"Mengapa kita harus pindah rumah?"
Wanita paruh baya yang sedang menyetir mobil hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaan anaknya.
"Aku butuh jawaban, Bunda, bukan senyuman."
"Kau akan tahu nanti, sayang."
"Bunda."
"Apa yang ingin kamu tanyakan kepada Bunda?"
"Kenapa hanya aku yang tidak memiliki seorang Ayah?"
Stella Natalie, sejak dari lahir sampai beranjak remaja dia tidak pernah bertemu dengan Ayahnya, ataupun merasakan kasih sayang seorang Ayah kepada anak perempuannya. Dia selalu merasa iri kepada anak perempuan lain yang diantar dan dijempu oleh Ayahnya, kapan dia bisa merasakan itu semua?
"Ayahmu sudah meninggalkan kita, bahkan saat kamu masih berada di dalam kandungan Bunda."
Stella terdiam untuk beberapa saat, jadi tidak ada harapan untuk bertemu dengan Ayahnya, ya?
"Nata, kamu memiliki Bunda dan Nenek. Apakah kehadiran kami dihidupmu tidak cukup, sampai kau selalu bertanya mengenai keberadaan Ayahmu?"
"Maafkan aku, Bunda."
"Istirahatlah, perjalanan masih panjang."
"Baik, Bunda."
Stella menyandarkan punggungnya, kemudian menutup kedua matanya dan mulai tertidur. Jalanan begitu dipenuhi dengan kendaraan dan menghambat mereka tiba dengan tepat waktu.
Butuh waktu sekitar dua jam bagi mereka tiba ditujuan, Stella masih dengan kondisi tertidur lelap.
"Nata, bangun."
Stella terbangun dari tidur pulasnya ketika mendengar suara Bundanya, mengerjapkan kedua matanya untuk mengumpulkan kesadaran. Usai kesadarannya terkumpul, dengan segera beranjak dari duduknya membantu Bundanya memasukan barang ke dalam rumah.
Saat Stella sedang sibuk membantu sang Bunda, tidak sengaja melakukan kontak mata dengan seorang pria. Rumah pria tersebut berhadapan dengan rumah miliknya, kemudian dia menyunggingkan senyum tipis.
Tidak lama setelah tersenyum tipis, Stella mendengar suara Bunda yang memanggil namanya.
"Nata!"
"Tunggu sebentar, Bunda!" Stella berteriak, mempercepat langkahnya memasuki rumah dengan membawa barang miliknya.
"Apa yang kau lakukan di luar?"
"Tadi aku bertemu seorang pria, kutebak umurnya tidak jauh dengan umurku."
"Benarkah? Apakah dia tampan?"
"Jika menurutku tampan, belum tentu menurut Bunda tampan juga, kan?"
"Ah, masuk akal juga jawabanmu."
"Aku ke kamar dahulu, ya, Bunda, mau menyimpan dan menyusun barang milikku."
"Baiklah, setelah menyusun barang bantu Bunda memasak, ya."
Stella menganggukkan kepalanya, kemudian mulai melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju kamar yang akan dia tempati.
***
Saat keluarganya tengah makan malam bersama, suara bel rumah mereka berbunyi. Membuat salah satu dari mereka harus beranjak dari duduknya, kemudian membuka pintu.
Pria itu kembali merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, seperti tadi siang ketika melihat perempuan yang sedang berdiri dihadapannya sekarang sambil tersenyum padanya.
"Kamu perempuan yang tadi, kan? Ada apa?"
"Halo, kenalkan namaku Stella Natalie. Kamu?"
Ah, jadi Nata itu panggilan yang diberikan oleh Ibunya, ya?
"Halo, apakah kamu mendengarkanku?"
"Keenan. Panggil saja Keenan."
"Baiklah, ini untuk keluargamu, anggap saja sebagai perkenalan tetangga." Stella sama sekali tidak melunturkan senyumannya.
Keenan menahan napasnya, perempuan yang berdiri didepannya benar-benar tidak memberikan kesempatan untuk jantungnya berdetak dengan normal.
"Berapa umurmu?"
"17 tahun."
"Ah, ternyata kau lebih tua setahun dariku."
"Kalau begitu, aku terima kue yang dibuatkan oleh Ibumu, terima kasih, ya?"
"Selamat malam."
Usai memastikan tetangganya itu benar-benar masuk ke dalam rumah, barulah dia kembali menutup pintu dan membawa kue tersebut ke ruang makan.
"Siapa yang datang bertamu?"
"Penghuni rumah yang ada di depan rumah kita." Jawab Keenan.
"Apakah yang mengantarkan kue itu adalah seorang gadis?"
