Chapter 9 - DEBARAN JANTUNG

"Yah, kalau aku melakukan hal ini, pasti aku akan mendapatkan jawaban dari alasan kenapa hanya wanita ini yang bisa menyalurkan cintanya dengan sentuhan padaku. Aku akan ..." Aiden berkata di dalam hatinya, sambil terus mendekatkan bibirnya pada Amelia.

"TIDAKKK! Ciuman pertamakuuuuu!"

Buk!

Tanpa sadar, Amelia pun menhantam kepalanya pada wajah Aiden yang menyebabkan hidung mancung pria tampan itu pun sontak berdarah.

"Aw!" Aiden terkejut saat memegang hidungnya yang ternyata berdarah.

"Aiden. Kau tak apa?" Amelia buru-buru mendekati Aiden dan melihat apa yang sudah dia lakukan dengan cemas. Namun, dari sudut pandang Jane, entah kenapa mereka berdua jadi terlihat lebih natural dari awal tadi.

"Sial! Mereka berdua memang benar-benar menjadi pasangan. Sekarang aku sudah tak bisa lagi mencari titik kesalahan dari ..." tiba-tiba saja, Jane pun teringat sesuatu. Sesuatu yang pasti tak akan dilupakan oleh Amelia begitu saja.

"Amelia, bagaimana kabar Leon? Apakah ... Dia baik-baik saja?"

Deg!

Saat mendengarkan nama Leon disebut, Amelia sontak terdiam. Wajahnya yang sedari tadi sedang cemas melihat darah pada hidung Aiden, berubah dalam sekejap.

Ada raut wajah yang berbeda, yang belum pernah Aiden lihat sebelumnya dan tentu saja Aiden tak bisa mengartikan raut wajah Amelia itu menandakan apa.

"Ada apa dengan wanita ini? Kenapa ekspresinya langsung berubah ketika temannya menyebut nama Leon? Siapa itu Leon?" Aiden tanpa sadar mengerutkan dahinya. Entah kenapa, Aiden ingin mengetahui apa yang terjadi di antara Amelia dan pria yang baru saja disebut oleh Jane itu.

"Huh!?" Amelia perlahan berbalik dengan tangannya yang masih berbekas darah Aiden. "A-apa maksudmu?"

Bagaimana mendapatkan jackpot, Jane sudah tahu kalau Amelia pasti akan termakan kata-katanya jika dia menyebut nama pria itu.

"Kau tak tahu? Dia baru saja pindah ke Indonesia. Katanya sejak kemarin. Kau ... Belum bertemu dengannya? Hahaha, kasihan sekali yah Leon. Padahal ... Kau adalah satu-satunya wanita yang dulunya selalu berada di sampingnya, masa' kau hilang kabar dengannya? Oh, atau jangan-jangan ... Kau sengaja menghilangkan kabarmu karena insiden itu, yah!? Oh astaga, kau sangat ma-"

"Jane hentikan!" Pekik amelia tiba-tiba, dengan tatapan yang mengintimidasi. Wanita itu pun mengalihkan pandangannya pada iden, sambil memaksa tersenyum padanya. "Aiden, ayo kita pulang!" ajaknya.

Aiden pun mengikuti saja dengan anggukan. Dan pada akhirnya, mereka berdua pun pergi dengan posisi Jane yang masih terdiam dan terintimidasi di tempatnya.

"Sial! Kurang ajar kau Amelia! Berani-beraninya kau memperlakukan aku seperti sampah? Kau tunggu saja! Aku pasti akan melakukan apapun yang dibutuhkan untuk membuatmu terlihat salah di mata siapapun. Aku bersumpah!" kata Jane, sambil menatap ke arah perginya Amelia dan Aiden yang perlahan-lahan semakin menghilang sosoknya.

Amelia dan Aiden pun naik ke atas mobil. Mereka sama sekali tak berbincang dan Aiden pun tak bertanya apapun.

Dengan tatapan sedih sekaligus merasa bodoh, Amelia terus saja melihat ke luar jendela mobil.

Hamparan ladang yang membentang luas sepanjang matanya memandang, membuat Amelia hendak menitikkan air matanya.

"Huft~" wanita itu pun berusaha menguatkan dirinya sendiri. "Bodoh kau Amelia! Sudah berkali-kali wanita gila itu mengacaukan kehidupanmu. Tapi, satu kata saja darinya tenang pria itu, maka kau menjadi seperti ini? Bodoh! Benar-benar bodoh!"

Amelia hanya bisa mengutuk kebodohannya sendiri dalam hati. Pada saat yang sama, Aiden pun terus melirik ke arahnya tanpa henti.

