Ketiganya melihat isi chat yang baru saja masuk di ponselnya Zayyan dan itu mematahkan asumsi mereka kalau Gilang ternyata bukan mau ajak ribut.
"Suudzon aja lo Yud!" sahut Farrel.
"Ya kan bisa aja itu cuma kedok biar Zayyan mau datang, pikiran orang gak ada yang tau!" sebenarnya udah kalah malu karena suudzon kayak gini, tapi masak iya mau ngaku? kan belum tentu juga Gilangnya memang gak mau ngajak ribut.
"Udahlah jangan pada ribut, dh selesai belom? kalau udah kita pulang!" Zayyan melerai.
***
Setelah pulang dari warung tempat nongkrongnya, Zayyan langsung tertidur pulas dan baru terbangun malam hari.
"Mau kemana rapi banget?" tanya Bunda di meja makan, saat ini Zayyan sedang makan di meja makan dengan bunda kesayangannya.
"Mau ngapel lo ya? tumben mau datang ke rumah cewek," sahut sang kakak, Clara Daviandra mahasiswi semester 5.
"Apaan sih! mau ketemuan sama kawan gue dan yang pasti bukan cewek!" Zayyan menyuap nasi dengan malas.
"Yah gue kira udah ada yang lo seriusin!" tambah kakaknya menggoda.
Dia tau betul kalau banyak yang mau deket sama adiknya tapi dia masih bingung kenapa adiknya gak pernah seriusin satupun cewek yang sempat dekat sama dia.
"Mau gimana lagi, mereka sendiri gak pernah ada yang serius mau sama gue! semuanya karena aku populer aja disana." Zayyan menggelengkan kepala.
Bunda cuma bisa tertawa melihat kedua anaknya ini.
"Ayah kapan pulang bun?" tanya Zayyan tiba tiba.
"Belum tau juga sih, kayaknya ayah bakal lama deh di sana," jawab Bunda dengan santai sambil menyendok nasi dalam piringnya.
"Za mending lo cari universitas di sana aja, biar ayah ada kawan tinggal di sana dan bunda juga bisa pindah ke sana kalau mau," usul kakaknya, mumpung Zayyan udah mau tamat.
"Ah gue gak cocok sama cuaca di sana, apalagi waktu musim salju! bisa beku gue!" kakak dan bunda menggelengkan kepalanya.
"Tapi kan kalau misalnya kontrak Ayah di terima di sana bunda bakal pindah, ya kalau kamu sih terserah mau cari univ di sana dan ikut dengan bunda atau cari univ di indo tinggalnya sama Clara." jawab bunda.
Suaminya sedang membangun bisnis di Belanda, jadi kemungkinan mereka akan pindah ke sana jika kontraknya di sepakati.
"Kenapa jadi buah simalakama gini, ikut ayah gak cocok sama cuaca kalo tetap tinggal di sini, gak cocok sama kakak!" Kakaknya hampir kesedal mendengar itu.
"Enak aja! yang ada gue kali yang gak cocok sama lo, bisa bisa pindah ngekos gue kalau satu rumah dengan lo!" jawab Clara sambil terkekeh pelan.
Mereka menyelesaikan makan malam dengan tawa dan canda, keharmonisan keluarga tetap terjaga walaupun tanpa Ayah bersama mereka.
Selesai makan Zayyan langsung pamit pergi keluar karenna dia udah punya janji sama Gilang di halte dekat sekolah mereka.
*
"Udah lama?" begitu datang ke halte ternyata Gilang udah duduk di sana, sendirian.
"Engga! baru sampek juga guej, jawab Gilang dengan ramah tapi seketika ekspresinya kembali datar seakan menhan sesuatu untuk di bicarakan.
"Yaudah langsung aja kali, mau ngomongin apa ni?" Zayyan menaikkan sebelah alisnya, dia menyorot tajam Gilang dengan tatapannya.
"Gini ya Za! gue gak pernah mau cari masalah sama lo walaupun lo sering gangguin Dhita!" Zayyan memperhatikan sambil melipat tangannya di dada.
