"Aku memang sangat keterlaluan. Sebenarnya pun aku merasa sedih ketika Dira menatapku sesudah aku mempermalukan nya. Aku memang tidak pantas dimaafkan olehnya. Dira terlalu baik untukku. Sementara aku selalu menyakiti hatinya. Dan sekarang aku meminta tolong kepadanya? Aku sangat tidak tahu malu!"
Kini Radit menikmati kesendirian dengan merana, menatap kendaran yang berlalu-lalang. Dia lalu berdiri, sepertinya dia mulai mendapat ide.
Radit menghadang orang, setiap manusia melewatinya begitu saja.
"Aku kira salah satu dari mereka ada yang melihatku, lalu aku bisa meminta tolong," gumam Radit sambil meremat kepalanya.
"Ahhh ...! Aku seperti orang gila. Sepertinya aku perlu mendatangi Disya agar aku sedikit tenang dan rinduku bisa terobati."
Kesana kemari tanpa lelah tetapi dengan wajah yang murung. Setelah sampai, Radit melihat Disya menangis. Tangisan Disya membuat dia kesal dan marah akan keadaan sendiri.
"Disya aku ada di sini, jangan sedih sayang. Sayang ..." Radit ingin membelai dan ingin menjadi sandaran bagi wanita yang dia cintai sejak SMA.
Akan tetapi sirna dan tidak bisa, Radit menangis sedih melihat Disya yang kacau.
"Apa aku akan terus membujuk Nadira? Huft ...." Radit sangat putus asa. Dia menatap Disya dengan nanar lalu mendekati kekasihnya dan duduk di sampingnya.
"Disya, tetaplah setia akan cinta kita. Walau keadaan kita seperti ini. Disya ... aku sangat merindukanmu. Tetapi aku tidak tahu, aku bisa hidup kembali atau akan pergi dari dunia ini." Radit membelai pipi Disya yang tak tersentuh. Tatapan sendu penuh cinta.
*****
Kegalauan Radit membuat dia mengikuti Nadira secara diam-diam. Semua aktifitas Nadira, Radit mengetahui bahkan sampai hafal.
"Ah ... lelahnya. Huft ... hidup. Seperti inilah hidup!" seru Nadira setelah pulang dari rumah sakit.
"MasyaAllah sesungguhnya rasa bahagia juga cobaan sedih juga cobaan. Tergantung kita bisa mensyukuri atau tidak. Jika kita mensyukuri semakin bertambah rahmat Allah subhanahu wa ta'ala."
Drettt!
Drettt!
"Apa lagi! Aku lelah. Tolong jangan hubungi aku lagi. Walau pun orang tuaku terus membujukmu untuk menikahiku, tapi maaf. Ini hidupku pilihanku, dan kamu sudah sangat membuat aku kecewa. Sangat mudah membuat orang percaya namun sangat sulit mempertahankan kepercayaan itu."
Tutttt
Nadira menutup teleponnya.
'Sangat kasihan, apa aku akan terus mengganggu gadis tak berdaya ini. Dulu aku menyakitinya sekarang aku meminta tolong. Sungguh aku memang tidak manusiawi!'
Ngikkk!
Nadira mengerem mobilnya, gadis ini turun dari mobil dan pergi kejembatan. Radit segera menyusulnya.
'Apa dia akan bunuh diri? Apa semudah itu? Dia menyerah akan hidup?' batin Radit terus memperhatikan Nadira.
"Ah ... aku lelah. Sangat lelah ..."
Entah apa yang membuat Nadira sesedih itu, Radit terus memperhatikannya.
"Menjadi dokter untuk membantu kesembuhan pasien adalah tanggung jawab besar. Aku melakukan operasi dadakan karena darurat dan tidak bisa menunggu keluarga pasien. Tanpa mendapat izin keluarga aku melakukan operasi demi kesembuhan pasien. Itu iktiarku. Operasi berjalan lancar walau pasien dalam keadaan koma. Dan aku masih disalahkan, bahkan akan dituntut. Belum lagi aku harus mendengar omelan ibu untuk menikah dengan pemuda yang mudah meniduri para gadis tanpa status resmi. Ah ... rasanya kepalaku ini mau pecah."
Nadira teriak sesuka hati.
'Sekarang aku tahu, dukamu juga banyak. Huft ... bahkan hidupnya lebih sulit dari aku. Apa kira-kira aku bisa membantu? Ah ... sangat sulit membantunya dalam keadaan tidak terlihat.'
Nadira hendak menaikan kakinya ke besi jembatan.
"Apa kamu akan terjun?"
