.
"Kenapa? Bukannya kamu bilang tidak mau bertemu dengan aku lagi? Kamu bahkan mengusirku dari rumah kamu," kata Sania tidak santai.