Seharian Deni berada di rumah Mila. Ia membantu Mila membereskan semua pekerjaan Mila termasuk membersihkan kepingan kaca bekas bingkai Poto yang di banting Mila.
Pakaian Samsul pun semua Deni lipat dengan rapih seperti sedia kala.
Dari mencuci piring sampai memasak, Deni menemani kegiatan Mila hari itu.
Mereka berdua tertawa bersama sambil menikmati makanan yang baru saja di masaknya. Sambel pedas dan ikan gurame. Kesukaan Samsul, yang tak sempat di masak karena suaminya selalu sibuk dengan pekerjaan.
Mila begitu bahagia.
Andai saja Samsul. Sehari saja luangkan waktu bersamanya. Membantunya memasak, beres beres rumah dan makan berdua. Seperti yang Deni lakukan hari itu.
Tentu Mila sangat bahagia.
Tapi.
Suaminya tak pernah ada waktu untuknya. Dirinya hanya termenung sedih di kamar. Samsul tak pernah sedikitpun memberinya waktu agar bisa habiskan masa bersama.
Suaminya punya dunia sendiri. Dunia pekerjaan, yang membuat dia lupa. Di rumah ada seseorang yang sedang menunggu belaian kasih sayangnya. Di rumah ada seseorang yang mengharap cintanya. Di rumah ada Mila yang butuh sandarannya di kala sepi.
Menjelang sore. Jantung Mila mulai berdegup kencang.
Matanya terus mengarah pada ponsel yang teronggok di meja makan.
Sudah menjadi tradisi. Setiap sore. Samsul akan menghubunginya untuk mengatakan hal yang sama.
"Ma, Papa Lembur!"
Ya. Kata- kata itulah yang terdengar menjelang sore hari.
"Den. Lihat ponsel itu?"
"Memangnya kenapa Bu, dengan ponsel itu?"
Mila tersenyum menatap Deni.
"Sebentar lagi, ponsel itu berdering. Nah itu pasti dari suami Ibu. Seperti biasa Den. Dia akan mengatakan hal yang sama," kata Mila dengan wajah datar.
"Maksudnya?" tanya Deni penasaran.
"Setiap jam lima sore. Dia akan mengatakan. Papa ada lembur ... " ucap Mila sambil menoleh pada Deni dengan wajah menyedihkan.
"Jadi, setiap hari suami Ibu lembur?"
Mila mengangguk samar. Lalu tatapannya beralih pada jam dinding. Waktu sudah menunjukan pukul setengah enam sore.
Aneh.
Samsul belum menghubunginya.
"Den!"
"Ya Bu."
"Ibu takut!"
"Takut apa Bu?"
Mila lantas berlari ke luar rumah. Dari kejauhan ternyata Samsul sudah datang. Tak seperti biasanya. Sore itu tenyata Samsul pulang.
Antara senang dan panik melihat kedatangan suaminya. Mila berjalan tergesa kembali masuk ke dalam rumah.
"Den! Suamiku pulang Den! Bagaimana ini?" ujar Mila dengan jantung berdebar.
"Ibu jangan cemas. Lakukan apa yang Deni katakan tadi pagi, Ok!"
"Ok Den!" jawab Mila meski hatinya masih tegang dan takut.
Lekas Deni duduk di sofa begitupun dengan Mila.
Sebenarnya mereka berdua sama- sama tegang dan takut. Apalagi Deni. Tapi terpaksa Deni tahan rasa takutnya. Demi ingin mengetahui, seberapa besar kepedulian Samsul terhadap Mila.
Dan Deni ingin membuktikan itu.
Suara motor Samsul semakin dekat. Jantung Mila pun semakin tak karuan.
"Mama ... "
Suara itu. Biasa Samsul ucapkan jika akan memasuki pintu.
"Mama ... Papa pulang nih!"
Suara pijakan kaki Samsul semakin membuat dada Mila dah dig dug. Mila menghela nafas panjang berkali kali berusaha tenang.
"Ma!"
Langkah Samsul terhenti.
Di sofa duduk pemuda pemuda yang sangat tampan di samping istrinya.
Samsul menelan ludahnya.
"Tumben Papa pulang sore!" sambut Mila setengah gugup.
Belum sempat Samsul mengatakan sesuatu pada istrinya.
Deni langsung menyapanya.
"Om. Selamat sore." Deni beranjak dari duduknya sambil mengulurkan tangan pada Samsul.
"Eh, iya, se ... selamat sore. Kamu siapa, ya?" tanya Samsul sambil menatap Deni dari atas kepala sampai kaki.
"Saya Deni Om. Tetangga sebelah. Saya warga baru disini. Kebetulan tadi saya lihat Bu Mila terjatuh. Jadi saya bantu istri Om, sekalian berkenalan Om," jelas Deni sedikit berdusta.
Lantas Samsul mendekati Mila yang tengah duduk di sebelah Deni.
