Setelah mengunjungi makam ibunya, Almira dan Medina sedang duduk di sofa ruang tengah, untuk beristirahat.
Baru saja ia akan menyenderkan tubuhnya ke sofa, Rita sudah memanggilnya.
"Almira ada tamu tuh," ucap Tante Rita pada pada Almira dengan raut wajah sumringah.
"Siapa Tan?" tanya Almira pada tantenya dengan raut wajah bingung.
"Temen kantor kamu kayanya," sahut Tante Rita.
Almira segera bangun dari duduknya dan segera menemui tamu yang ada di ruang tamu, semetara itu Medina juga bangun dari duduknya untuk membantu Tante Rita memberikan minum kepada tamu yang datang ke rumahnya untuk bertemu Almira.
Ketika Almira menghampiri orang yang ada di ruang tamu ia begitu terkejut karena yang datang bertamu ke rumahnya adalah orang nomor satu di perusahaannya dengan asisten pribadinya. Dua pria tampan, putih, mancung, dan gagah tengah duduk tegap di sofa ruang tamu.
Almira sedikit tersenyum simpul meskipun ia tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. "Pak Bian," ucap Almira sambil bersalaman dengan Fabian pimpinan nomor satu di perusahaan tempat ia bekerja.
Fabian segera bangun dari duduknya lalu berdiri menyalami Almira. "Iya, Mira saya turut berdukacita atas kepergian ibu Alda ya, semoga kamu bisa kuat dan tabah menghadapi semua ini," ujar Fabian sambil mengelus punggung Almira.
Almira memang dikenal dekat dengan pimpinan perusahaanya, karena sumbangsihnya untuk perusahaan cukup besar, ia juga merupakan manager muda yang berprestasi sehingga banyak para staf yang mengidolakan sosoknya. Almira yang dikenal sebagai sosok yang ceria dan supel membuat siapa saja cepat akrab dengan dirinya.
Almira menitikkan air matanya, meskipun saat awal ia berusaha untuk tetap tegar. "I-iya Pak ... Terima kasih atas waktunya karena telah datang ke sini dan memberikan semangat kepada saya ..." lirih Almira sambil menatap mata Fabian.
Matanya berkeling. "Saya turut berdukacita ya Mbak," ucap David asisten pribadi Fabian.
"Pak David ... Iya makasih Pak ..." balas Almira sambil bersalaman dengan David.
Fabian sedikit timbul perasaan merasa bersalah karena baru bisa menemui dan memberikan semangat kepada Almira sekarang. "Mira saya dan David ingin meminta maaf sebelumnya, karena saya baru bisa mengunjungi kamu sekarang, kemarin saya dan David sebenernya sudah dalam perjalanan mau kesini, namun ada pekerjaan mendadak yang tidak bisa di tinggalkan, sekali lagi saya minta maaf," ucap Fabian sambil menatap mata Almira.
Ia memberikan sedikit senyuman manisnya. "Iya pak enggak apa-apa, saya mengucapkan terimakasih banyak kepada bapak dan pak David karena sudah repot-repot meluangkan waktunya untuk datang ke sini," jawab Almira dengan lembut.
Ketika mereka sedang berbincang, Medina datang dengan menyuguhkan beberapa makanan dan juga minuman untuk Fabian dan David. "Silakan dimakan makanan dan minumannya Pak," ucap Medina sambil tersenyum menutupi kesedihannya didepan Fabian, David, dan Almira.
Ia tersenyum simpul. "Saya permisi kebelakang dulu," lanjut Medina.
Terpampang senyum di wajahnya. "Iya silahkan," sahut Fabian sambil tersenyum ramah ke arah Medina.
Almira dan Fabian saling bertatapan, sementara itu David hanya menyaksikan keduanya. Terpampang senyum di wajahnya. "Oh iya, mana suami kamu? Kamu meminta izin libur satu minggu kepada saya bukannya untuk melangsungkan acara pernikahan kamu ya?" tanya Fabian dengan spontan karena ia memang benar-benar tidak mengetahui suatu hal besar yang sudah terjadi.
Almira melirik ke langit - langit rumahnya. "Pernikahan saya dengan Agya, calon suami saya batal, Pak," sahut Almira yg menahan air mata sakit hatinya untuk tidak keluar.
Sontak jawaban dari Almira pun membuat Fabian dan David terkejut.
Ekspresi di wajahnya kebingungan sekaligus terkejut. "Batal?" tanya Fabian yang sangat keheranan.
Air mata mengalir di pipinya. "Iya Pak, calon suami saya membatalkan pernikahan satu hari sebelum pernikahan kami dilaksanakan Pak," jelas Almira sambil mengusap air mata yang mendarat di wajahnya.
