Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Pendekar Lengan Satu

🇮🇩Arif_Corner
--
chs / week
--
NOT RATINGS
14.6k
Views
Synopsis
Brama adalah anak dari Raden Turangga. Orang tuanya tewas dibantai saat ia berusia sepuluh tahun. Brama dianiaya sampai tangan kanannya dipatahkan oleh penjahat itu, lalu dibuang ke jurang. Beruntung Brama diselamatkan oleh Ki Paronwaja dan dilatih ilmu kanuragan. Setelah tahu masa lalunya, Brama berusaha untuk membalas dendam kematian keluarganya. Ia terus mencari pelaku pembantaian keluarganya. Selama pencarian itu, Brama selalu menolong orang-orang yang membutuhkan bantuannya, dan dikenal sebagai Pendekar Lengan Satu. Siapakah sebenarnya pembunuh keluarga Brama? Akankah dia berhasil menuntaskan balas dendam pada pembantai keluarganya? Foto oleh Valiantsin Konan dari Pexels Cover oleh Cover Design App
VIEW MORE

Chapter 1 - Tragedi Berdarah

"AYAAH! IBUUU!" pekik Brama yang melihat kedua orang tuanya tewas di tangan lima orang penjahat yang tak ia kenal, saat ia bermain di luar.

Walau usianya baru sepuluh tahun, darah Brama langsung mendidih ketika Ayah dan Ibunya sudah terkapar.

Brama tak terima jika kedua orang tuanya meninggal di depan matanya karena lima orang penjahat itu.

Brama segera mengambil pedang milik Ayahnya, untuk menyerang kelima penjahat yang sudah membunuh kedua orang tuanya.

"Hyaaat!" Ia segera melawan para pembunuh yang membunuh kedua orang tuanya.

"Awas kalian! Kalian akan mati di tanganku!" seru Brama yang menyerang kelima orang penjahat itu.

Mereka pun terkesiap saat ada seorang bocah menyerang mereka ketika kelimanya sudah berhasil membunuh Raden Turangga dan istrinya, Lastri.

Namun kekuatan Brama tidak seberapa dibanding mereka semua. Tetapi mereka juga akan menghabisi Brama walau usianya masih sepuluh tahun.

Salah satu dari mereka pun siap menghadapi bocah itu. Namun sekali tebas, salah satu penjahat itu berhasil mengalahkan Brama dalam satu tebasan.

Brat!

Lengan kiri bocah itu segera terhempas terpisah dari tubuhnya.

"Aaaah! Tangankuu!" Brama mengerang kesakitan setelah lengan kirinya putus ditebas salah satu penjahat itu. Darah langsung mengucur banyak dari sisa lengan kiri Brama

"Hahaha, dasar anak bodoh! Tak punya kekuatan malah mau melawan kami!" seru salah satu penjahat itu.

Lalu ada tiga orang dari mereka yang kemudian menghajar tubuh kecil Brama. Brama pun mengerang dan mengaduh kesakitan saat tubuhnya diserang bertubi-tubi dengan kondisi lengan yang dalam kondisi tak utuh lagi.

Tak ada seorang pun yang menolong Brama karena semuanya sudah tewas dibantai oleh para penjahat yang tak dikenali oleh Brama.

Namun Brama menyaksikan potongan lengan kirinya yang tak jauh dari jasad kedua orang tuanya yang sudah tewas terbunuh, sambil terus mengerang kesakitan karena terus menerima pukulan dan tendangan di tubuhnya.

Karena kehabisan banyak darah dan terluka parah, Brama lalu terkulai pingsan dengan kondisi babak belur. Anak sekecil itu harus menerima perlakuan kejam dari kelima orang penjahat itu.

"Sepertinya dia belum mati!" kata salah seorang dari mereka.

"Kalau begitu kita buang saja dia ke jurang! Jangan sampai dia dibiarkan hidup," saran penjahat berkumis tebal. Semuanya pun setuju.

Penjahat bertubuh gempal lalu membawa tubuh Brama untuk dibuang ke jurang agar mereka bisa menghabisi seluruh keluarga Raden Turangga.

Kelima penjahat itu lalu menghampiri kuda mereka masing-masing untuk meninggalkan kediaman Raden Turangga, yang sudah bergelimpangan dengan mayat.

Sebab mereka berhasil membantai Raden Turangga, istrinya, dan semua pengawalnya. Kini mereka juga harus menyingkirkan Brama, yang menjadi anak tunggal Raden Turangga.

Mereka segera menghentakkan kuda mereka untuk menuju ke sebuah jurang agar mereka bisa membuang tubuh Brama. Setelah beberapa lama, mereka sampai di tepi jurang.

"Selamat tinggal, bocah cilik! Kamu akan segera menemui Ayah dan ibumu di alam baka!" sahut penjahat bertubuh gempal itu.

Kemudian dia melemparkan tubuh Brama ke jurang tersebut. Tubuh kecil itu kemudian terhempas dan melayang di jurang yang terjal dan curam itu. Mereka pun kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha! Kita sudah berhasil menghabisi keluarga Raden Turangga! Ayo kita kembali dan merayakan kemenangan ini!" seru penjahat berkumis tebal, yang sepertinya pimpinan dari para penjahat tersebut.

