Chereads / Cinta Di Atas Dendam / Chapter 14 - Waktu Itu Part2

Chapter 14 - Waktu Itu Part2

Orang datang, dua saksi dari keluarga Rif'an dan wali dari Indana, serta penghulu dan Ibu Rif'an, Indana memeluk Rini lalu sungkem ke Pakdenya.

"Kamu bahagiakan Nduk?" tanya Pakde Sukri, Indana mengangguk, "Kalau begitu cepat dimulai, tidak perlu basa basi yang penting sah dan halal," ujar ringan Pakde Sukri, lalu menjabat Rif'an, Penghulu memastikan nama pengantin ke Alvin.

"Sudah benar," ujarnya. Ibu Sopiah memakaikan kerudung pengantin, Indana sangat terharu ia menggenggam erat tangan sepupunya.

Alvin dengan sangat hati-hati memakaikan peci. Rif'an menjabat tangan Pakde Sukri. Ijab pun dimulai.

"Qobiltu nikah aja watazwijaha bimahrin madkurin hallan." suara Rif'an sangat jelas, perasaan bahagia dirasakan Indana yang tidak dapat berkata-kata.

"Sah ...." ucap serempak para saksi, Penghulu membacakan doa pengantin. Alvin membantu Rif'an tanda tangan buku nikah.

"Sudah pengantinya perlu istirahat, ayo-ayo keluar," ajak Alvin sangat pengertian, Rini memeluk Indana lalu pergi. Alvin menutup pintu meninggalkan dia sejoli disatu kamar.

"Kenapa sangat jauh sini," panggil Rif'an Indana tersenyum dan melangkah pelan. Kebahagiaan terbesar yang didapat Indana adalah saat Rif'an mengucapkan ikrar suci dengan bahasa Arab.

Indana mendekat lalu mengecup punggung tangan Rif'an yang masih terpasang selang impus.Tangan kiri Rif'an berada di atas ubun-ubun Indana.

"Allahumma inni as-aluka khaira-ha wa khaira ma jabaltaha 'alaihi wa a-'udzu bika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha 'alaihi

Artinya: Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiat yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa," ucapan doa dari Rif'an sangay membuat Indana bahagia.

"Hiks, hiks,"

"Kok nangis?"

"Ini tangisan bahagia, estheh ...." jawab Indana menaikan wajah.

"Jika sahabat menikah rasanya sedikit canggung," ujar Rif'an menggeserkan tubuhnya. Indana menatapnya. "Kini kau sudah menjadi kekasih halalku, aku berhak menyentuh kulitmu, bahkan mengecupmu, sekarang bersediakah kau tidur disini?" tanya Rif'an menepuk sisa tempat diranjang sempit.

Indana tersenyum, "Bagaimana lagi jika menolak pasti berdosa," ucap Dana naik.

"O ... Berarti terpaksa, oh ya masuk Sus," ucapan Rif'an mengejutkan, Indana segera turun dan merunduk malu.

"He he he, maaf aku hoax," Rif'an mengaku.

"Hih tetap ngeselin deh," ujar Indana. "Ya sudah main game saja," imbuhnya akan mengambil ponsel, Rif'an dengan cepat meraih tangannya.

Indana masih berada disamping Rif'an.

"Aduh si tole berani berdiri," gumamnya, Indana turun karna dia menduga ada anak yang masuk.

"Mana tolenya?" tanya Dana dengan polosnya lalu mengupas buah, Rif'an menahan tawa.

"Ih ketawain apasih?" tanya Dana, Rif'an tidak menjawab. "Tole siapa sih?" tanya Dana masih penasaran.

"Tole tuh pedang pusaka tanpa ketajaman dibalik, ha ha ha," Rif'an tertawa, Indana menggaruk kepalanya.

"Ih nggak jelas," keluh Dana, lalu menyuapi buah apel, Rif'an menatap gadis cantik itu, Indana tidak sanggup ia menutup mata karna malu.

"Jangan ditutup,"

"Aku jelek, bau belum mandi," jelas Dana.

"Dulu tidak pernah begini, jangan ditutup cantik tau ... Kan istriku, tidak mungkin aku menikahi gadis tidak cantik," puji Rif'an dengan cepat mengecup kening kekasih halalnya.

"Gombal," keluh Dana.

"Kain aja lah ... Gombal kan artinya kain," canda Rif'an, Indana tertawa. "Sesimpel itu membuat kamu tertawa. Aku sedikit pusing, sana temui Pakde, tidak enak jika disini terus," pinta Rif'an, Indana mengangguk. Rif'an memejamkan mata, Indana keluar kamar dengan wajah terpaksa dan tidak rela.

Langkanya terhenti saat dipintu, Indana kembali berjalan cepat ke Rif'an lalu mengecup punggung tangan dan pipi, Rif'an hanya tersenyum dengan mata terbuka sipit.

"Aku tau kamu sangat mencintaiku, tapi cintai aku secara wajar. Dengarkan aku kota harus belajar menerima kenyataan Karna bila kita terjatuh, hanya Allah lah yang kita butuh, Menangis itu lumrah, bukan tanda lemah dan menyerah, perkuat semua dengan doa kepadaNya, siapa tau akan ada keajaiban dariNya.