Nadira mundur dan terjatuh. "Stop! Kenapa kamu ada di sini?! Jangan ikuti aku. Masalahku sudah sangat rumit, aku mohon Radit. Aku mohon ... hiks." Nadira terisak membuat Radit merasa bersalah.
"Nadira, aku minta maaf."
"Huft ... hiks. Oke ... aku memaafkanmu." Nadira yang semboyongan segera masuk ke mobil. Dia menancap gas dan mobilnya melaju. Radit hanya menyaksikan kepergian Nadira.
"Tunggu, jika pasien yang dibicarakan Dira mengalami koma juga, berarti kami senasib."
"Om benar."
"Aaaa!" Radit sangat terkejut hingga mundur, ketika gadis berseragam sekolah itu mendekatinya.
"Kamu siapa?" Radit menatap takut walau mereka sama-sama arwah.
"Aku pasien yang dipertahankan untuk hidup walau aku sudah sangat muak dengan kehidupan."
"Tapi kamu harus hidup. Jika kamu hidup kedua orang tuamu tidak akan menuntut Nadira."
"Bukannya dokter itu menolak membantumu?" tanya gadis itu menatap Radit.
"Dia menolak membantuku karena kesalahan fatal yang pernah aku buat. Emmm. Boleh aku tahu, kenapa kamu tidak ingin hidup?" tanya Radit. Gadis itu menghela napas panjang.
"Aku sudah tidak betah dengan kehidupan yang selalu penuh dengan pertengkaran karena hal kecil aku capek. Mendengar pertengkaran setiap hari dari kedua orang tuaku. Mungkin kalau aku mati mereka tidak akan bertengkar. Mungkin menurutmu ini hanya sebuah pertengkaran, tapi aku merasa lelah aku merasa tidak betah ketika mendengar kedua orang tuaku saling menyalahkan, tidak ada yang mengalah dan selalu merasa paling benar sendiri!" Gadis itu mengusap air mata dari wajahnya.
"Apa kamu sudah melihat bagaimana kedua orang tuamu sekarang? Apa kamu melihat keadaannya?" tanya Radit menatap gadis merana itu.
"Aku tidak peduli dan aku tidak mau melihat mereka. karena setelah melihat mereka yang terngiang hanya perdebatan yang tidak ada hentinya. Aku sering bertanya, kenapa mereka berkomitmen jika akhirnya hanya bertengkar, kenapa ibuku melahirkanku? Bukankah melahirkanku itu atas dasar cinta? Lalu kenapa sekarang aku merasa kedua orang tuaku menyesal menghadirkan ku di dunia ini."
"Jangan bilang seperti itu. Manusia pasti memiliki kesalahan. Emmm. Dokter Nadira dokter yang baik, banyak pasien yang membutuhkannya. Mungkin, jika kamu semangat untuk hidup kamu akan kembali kepada tubuhmu."
"Lalu kenapa Om yang punya semangat hidup tidak kembali kepada tubuh Om?"
"Awalnya aku marah. Saat ini pun aku marah, tetapi ... jalan dariNya, itu jalan yang terbaik. Aku hanya berusaha entah nanti pada akhirnya bagaimana. Aku yakin dibalik kejadian ini pasti ada hikmahnya."
"Om memang benar. Aku ingin membantu dokter cantik itu. Tetapi hidup matinya aku, ada di tanganNya, dan sekarang kita sama. Bagaimana caraku menolongnya?"
"Kita pikirkan nanti, kita tidak akan pernah tahu kapan ajal kita tiba, bagaimana kalau sekarang kamu melihat kedua orang tuamu, setidaknya ucapkan sayangmu."
Gadis itu mengangguk setelah mendengar Radit. Radit dan gadis manis itu pergi ke rumah sakit.
"Pokoknya kita harus menuntut dokter itu! Zifa ... ayo bangun." Raut wajah seorang ibu penuh dengan kesedihan.
"Aku setuju menuntut jika Zifa semakin parah. Sekarang, dengan keadaan anak kita. Kita harus intropeksi diri. Kita selalu bertengkar masalah pekerjaan dan lainnya. Aku minta kita harus sabar, saling mendukung dan jangan menjadi musuh. Jangan menangis," kata seorang ayah sambil membelai rambut sang istri.
"Itu adalah tanda cinta kedua orang tuamu."
"Hiks, baru kali ini keduanya bisa berbicara tenang. Hiks, aku sangat merindukan moment ini. Aku ingin hidup Tuhan."
Radit menatapnya, ruh Zifa memeluk kedua orang tuanya dari belakang. Radit tersenyum.