Tubuh Brama yang terlempar dari atas jurang, meluncur ke bawah. Namun ada sosok yang melihat tubuh kecil itu melayang kencang menuju ke dasar jurang.

Ia terkejut dan segera menggunakan kekuatannya, sosok itu lalu melayang seperti kapas untuk bisa menangkap tubuh Brama.

Ia kemudian segera menuju ke kediamannya di sebuah gubuk yang sederhana, tak jauh dari jurang tersebut.

Setelah membaringkan tubuh Brama di tempat tidurnya, ia segera memeriksa tubuh bocah itu. Sosok itu merasa sangat iba dengan kondisi Brama yang begitu memilukan, karena tubuh Brama babak belur dan kehilangan salah satu lengannya.

'Astaga! Kasihan sekali bocah ini. Sepertinya dia habis dianiaya dengan kejam dan biadab,' Sosok itu merasa prihatin dengan kondisi Brama.

Namun ia bersyukur jika bocah itu masih hidup karena denyut jantung dan nadinya masih berdenyut.

Seseorang itu kemudian mencoba berisikan semua luka yang ada di tubuh bersama dan menghentikan pendarahan di lengannya, yang masih tersisa.

Tetapi ia juga tidak menduga jika ada orang yang begitu kejam menganiaya bocah itu sampai sedemikian parah dan mengerikan.

Seseorang itu memutuskan untuk merawat bocah itu sampai benar-benar sembuh. Setelah lukanya dibersihkan dan diberi ramuan tradisional.

Brama kemudian tersadar dari pingsannya, ia merintih kesakitan saat membuka matanya. Ia terkejut melihat sosok paruh baya dengan rambut panjang dan ia kini berada di sebuah gubuk.

"Siapa Paman ini?" tanya Brama diiringi rintihan kesakitannya. Seseorang itu pun kemudian tersenyum kepada Brama.

"Jangan banyak bergerak dulu, Nak. Kamu masih belum sembuh," kata pria itu.

Brama kemudian merintih kesakitan lagi. Bocah itu kemudian menangis. Tak hanya rasa sakit dan pedih di seluruh tubuhnya, apalagi di bagian lengannya.

Ia mengingat saat setelah bermain, melihat kedua orang tuanya sudah terbujur kaku dan melihat banyak mayat bergelimpangan, karena para pengawal Ayahnya juga habis di bantai oleh kelima orang penjahat itu. Dan ia juga menerima perlakuan kasar dan menyakitkan dari para penjahat itu.

Pria itu merasa iba saat bocah itu menangis.

"Jangan menangis, Nak. Kamu akan kurawat sampai sembuh. Dari mana asalmu? Mengapa kamu jatuh dari jurang itu? Apakah ada yang menjatuhkanmu?" tanya pria itu. Brama pun terkejut mendengarnya.

"Aku tidak tahu, Paman. Aku pingsan saat lima orang penjahat menghajarku dan memotong lenganku. Mereka juga sudah menghabisi kedua orang tuaku, jawab Brama dengan tangisan yang begitu memilukan.

Pria itu terkejut mendengarnya, ia merasa semakin iba terhadap nasib malang bocah yang ditemukannya.

'Siapa orang-orang yang sudah berbuar biadab kepada bocah sekecil ini. Benar-benar iblis,' geram pria itu. Pria itu dia kemudian memeluk tubuh Brama seperti anaknya sendiri.

"Kamu jangan khawatir, karena kamu akan kurawat seperti anakku sendiri," kata pria itu. Brama masih saja menangis karena peristiwa yang baru saja ia alami.

Pria itu masih terus menenangkan bocah itu, karena selain fisiknya juga sakit. Dia juga menderita karena terpukul dengan dan kematian kedua orang tuanya.

"Jangan menangis lagi, Nak. Ada aku di sini bersamamu. Aku yang akan merawatmu sampai sembuh dan menjadi kamu anakku sendiri," hibur pria tersebut. Brama kemudian mendekap erat tubuh pria itu dengan salah satu lengannya.

"Terima kasih, Paman," ucap Brama dengan nada lirih. Tetapi masih terlihat jelas ingatannya kejadian tragis tersebut yang akan dikenang seumur hidupnya.

Pria itu kemudian mengurai pelukannya dan mengelus rambut bocah itu.

"Perkenalkan namaku adalah Ki Paronwaja. Siapa namamu, Nak?" tanya Ki Paronwaja.

"Namaku adalah Brama, Paman," jawab Brama. Ki Paronwaja tersenyum kepada bocah itu.

"Panggil saja aku Ayah, Nak! Sebab akulah sekarang yang menjadi ayahmu. Kamu jangan khawatir, tidak akan ada lagi orang-orang yang akan menyakitimu," kata Ki Paronwaja sambil memeluk tubuh Brama lagi.

Brama kembali merintih karena rasa sakit yang ada di sekujur tubuhnya. Sehingga membuat Ki Paronwaja cemas.