Apabila aku merintih kesakitan, aku ingat

hanya Allah yang memahami, siapa tau dikurangi rasa sakit dalam kubur. Indana

perjalanan hidup ini, ujian datang tak henti, silih berganti, namun bila Allah ada dihati kita akan merasa ada yang melindungi dan bahagia. Allah maha Pengasih, tidak pernah pilih kasih, namun terkadang doa belum terkabul, ingat dan sadar banyak orang yang lebih butuh doa diijabah, maka kita harus sabar dan menikmati apapun dariNya aku bersyukur, punya kamu ...." ucapan Rif'an menggenggam erat tangan istrinya.

"Allah Maha Penyayang, sayangNya tak terbilang, lalu berdoalah agar diberi cahaya supaya tidak melakukan kegelapan. Doanya. Ya Allah, kurniakan cahaya dihatiku, lisanku, pendengaranku, dan penglihatanku," tegur Rif'an.

"Jadi makin lope, muahc, sudah istirahat," Indana tersenyum lalu pergi.

'Aku yang mencintaimu dengan sangat terlalu, hingga aku takut nyawaku akan lepas dari ragaku. Ya Allah berikan aku waktu diakhir hidupku dengan rasa yang bahagia tanpa mengeluh. Aamiin," Rif'an memejamkan mata.

Indana merasa sangat bahagia, ia pergi dengan langkah cepat, berjalan di koredor rumah sakit lalu berkumpul dengan keluarga Pakdenya. Rini menghampirinya, sambil menangis dan memeluk Dana.

"Ada apa?" tanya Indana, menaikan wajah Rini, Rini menghapus air matanya.

"Nenek meninggal,"

"Innalillahiwa inna ilairojiu'n," Indana memeluk Rini.

"Heks, Bisakah Kak Dana memakaikan jilbab ini ..." pinta Rini mengambil hijab pasmina dari tasnya. Indana tersenyum lalu memakaikan.

"Alhamdulillah ... Kenapa tiba-tiba ingin? Kalau pakai hijab harus istiqomah," tegur Dana.

"Aku memakai hijab karna kewajiban, semoga Akhlakku menjadi baik, namun yang paling aku ingat jika aku berhijab aku bisa disurga bersama-sama dengan orang yang aku sayangi," jelasnya, "Hiks, hiks," Rini segera menghapus air matanya.

"Nduk ... Pakde urus pemakaman dulu, ya nanti kita bicara," jelas Pakde Sukri.

"Aku boleh ikut Pakde?" tanya Dana, Pakdenya menggelengkan kepala.

"Ini jauh Dana, kamu jaga suamimu ya," pinta Pakde Sukri.

"Kalau aku boleh ikut kan Bapak mertua," ucapan Alvin sangat mengejutkan, Rini melotot.

"Boleh Nak, tapi kapan kamu menikah sama anakku?" tanya Pakde Sukri, Alvin merunduk.

"Aku melamar putri Pak Sukri," ucapan Alvin sangat mengejutkan, Rini mendekat dan menginjak kaki Alvin.

"Au ... Sakit tau,"

"Jangan macem-macem, bercanda soal pernikahan tidak baik, mari Pak jangan digabres," ajak Rini, menarik tangan Ayahnya. Indana mendekat ke Alvin.

"Kamu sudah punya suami jangan naksir aku," ucap Alvin ringan.

"Pedenya kelewat batas, kamu beneran? Serius dengan Rini,"

"Ya iyalah ... Kan aku sudah ... Ehkm," jawaban Alvin sangat mengejutkan, lalu berjalan cepat.

"Apa itu ehkm?" Indana penasaran, lalu mengejar Alvin. "Ah ... Nggak penting, penting mendampingi suami kan dapat pahala," gumamnya.

Gadis mesin waktu terlihat pancaran kebahagiaan dari raut wajahnya. Langkahnya terhenti, ada angka yang muncul.

"Allahu Akbar," Indana lari sekuat tenaga sambil menghitung langkahnya dengan detiknya.

Didepan Masjid tergletak seorang Ibu dengan perut yang buncit dan sudah keluar darah, Indana berlari lalu membantu Ibu itu.

"Tolong ...." teriaknya, "Ibu tanhan sebentar lagi ya, Tolong ...." teriaknya, tiga orang bergegas membantu Ibu itu. Seorang Ibu yang akan merahirkan, Indana berlari ke Rumah sakit yang jaraknya hanya dua ratus meter. Langkahnya cepat ia terjatuh karna tersandung.

"Suster ... Tolong Ibu disana," ujarnya lemas dan. Brug, dia tidak sadarkan diri.

Beberapa saat kemudian. Indana membuka mata, ia mendengar suara tangisan bayi, ia sangat bersyukur. "Alhamdulillah ...." Indana melangkah ke kamar suaminya.

Ibu Sopiah menangis meronta sambil memanggil nama Rif'an, Indana tercengang dengan dan air matanya berlinang.