Saat bangun, Thea merasakan bagaimana kereta kuda yang ditumpanginya itu hanya diam.
Tidak ada lagi guncangan.
Tidak ada lagi suara derap kaki kuda.
Tangannya meraba sekitar dan ketika dia mendapati sisi di sebelahnya kosong, dia agak terkejut ketika dia menyadari bahwa dia sendirian di dalam kereta itu.
"Apa kami sudah sampai?" gumamnya.
Dia harap begitu karena dia takut jika mungkin saja pangeran vampir itu malah membuangnya begitu saja di tengah perjalanan.
Dia bangun dari posisinya dan seketika merasakan sakit luar biasa di bagian leher dan bagian tubuhnya yang lain.
Ini semua karena dia tertidur dengan posisi yang begitu canggung.
Thea menyentuh lehernya, memijitnya pelan, dan pada saat itulah pintu kereta kuda tersebut terbuka begitu saja.
"Oh, baguslah karena kau sudah bangun." Sang Pangeran menyapanya.
Pada titik ini, Thea sudah mengingat suara sang pangeran.
"Apa kita sudah sampai?"
"Ya. Kita sudah sampai lebih cepat dari dugaan. Terima kasih pada kuda-kuda tercepat di Flezio ini." Ada nada bangga terselip dalam ucapannya.
"Kenapa tidak membangunkanku?" tanya Thea. Firasatnya berkata bahwa mereka sudah tiba cukup lama.
"Kau tertidur seperti bayi. Mana tega aku membangunkanmu."
Harusnya itu terdengar romantis di telinga Thea, tetapi mengingat rasa sakit yang dia rasakan di sekujur tubuhnya, dia lebih suka jika sang pangeran segera membangunkannya.
Di satu sisi, Thea juga merasa bersalah karena sempat mengira bahwa dia sudah dibuang hanya karena dia terbangun sendirian di dalam kereta tadi.
Tidak ingin berada lebih lama di dalam kereta tersebut, Thea berusaha beranjak turun dari sana. Sang pangeran jelas tidak akan membiarkannya melakukan itu sendirian.
Kedua tangannya dipegang oleh sang pangeran yang terus menyuruhnya untuk berhati-hati.
Saat kakinya telah menginjak tanah, Thea menghembuskan nafas lega dan melepaskan genggaman tangannya dari sang pangeran.
Namun, meski tangan kanannya kini bebas, Thea bisa merasakan bagaimana tangan kirinya yang masih digenggam erat dan dengan sedikit paksaan, Thea segera menjauhkan tangannya.
"Kenapa?"
Sang pangeran tampak tidak terima dengan apa yang dia lakukan dan Thea sadar kalau mungkin saja dia sudah membuat sang pangeran tersinggung.
"Tidak apa-apa. Hanya tidak terlalu terbiasa dengan kontak fisik." Thea menjawab jujur.
Dia bahkan tidak ingat berapa kali dia menyentuh tangan ayahnya, apalagi tangan laki-laki lain.
Thea berharap sang pangeran tidak akan salah paham dan berpikir bahwa dia tidak menyukainya.
Bukannya Thea menyukainya juga, hanya saja ini murni terjadi karena mereka adalah dua orang asing yang baru saja bertemu dan menikah beberapa saat lalu.
Thea butuh waktu untuk terbiasa.
"Biasakanlah, Istriku. Tidak ada yang tahu apa yang bisa kita lakukan di masa depan nanti. Mungkin saja lebih dari ini."
Thea mencengkeram gaun miliknya erat mendengar itu. Thea tidak tahu apakah itu sebuah pemberitahuan dalam bentuk ancaman atau sebaliknya.
Intinya, dia merasa ketakutan ketika mendengarnya.
"Dan lagi, kau berbohong."
Mereka baru saja bertemu dan seingat Thea, sejauh ini dia hanya membiarkan kebenaran yang keluar dari mulutnya.
Selalu seperti itu sebenarnya sejak dulu. Jadi, apa yang sang pangeran maksud dengan dia yang berbohong.
"Apanya yang tidak terbiasa dengan kontak fisik? Kau yang pertama menyentuhku di sana-sini."
Sang pangeran jelas tidak akan melupakannya dengan mudah begitu saja dan akan terus mengungkitnya. Lebih parahnya, menggunakannya sebagai senjata untuk melawan Thea.
"Aku sudah bilang kalau aku tidak sengaja."