Keenan berdeham, "kenapa bertanya?"
"You're fall in love at first sigh with her, right?"
"Tidak, jangan berbicara melantur, Bunda." Keenan menggelengkan kepalanya, karena dia perlu memastikannya sendiri.
Apakah dia benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama, atau sekadar mengagumi wajah cantik Stella?
"Jika memang menyukainya Ayah tidak akan melarangmu menjalin hubungan dengannya, tetapi, kamu harus mencari tahu terlebih dahulu latar belakang keluarganya."
Keenan mendengkus pelan, "tidak ada manusia yang sempurna, okey? Ayah tidak memiliki hak untuk menuntut seseorang menjadi sempurna seperti yang Ayah inginkan."
"Sudah berani kamu membantah perkataan orang tua?!"
"Aku lelah, Yah, harus menuruti semua kemauan Ayah. Tetapi, sekali saja Ayah tidak pernah mendukung kemauanku seperti apa."
Plak
"Beraninya kamu…" Pria paruh baya itu menggeram, kedua matanya menatap tajam anak semata wayangnya.
Keenan tertawa hambar, salah satu tangannya mengusap pipinya yang baru saja ditampar. "Orang banyak mengatakan, bahwa anak semata wayang itu paling berharga, tetapi tidak berlaku untukku, ya?"
"Apa maksudmu?"
"Aku sudah kenyang."
Keenan meninggalkan kedua orang tuanya, terlebih lagi sang Ayah yang mungkin masih mengendalikan emosinya. Dia tahu, jika lebih lama diam didekat Ayahnya emosinya tidak akan mereda.
Usai berada di dalam kamar Keenan tidak lupa untuk menutup pintu dan menguncinya, kemudian membaringkan tubuhnya diranjang. Entah apa yang terjadi padanya, rasa sakit akibat tamparan Ayahnya itu tiba-tiba hilang begitu saja, ketika dia mengingat perempuan yang menjadi tetangga barunya.
Apakah dia benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Stella?
Stella adalah perempuan pertama yang berhasil membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, dibandingkan dengan perempuan di luar sana, hanya Stella yang menarik perhatiannya sejak kali pertama bertemu.
"Aku akan menjadikanmu sebagai milikku, jika seandainya benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama denganmu, Stella." Keenan bermonolog, kemudian memejamkan kedua matanya sambil membayangkan wajah perempuan itu.
***
Tin tin
Suara klakson mobil membuat Stella sedikit tersentak dan menghentikan langkah kakinya, menolehkan kepalanya ke belakang sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
Stella mengernyitkan dahinya, ketika melihat mobil itu berhenti tepat di samping tubuhnya. Begitu jendelanya turun, dia memicingkan matanya untuk memastikan seseorang yang duduk di kursi belakang.
"Kak Keenan?"
"Masuk, ayo berangkat bersama denganku." Ajak Keenan.
Stella menggelengkan kepalanya, "tidak, terima kasih."
"Masuk, Stella, bus datang lima belas menit lagi. Jika kau menunggu bus, kamu akan terlambat."
"Tidak perlu, Kak."
Stella membulatkan matanya, melihat Keenan keluar dari mobil dan menarik tangannya. Namun, ketika dia ingin menjauhkan tangan pria itu mengurungkan niatnya, saat mempersilahkan untuk lebih dahulu masuk ke dalam mobil.
Tidak hanya itu, Keenan bahkan menyimpan tangannya yang lain di atas kepalanya saat masuk ke dalam mobil. Kemungkinan untuk menghindari kepalanya terbentur.
Tindakan yang diberikan untuknya cukup membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, karena kali pertama baginya menerima tindakan yang dilakukan oleh Keenan.
"Terima kasih."
"Hm."
"Kak Keenan."
"Kenapa?" Keenan menolehkan kepalanya, seulas senyum tipis terbit dibibirnya ketika baru menyadari ada yang berbeda dari Stella.
"Kamu masuk jurusan apa, Kak?"
"11 IPA 1. Kenapa?"
"Wah, berarti kamu pintar, ya, Kak?"
Stella mengernyitkan dahinya, menyadari kedua telinga Keenan yang memerah. "Telingamu memerah, Kak, kau sakit?"
"Hah?"
"Kak Keenan, memiliki wajah tampan dan badan yang bagus, sayang lemot."
"Kamu sedang memujiku, Stella?"
"Wah, sepertinya aku salah memuji orang, ya. Kau lemot sekali, Kak, sungguh."
Stella terdiam untuk beberapa saat, ketika melihat Keenan yang hanya tersenyum simpul mendengarkan kalimat yang diucapkan olehnya.
***
To Be Continue