Pria itu berjalan memasuki rumah sembari memijat pangkal hidungnya guna meredakan sakit kepala yang berkepanjangan.
Dia Ekal, baru sampai di rumah tepat pada pukul setengah sebelas malam. Tiga puluh menit setelah istrinya pergi dengan Evans.
Ekal melirik penjuru rumah, sunyi. Itulah suasana di sana, Ekal menghela napas panjang.
Karena sudah terlalu lelah, Ekal memutuskan untuk segera menuju kamarnya. Ekal pikir, Luna pasti ada di sana.
Karena keadaan di rumah sangat sepi, jadilah dia menyimpulkan hal itu dengan mudah.
Begitu kakinya menginjak lantai atas, Ekal berhenti sesaat. Dia melirik sebuah pintu bercat putih gading, itu adalah pintu kamar Luna dan miliknya.
Jika, kembali mengingat seperti apa hubungan mereka sekarang. Rasanya Ekal sesak, tapi. Mau bagaimana lagi Ekal harus bertahan dengan tekanan itu, Luna adalah istrinya. Ekal tak bisa meninggalkan wanita itu walau Luna sendiri yang memintanya.
Itu seperti sebuah kemustahilan yang tak akan pernah bisa Ekal lakukan.