Fabian merasa kasihan dengan apa yang dikatakan oleh Almira, Managernya. Iya hanya dapat menatap kosong perempuan yg ada dihadapannya itu, ia begitu kasihan melihat nasib Almira yang harus merasakan kepedihan dalam hatinya, batalnya pernikahan ditambah lagi kepergian ibunya yang pasti membuat Almira sangat sedih dan terluka.
"Semoga bisa kuat ya Mbak, saya yakin pasti Mbak bisa bangkit dari ujian ini," ucap David yang merasa iba mendengar kabar buruk yang menimpa rekan kerjanya itu.
"Saya yakin kamu bisa melewati semua ini," ujar Fabian sambil mengusap punggung Almira.
Ia mengusap air mata yang jatuh di wajahnya.
"Iya Pak sekali lagi saya sangat berterima kasih kepada Pak Bian dan Pak David yang sudah memberikan dukungan dan menguatkan saya," sahut Almira sambil menatap mata Fabian dan David.
Melihat kondisi Almira yang pucat, lemah, pendiam, hingga kantung matanya sembab, membuat Fabian merasa iba dengan kondisi Almira, terlihat jelas bagaimana Almira juga sangat memprihatikan dan tidak seceria biasanya, semua itu membuat Fabian begitu khawatir akan kondisi Almira dan ia berniat ingin membawa Almira ke psikiater agar Almira dapat menguatkan mentalnya dan menyembuhkan trauma didalam hatinya akibat batalnya pernikahan yang di alaminya. Karena ia tahu bagaimana beratnya hidup Almira saat ini.
Ia menatap teduh mata Almira. "Mira..." ucap Fabian sambil menatap mata Almira, Managernya.
Matanya menatap Fabian yang memanggilnya. "I-iya Pak?" sahut Almira dengan tidak bersemangat.
"Saya mau ajak kamu ke Psikiater agar kondisi kamu lebih baik baik secara fisik maupun mental," jawab Fabian sambil menatap mata Almira.
Sementara itu Almira dan David cukup kaget mendengar tawaran yang diberikan Fabian kepada Almira karena sebelumnya Fabian di kenal sebagai sosok yang jaim, cuek, dan tidak memperdulikan kondisi seseorang.
Mulutnya setengah menutup. "Psikiater?" tanya Almira dengan heran mendengar ajakan dari Fabian, pimpinan perusahaanya.
Fabian mengerutkan keningnya karena melihat dua anak buahnya saling bertatapan dan menunjukkan ekspresi terkejut. "Iya saya mau bawa kamu ke Psikiater, Mira," celetuk Fabian sambil menatap mata Almira.
Ia mengerutkan dahinya. "Kamu kenapa kayak orang kaget gitu?" tanya Fabian ketika melihat David.
"Tumben amat Pak, saya yang sering sakit dan gak enak badan karena sering antar Pak Bian kemana-mana aja gak pernah di tawarin obat apalagi di perhatiin kaya Mbak Almira," sahut David sambil tersenyum menatap sang bos.
Mata Fabian melotot ke arah sang Asisten setelah mendengar apa yang ucapkan asisten pribadinya itu. "Saya akan kasih kamu obat sekaligus uang tunjangan untuk kamu dan setelah itu kamu enggak usah jadi asisten saya lagi," ketus Fabian.
David memejamkan matanya. "E-enggak Pak, saya enggak mau," tukas David langsung yang ketakutan mendengar tawaran yang diberikan Fabian.
Sementara itu Almira hanya bisa tersenyum kecil melihat perilaku kedua orang itu. "Sudah enggak usah kok Pak, gak usah repot - repot bawa saya ke Psikiater," ucap Almira.
Fabian kembali memandang wajah Almira. "Enggak Mira saya sama sekali tidak merasa repot," sahut Fabian sambil memohon agar Almira mau menerima tawarannya.
"Kalau panggil saja Psikiaternya untuk datang ke sini mau?" sambung Fabian.
Almira lalu bertatapan dengan David asisten pribadi Fabian yang sedari tadi sibuk memakan makanan yang di suguhkan Medina. Lalu David mengedipkan matanya kepada Almira, agar Almira mau menuruti saja permintaan Fabian.
"Jadi gimana?" tanya Fabian lagi sambil menatap mata Almira.
"E-enggak usah Pak, saya baik-baik aja," sahut Almira sambil menatap mata Fabian dengan serius.
"S-sebenarnya ada hal penting yang saya ingin katakan pada kamu Mira," ucap Fabian dengan gugup sambil menatap mata Almira.
Sontak apa yang dikatakan Fabian membuat Almira dan David kembali terkejut, karena sebelumnya, Bosnya itu tidak pernah bersikap seperti ini.
"Masalah pekerjaan atau masalah pribadi nih Pak," celetuk David dengan spontan.
Fabian kembali melotot dan menatap tajam mata asisten pribadinya itu.