"Mama tidak apa- apa, kan? Mana yang sakit Ma. Coba Papa lihat!" tegur Samsul sambil meraba raba seluruh bagian tubuh Mila. Takut ada luka memar di tubuh istrinya. Membuat Mila risih dan berkata.
"Mama gak apa- apa Pa. Katakan sama Mama. Papa tumben bisa pulang sore," ucap Mila bernada ketus.
Samsul menatap heran wajah istrinya.
"Kok Mama ngomongnya gitu?"
Mila menunduk, meremas tangannya. Enggan menjawab pertanyaan suaminya.
"Ada satu berkas penting Ma ketinggalan. Jadi Papa mau ambil. Malam ini, Papa ada meeting sama Pa Wisnu. Tapi cuma sebentar kok Ma!" Kata- kata Samsul meluncur bebas tanpa beban.
Mata Mila mendelik ke arah suaminya.
"Jadi Papa pulang ke rumah, hanya untuk mengambil berkas, begitu?"
Samsul mengangguk pelan seraya menatap Deni yang masih duduk membisu.
"Papa janji. Selesai meeting. Papa langsung pulang, ya?" rayu Samsul sambil mengelus rambut istrinya dengan mesra.
"Baik lah Pa. Terserah Papa saja. Pulang malam juga tak apa. Malam ini Mama akan nonton sama Deni. Papa jangan khawatir ya, selesaikan saja pekerjaan Papa. Sekarang Papa jangan cemaskan Mama lagi, ya?" balas Mila tersenyum getir pada suaminya.
"Nonton?"
"Ya. Sekarang Mama bisa pergi kemana saja diantar Deni. Iya kan, Den?" ujar Mila. Matanya langsung mengarah pada Deni yang sedari tadi diam tak bersuara.
"Iya Om. Bu Mila orang baik. Deni siap mengantar istri Om kemana saja. Asalkan Bu Mila bahagia," tegas Deni walau hatinya sedikit tegang dan takut. Tapi terpaksa Deni lakukan itu. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Samsul.
Samsul mengusap kasar wajahnya. Keringat dingin menitik di dahinya. Nafas mulai sesak mendengar perkataan Deni dan istrinya.
Sekilas ia teringat perkataan Mang Ujang.
"Jangan!" Samsul langsung berdiri dari duduknya.
"Kenapa Pa?" Mila kaget.
"Mama kalau mau nonton sama Papa saja, ya?" Wajah Samsul berubah pucat.
"Papa ini bagaimana, sih? Kan Papa ada meeting di kantor. Udah sana. Kasian kan, Pa Wisnu nungguin Papa," ucap Mila dengan nada menyindir.
"Itu Ma. Anu, maksud Papa. Kalau mau nonton. Papa ikut, ya?"
"Dih! Gak usah Pa!" sentak Mila.
Mila lalu berjalan tergesa menuju ke kamarnya sambil berteriak.
"Pa. Cepat ambil berkas yang mana yang ketinggalan. Mama mau pergi nih!" pekik Mila sambil tersenyum geli melihat sikap suaminya.
Begitupun dengan Deni.
Deni hanya terdiam. Meski ia harus manahan tawa melihat reaksi Samsul yang mulai cemburu. Lelaki seperti Samsul yang tak kenal waktu dan selalu mengabaikan istrinya. Harus di beri pelajaran.
Samsul melangkah mengikuti Mila masuk ke kamar.
"Ma. Mama jangan macam- macam, ya. Sama Papa," bisik Samsul bicara di telinga Mila sambil mencengkram tangan istrinya.
"Apaan sih, Mama kan hanya ingin nonton Pa. Mama bosan di rumah. Lagipula Papa mana ada waktu ngantar Mama nonton ke bioskop," balas Mila sambil menepis kasar tangan Samsul.
"Tapi mengapa harus nonton sama pemuda itu Ma. Kan banyak teman Mama. Apa Mama gak malu, jalan berdua sama berondong," ujar Samsul. Matanya berkilat menatap Mila.
"Memang kenapa kalau Mama jalan sama berondong?" tantang Mila sambil menatap balik tajam wajah suaminya.
"Iya, maksud Papa. Mama kan bisa nunggu Papa ... " nyali Samsul menciut melihat kilat amarah yang tergambar di wajah istrinya.
"Pa. Kapan Papa menepati kata- kata Papa. Mama bosan Pa. Mulai sekarang. Kerja saja terus Pa. Jangan hiraukan Mama lagi. Mama capek!" sentak Mila.
Mata Mila berkaca setelah mengatakan itu. Perih batinnya. Suaminya tak pernah mengerti sedikitpun perasaannya. Mila tak berharap banyak dari suaminya. Ia hanya ingin sedikit perhatian dari Samsul. Sebagaimana para suami di luar sana, selalu mengajak istrinya jalan- jalan atau pergi berdua ke suatu tempat mencari tempat yang sejuk untuk melepas lelah.
Tapi semua itu tak pernah ia dapatkan dari Samsul.
Pria itu terlalu mencintai pekerjaannya ....