"Kenapa wanita ini? Apakah pria itu pacarnya? Atau mantannya?" Aiden sama sekali tak bisa melepaskan pertanyaan itu dari kepalanya. Dan pada akhirnya, mereka pun telah tiba di rumah Aiden kembali.

Brak!

Amelia membuka pintu mobil itu, sembari turun tanpa mengatakan sepatah kata pun sebagai penjelasan.

Melihat hal itu, Aiden langsung menghalangi langkahnya. "Mau ke mana kau?" tanyanya, sambil menggunakan tubuh kekarnya sebagai penghalang.

Amelia perlahan mengangkat pandangannya yang tadi sedang melihat ke bawah. "Ada apa? Apa yang mau kau katakan?"

Dingin. Tatapan Amelia benar-benar dingin saat itu. Padahal dia selalu mendengar perkataan bahwa tatapannya itu sangat dingin dari semua wanita yang mengejar dirinya.

Sekarang, dia bisa mengetahui tatapan dingin itu seperti apa dari yang ditampilkan Amelia di hadapannya.

"Apakah ... Kau baik-baik saja?"

"Hah!?" Amelia pun tersenyum paksa. "Apa yang mau kau katakan Tuan muda? Minggir, aku mau mandi dan melanjutkan terapi kita. Cepatlah!" Amelia berusaha untuk menepis tubuh Aiden dari hadapanya, namun tubuhnya sama sekali tak mau bergerak dari sana.

"Kenapa pria ini tak mau minggir?" Amelia pun menatap tajam ke arahnya. "Minggir Aiden! Ada apa denganmu, hah?" Nada bicaranya pun perlahan meninggi.

Aiden tahu, memang semua itu bukanlah urusannya, tapi entah kenapa, dia sangat ingin mendengarkan keluh kesah dari Amelia, dan menjadi sesuatu yang bisa dia andalkan.

Amelia yang sudah tak tahan lagi dengan perilaku Aiden itu, sontak memukul tubuh Aiden dengan keras, namun pukulan itu sama sekali tak dirasakan olehnya. "Aiden, awas! Aku bilang awas, ya awas!"

"AIDEN!" teriaknya yang sontak membuat matanya terbelalak, karena saat itu Aiden tanpa sadar memeluk tubuhnya, yang langsung membuat air mata Amelia pun pecah saat itu.

"Hic, Aiden, aku bilang awas! Awas! Hic, hic!" Amelia terus saja berusaha melepaskan tubuh Aiden yang saat itu memeluknya lembut.

Pelukan yang terasa sangat nyaman itu, malah membuat Amelia semakin menjadi dalam tangisannya. "Huwaaa! Hic, hic!" Tanpa sadar, dia pun mencengkeram tubuh Aiden, sambil mengeluarkan seluruh perasaan yang sejak dulu membuatnya tak bisa bernapas dengan lega.

"Shhh, shhh!" Tanpa mengatakan apapun, Aiden hanya mengelus bahu Amelia, berharap wanita itu akan segera merasakan ketenangan dan selesai menangis.

Hingga beberapa saat dalam posisi yang terlihat mesra itu, Amelia pun tersadar dan langsung mendorong tubuh Aiden yang sedang dia peluk dengan erat itu.

"Aaaaaa!" teriaknya karena kaget. Aiden sontak ikut terkejut karena teriakan yang tiba-tiba itu.

"Hey, ada apa?" tanya Aiden, sambil menaruh kedua telapak tangannya pada pipi Amelia. Hal itu pun sontak membuat Amelia malu hingga dia pun memerah, dan tanpa sadar kembali memberikan sundulan pada wajah Aiden.

Buk!

"Awww!" Aiden kembali memegang hidungnya yang bahkan belum sembuh tadi. "AMELIA! Apakah kau sudah gila!? Lihat apa yang kau lakukan! Luka yang tadi bahkan belum sembuh. Sekarang ... Kau malah membuat luka kedua?" Aiden benar-benar marah saat itu.

Dengan kemarahan seperti itu, Amelia pun hanya bisa meminta maaf karena dia yang refleks dan belum terbiasa di dekat Aiden.

"Oh astaga! Ma-maafkan aku! Maafkan aku!"

"Terus sekarang, apa yang mau kau lakukan? Hah!?" tanyanya, sambil menunjuk ke arah hidungnya yang berdarah.

Amelia pun sejenak berpikir, dan pada akhirnya sebuah ide mendatanginya.

"Aha!"

"Apa?" Aiden mengerutkan dahinya.

"Sini, ikut aku! Aku akan tanggungjawab!" Amelia sontak menarik tangan Aiden dan membawanya masuk ke dalam rumahnya.

Deg!

Deg!

Deg!

"Apa yang ingin dia lakukan?" tanya Aiden, dengan tatapan matanya yang melihat ke arah gandengan tangan Amelia itu.