'Kata mereka, garis kehidupan masing-masing orang sudah ditentukan.'
"Kalian semua ini, ya ... nggak pernah tahu gimana rasanya jadi gue!" ruah El menggebu-gebu. Sepasang mata gadis itu berkaca-kaca, hampir gentar berkat tatapan keji semua orang yang mengelilinginya. "Udah pasti, sih, mana ada yang mau gantiin posisi gue?"
'Menjadi pecundang yang terus bersembunyi seperti ini ... apa sudah ditentukan juga?'
"Apa kalian pikir gue masih bisa bahagia kemana-mana setelah kehilangan orang yang gue sayang? Bahkan waktu dia mati di depan mata gue?"
Pecah. El tak sanggup lagi menahan banjir air mata yang sudah membasahi pipi. Sudahlah, biarkan ini berjalan sesuai dengan suara hatinya, persetan dengan ocehan orang-orang itu.
"Gue tahu kalian sayang sama Ray ... apalagi gue? Gue cinta sama dia sampai rasanya gue yang pantes buat mati. Gue bener-bener inget separah-parahnya tatapan tenang dia waktu terakhir kali lihat gue, badan lemah di atas jalan itu ... senyum terakhir buat gue ... sampai mulut dia yang masih sempet ngucap kata maaf!"
'Kupikir pedang mereka pun tumpul.'
'Tapi aku malah tersungkur, tergores pedang tajam.'
El berkali-kali menunjuk dada dengan tegas sebagai bentuk keseriusannya. "Semuanya masih ber-efek di gue! Setiap hari kejadian itu terulang di kepala, nggak ada satu tempat pun yang bisa hilangin itu semua! Gue nggak pernah bisa tidur nyenyak, setiap lihat jalan pun dada gue sesak."
"Di hati gue ini cuman ada rasa bersalah setiap kali ingat Ray!"
"Gue juga nggak rela sama kayak kalian! Percuma kalian minta ganti rugi ke gue, gue bisa apa? Gue harus ngadu apa ke Tuhan? Minta balikin Ray ke dunia? Atau putar waktu sebelum Ray kenal gue?"
'Aku ingin mati menyusulmu, tapi aku takut kamu tak bisa bahagia setelah melihatku lagi.'
Kepala El perlahan menunduk. Tangannya yang semula mengepal pun kini mengudar, mencoba tak terlalu larut dalam kepedihan. Ia perlu sedikit menenangkan isak tangisnya agar tetap tersampaikan jelas di telinga masyarakat sekolah.
"Jauh sebelum kalian dateng nyerbu ... gue udah puluhan kali hukum diri gue sendiri. Kalian salah kalo mikir gue nggak mau mati aja. Tapi setelah gue punya niat buat ngelakuin itu ... selalu ada orang yang jauhin pisau itu dan peluk gue dari belakang."
"Jadi cukup masuk akal, kan, kenapa gue bisa bertahan dari kalian sampai detik ini?"
'Ray, di sini tak ada yang ramah lagi, semuanya asing dan dingin. Aku ingin pulang.'