Pipi Thea terasa panas mengingat itu semua.
Bahkan Thea sendiri tidak lupa, kenapa dia berharap sang pangeran untuk melakukan hal yang sama?
"Kau harus bersyukur karena laki-laki yang kau sentuh waktu itu adalah aku."
Thea diam, tahu bahwa sang pangeran masih ingin mengucapkan sesuatu.
"Jika itu laki-laki lain, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi padanya karena telah membiarkan dirinya sendiri disentuh oleh istriku."
Nafas Thea tercekat mendengarnya.
Sang pangeran seperti tengah memberi ultimatum bahwa Thea hanyalah miliknya dan tidak boleh ada laki-laki lain yang berani mengambil Thea darinya.
Haruskah dia merasa senang atau semakin takut?
"Yang Mulia!"
Suara teriakan terdengar, disusul derap langkah kaki yang mendekat dan berhenti tidak berapa lama kemudian.
"Selamat datang kembali. Kami sudah menunggu Anda sedari tadi."
"Ya," jawabnya singkat. "Aku sudah kembali bersama dengan istriku."
Sang pangeran melirik ke arah Thea yang masih hanya diam berdiri, mendengar seluruh percakapan mereka.
"Oh, apakah Anda Putri Thea?" Pertanyaan tiba-tiba ditujukan padanya.
Dia adalah Thea, tetapi dia masih merasa tidak yakin kalau dia adalah putri.
Jadi, dengan terbata dia menjawab, "Ya, ak- aku Thea."
"Selamat datang di Flezio, Yang Mulia. Selamat atas pernikahan kalian berdua."
Thea melempar senyum kemudian menganggukkan kepalanya.
Flezio adalah rumah barunya sekarang. Kerajaan tersebut akan menjadi atap untuk kepalanya berlindung.
Sungguh menakjubkan karena selama ini dia hanya mendengar tentang Flezio dari orang-orang di sekitarnya.
Siapa yang sangka kalau pada akhirnya dia bukan hanya memiliki kesempatan untuk datang, tetapi juga tinggal di sini?
"Saya Lixon, salah satu pengawal Pangeran Javon." Laki-laki tersebut memperkenalkan dirinya pada Thea.
Pengawal?
Thea tidak tahu kalau seorang pangeran vampir juga membutuhkan pengawal. Maksudnya, vampir itu adalah makhluk yang kuat, terlebih lagi dengan statusnya sebagai seorang pangeran.
"Senang bertemu denganmu, Lixon." Thea berkata.
Setelah itu, mereka mulai berjalan pergi meninggalkan tempat itu dan kali ini Thea tidak bisa menolak genggaman tangan dari sang pangeran.
Dia butuh seseorang di sisinya untuk membantunya berjalan tanpa harus takut terjatuh.
Ketika tidak lagi merasakan hembusan angin yang cukup kencang, Thea sadar kalau mereka sudah berada di bagian dalam istana.
Sayang sekali karena dia tidak bisa melihat kemegahan dari istana ini dan hanya bisa menduga-duga di dalam hatinya.
Sang pangeran tiba-tiba menghentikan langkah dan Thea juga mengikutinya.
"Katakan pada ayah dan ibuku kalau kami akan menemui mereka nanti."
"Baik, Yang Mulia."
Lixon pergi meninggalkan mereka berdua ke tempat tujuannya sendiri dan dia serta sang pangeran kembali melanjutkan langkah.
Thea bukanlah tipe perempuan yang suka mengeluh, tetapi dia rasa dia bisa berubah menjadi tipe perempuan seperti itu ketika dia harus menaiki anak tangga yang seperti tidak ada habisnya untuknya.
Nafasnya terengah dan Thea ingin tahu seberapa lama lagi sampai mereka akan tiba di tempat yang mereka tuju sekarang.
"Sebentar lagi." Sang pangeran berucap seolah tahu apa yang tengah dia pikirkan.
Mereka berjalan lagi dan sang pangeran tampak memelankan langkah. Dia berdiri di depan sebuah pintu besar dan membukanya, membawa Thea dan dirinya sendiri masuk ke dalam.
"Di mana kita?" Thea bertanya tepat ketika pintu tersebut ditutup kembali.
Thea menyesal menanyakan hal itu ketika mendengar jawaban yang sang pangeran berikan padanya.
"Di kamarku," jawabnya. "Kita akan melakukan sesuatu yang menyenangkan."