"Tapi kali ini kayaknya lo berlebihan Za, jadi gue minta lo buat jauhin aja Dhita mulai sekarang!" suaranya masih sopan tapi raut wajahnya mulai tidak senang.
Dia udah sering liat Zayyan berdebat dengan Dhita dan itu sangat mengganggu dirinya, tapi dia tidak bisa berbuat apa apa karena tidak punya hubungan spesial apapun dengan Dhita.
"Memangnya lo siapanya Dhita nyuruh gue ngejauh dari dia?" Zayyan menyecap lidahnya saat akan tersenyum, Dhita paling kesal kalau udah liat senyuman Zayyan yang ini.
"Gue tau kalau gue bukan siapa siapanya dia, tapi lo juga harus sadar dong kalau dia gak pernah suka sama lo!" nada bicara Gilang mulai tinggi, mulai panas ni dadanya.
"Tapi gue pacarnya sekarang dan yang berhak nentuin siapa cowok yang gak boleh deket sama dia untuk sekarang ini itu seharusnya gue, bukan lo! Paham?" Zayyan mengambil langkah maju hingga wajahnya sangat dekat dengan Gilang.
Zayyan bukan orang yang bisa di tekan seperti itu, selama dirinya merasa tidak bersalah dia tidak akan pernah mau mundur dan menyerah! walaupun itu untuk sesuatu yang sebenarnya belum tentu dia inginkan.
"Lo gak berhak karena dia gak pernah nembak lo!" tidak tahan lagi, Gilang menolak bahu Zayyan dengan kedua tangannya.
"Kenapa gak lo tanya aja sendiri sama Dhita dan kalau dia emang gak suka sama gue, gue tunggu kabar baiknya saat dia mutusin gue! Dan ya, kalau lo emang mau banget sentuh gue Lang, gak gini caranya!
Cari alasan yang lebih kuat biar gue gak beban pas balas pukulan lo! karna gue bukan tipe cowok yang suka berantam tanpa alasan yang jelas Cuma untuk nunjukin kehebatannya." Zayyan menepuk pelan bahu Gilang.
Memang dia tidak senang waktu Gilang mendorongnya, tapi dia gak mau buang keringat untuk sesuatu yang gak penting. Lagipula yang mereka bahas saat ini udah jelas kok, kalau Gilang gak punya hak atur atur seberapa dekat hubungannya dengan Dhita.
Bukan karena Zayyan yang memang suka dan pengen pacaran dengan Dhita. tapi karena status mereka saat ini yang udah jelas makanya dia gak mau di tekan oleh orang lain apalagi dia gak punya hubungan spesial apapun sama Dhita.
Gilang yang mendengar kata kata itu Cuma bisa mengepalkan tangan dengan sangat kuat sambil menggertakkan gigi. Dia gak tau harus melampiaskan amarahnya ini ke siapa.
"Udahkan? gue cabut luan ya? hati hati lo!" Zayyan tau Gilang bukan tipe cowok pecundang kayak yang dia sebutin tadi, jadi dia biarin tu orang sendiri biar dia bisa menenangkan diri.
Di tinggal sendirian oleh Zayyan, Gilang meluapkan emosinya pada tiang listrik di dekat halte, entah mengapa rasanya sangat kesal saat ia mendengar pengakuan Zayyan yang mengatakan kalau dia adalah pacarnya Dhita.
Padahal sejak awal dia mulai mendekati Dhita, Zayyan tidak pernah masuk dalam daftar dari lusinan saingannya yang ingin mendekati Dhita tapi siapa sangka kata kata pengakuan seperti itu akan keluar dari mulut seseorang seperti dia.
"Dhita! pernahkah kau mengerti perasaanku?" gumamnya pelan setelah meluapkan segala emosinya pada tiang itu. Tiang listriknya gak apa apa tapi tangannya udah mulai bengkak karena mengirim puluhan pukulan ke tiang itu.