Part 1
Di dalam kamar, Ayila dan Maryani Mina amat gelisah.
Dengan sendu Aiyla menatap bayi mungilnya yang baru beberapa bulan lalu ia lahirkan, amat pedih rasanya berpisah dengan orang yg begitu di cintai.
Karena titik paling mencintai adalah mengiklaskan, iklas berpisah dengan anak memang bagian paling rumit dan menyakitkan bagi seorang ibu.
'pintu terbuka dengan keras'
"Cepat bawa anak kita Aiy, dan Mina kaupun harus ikut, kau sudah berjanji" ucapnya dengan mengebu-gebu.
"Afra!!, Adapa ini? kenapa kau memuntahkan darah sebanyak ini, siapa yang berbuat ini padamu?" dengan rasa terkejut melihat suaminya berlumuran darah.
"Biar ku gendong bayimu" mengambil sang bayi dari gendongan Ayila.
"kau bopong suamimu, sepertinya sudah saatnya", timpalnya lagi.
Aiyla pun membopong suaminya pergi kearah tujuan awal dengan penuh tanda tanya akan keadaan sang suami.
"Akan ku jelaskan nanti, untuk sekarang kita harus cepat keperbatasan" dengan sendu Aiyla memapah suaminya.
"Ayila" panggilnya dengan sendu.
"jangan banyak bicar dulu, aku tak sanggup, ku mohon jangan berfikir yang tidak-tidak" ucapnya dengan air mata yang tak hentinya mengalir,, menatap sang suami dengan penuh raut sendu.
"demi anak kita, kita pasti akan bersama kelak".
Merekapun berjalan menembus pekatnya kegelapan di hutan, keluar dari istana megah demi menyelamatkan penerus Zyan. Sorak serempak tapakan kaki kuda mulai terdengar dari arah belakang, pertanda pemburu suruhan marga Wolando mulai mengejar.
Gerbang pembatas dunia lainpun mulai terlihat di depan sana, namun tinggal beberapa langkah lagi para pemburu mencekal mereka, dengan terpaksa Afraya yang terkulai lemas memaksakan energinya untuk melindungi kedua wanita yang iya sayangi.
"Pergilah Aiy.. segera temani anak kita, akan ku susul kau nanti" sembari menatap sang isyti dengan keyakinan.
"biarkan ku selesaikan mereka" pinta Afraya kepada istrinya.
"Apa maksudmu? tak mungkin ku biarkan suamiku bertahan melawan puluhan pemburu,Tidak Ray.. aku tidak mau".
Kini Aiyla menangis tak henti melihat sang suami mulai bergulat dengan para pemburu. Satu persatu pemburu mulai tumbang begitupun dengan Afraya yang kian lemas, namun mengingat ada dua wanita yang ingin di selamtkannya, semangatpun kian bertambah, hingga para pemburu berhasil di bereskannya.
"Berhentilah menangis, semua akan baik-baik saja, kemana istriku yang kuat? tetap tersenyum, anak kita sedang mananti di depan sana", ucap sang suami dengan menggebu gebu.
Mendengarkan perkataan sang suami, Aiyla bangkit membantu suaminya agar segera menanamkan permata biru itu pada anaknya.
Kini mereka berada tepat di perbatasan alam yang mereka yang berbeda.
"Ini dia gerbangnya, segerakan" pinta Mina.
Ayila kembali mengambil sang anak, menatapnya untuk perpisahan mereka yang entah kapan akan bertemu kembali.
"Anakku sayang, maafkan ayah dan bunda tak bisa melihat pertumbuhanmu, ketahuilah anakku.. " ucapannya terhenti karena tenggorokan yang amat perih menahan tangis.
"ayah dan bunda sangat mencintaimu, kau harus kuat seperti ayahmu, tumbuh yang sehat sayang, jadilah anak yang baik, makan yang teratur, Kau permata bunda satu-satunya".
Aylapun menciumi anaknya bertubi-tubi.
"Pesan Ayah sama seperti ibumu" Afrayah pun juga menciumi anaknya untuk perpisahannya dengan air mata yang menetes tepat di pipi sang bayi yabg sedang tertidur pulas.
Permata biru itupun perlahan dimasukkan kedalan tubuh mungil bayi yang masih berusia tujuh bulan tersebut, dengan air mata berlinang meratapi anaknya yang akan ia lepas ke duniannya yang baru.
"Berikan padanya nama yang bagus Aiy"
"Alfarah Arayana Zyn namaku dan namamu Ray" sambil memeluk dan mengecup anaknya.
"Bii.. tolong jaga anakku, jangan biarkan ia menjadi anak nakal, tapi turuti apa yang dia mau, tolong jagakan dia baik-baik"
lagi dan lagi Aiyla menangis membuat matanya makin sembab.
"pasti.. pasti akan ku jaga dengan baik".
"Cepatlah melintas Mina! sebelum fajar tiba, karena tak lama lagi orang tuaku dan kakekku nenekku akan segera tiba".
Perlahan Mina melangkah di balik gerbang pembatas, dan bayi yang seolah tau ingin berpisah dengan ibunya kian menangis tiada henti, karna tangisannya, sang ayah dan ibunyapun tak tega melihat putrinya pergi. Afraya hanya bisa memeluk sang istri, menengkannya dengan penuh tabah walau ia sendiri juga merasakan sakit.
Terdengar suara kereta dan rombongan kuda mulai mendekat, pertanda Marga Wolando akan segera tiba.
"Aiy, tidak bisakah kau ikut bersama putri kita? Jaga dia, aku tak tega melihatmu seperti ini".
"Maaf tuan itu tak bisa, yang bisa keluar hanya salah satu dari mereka, itulah ketetapannya, inilah pertukaran nyawanya, tubuh Aiyla di sana akan berhenti berfungsi dan sukmanya tetap di sini, jika tidak seperti itu ,Aiyla tak hidup di sana dan tak di terima pula di sini, ia di tetapkan sebagai hukum alam, dan anak kalian juga akan mati, janji harus tetap di bayar" tegas mina.
"Arggghh" Afraya merasa tak terima hanya bisa berteriak histeris.
"Kenapa? kenapa harus serumit ini?".
"Ray, cukup!! Aku tak menyesal, ini sudah yang terbaik, kita akan bertemu dengan Ara suatu saat nanti".
"Pergilah bii, cepaaat!" teriak histeris Ayla, dan Mina beserta bayi dalam gendongannya pun melintasi gerbang dan menghilang.
Selang beberapa menit perginya Mina akhirnya para rombongan marga Wolando yang tak lain nenek, kakek dan kedua orang tua Afrayah pun tiba, dengan raut muka amarahnya menatap sengit anak dan menantunya.
"Zayn!! kau telah melanggar peraturan" teriak ayah dari Alfarah yang penuh dengan amarah.
"Berhenti! kumohon jangan apa-apakan suamiku, tolong jangan ganggu anakku, biarkan aku yang bertanggung jawab".
Seorang Ibu sekaligus istri berdiri tegap melindungi keluarganya.
"Karna hal ini terjadi kembali, maka kalian berdua harus di asingkan, dan manusia yang sudah memutuskan untuk menjadi bagian dari sini, harus di hukum terlebih dahulu", ucap sang kepala marga Wolando yaitu kakek dari Afraya dengan tegas.
"jika ingin menghukum, hukumlah aku!" tegas Afraya dengan amarah yang tersulut.
"Afra! hukuman ini untuk manusia yang melanggar" balas sang ibunda.
"Apa hukumannya?" tanya Ayla.
"Mati".
"Omong kosong apa ini haa!" emosi Afraya sudah tak terbendung lagi.
"Peraturan tetap peraturan, dan kau memilih itu" ucap sang kepala marga.
"Karna kematianmu adalah awal mula kehidupan yang kau pilih sendiri sebagai marga Wolando dan akan menetap sebagai nyonya Zyn".
"berapa lama itu berlangsung?" kini Afraya kembali bertanya.
"Seratus satu tahun, kau harus menunggu penyelesaian hidup istrimu di dunianya lalu kembali kepadamu".
"ini.. tidak mungkin" kini Afraya jatuh berlutut kala mendengarkan penuturan yang menyakitkan dari kakeknya.
"Ray Bersabarlah, kita akan bersatu lagi aku akan kembali"
"Aiylaaa!!".
"Kenapa seperti ini? kenapaaaa!!"
"Aaiiyylaaaa!!" histeris Afrayah melihat sang istri mulai menghilang.
Kini Aiyla pun hilang bagaikan debu. Semua akan bermula kembali sampai nanti saat pertemuan awal mereka terjadi kembali.