Ditengah keputusasaan Radit pun berjalan keluar halaman rumah sakit, hujan deras malam itu membuat dia berjalan hampa tanpa tujuan.
Tinnn!
Tinnn!
"Hai, kamu, minggir! Haiii. Minggir!"
Betapa terkejutnya Radit. "Dia menyuruhku menyengkir? Berarti dia benar-benar bisa melihatku?"
"Hai ... minggir. Kamu tidak tahu bahasa minggir? Oh, menyingkirlah! Apa karena hujan jadi kamu tidak dengar?"
Srettt!
Radit menoleh ke arah wanita yang ternyata Nadira.
"Ha ...!" Nadira teriak histeris dan tidak sadarkan diri. Radit pun merasa bodoh. Dan satpam pun datang karena teriakan Nadira. Melihat Nadira pingsan, pak satpam segera membawa Nadira masuk ke rumah sakit.
"Dia malah pingsan? Apa dia benar-benar mengira aku hantu? Tidak peduli dia mengira aku hantu atau bukan, yang penting aku akan tetap meminta tolong kepada dia. Soalnya hanya dia yang bisa melihat keberadaanku, aku yakin itu ... aku harus mengikutinya. Aku tidak akan peduli masa laluku yang jahat kepadanya, aku kan minta maaf karena aku yakin dia pun memaafkan aku, karena dia orang baik. Ya, ini adalah keputusan yang baik dan tepat. Oh, ternyata Engkau memang sangat baik ya Allah," gumam Radit yang lalu menyusul Nadira.
Radit mondar-mandir menunggu Nadira siuman. Radit tiba-tiba merasa rindu kepada kekasihnya. Radit pun segera menemui Disya walaupun dia nantinya hanya bisa melihat sang kekasih.
Radit pergi ke rumah Disya tetapi dia tidak menemukan siapapun.
"Aku sangat yakin sekarang ini dia menemani Oma. Ya, hanya dia yang selalu tulus menemani Oma dan merawat Oma, aku tidak salah memilih dan mencintai seorang gadis yang benar-benar sangat baik. Huft ... akan tetapi, kapan aku dapat kembali ke tubuhku?" tanya Radit yang kembali galau.
Pemuda tampan ini segera melihat keadaan sang Oma, dan betapa terkejutnya dia. Ketika di rumahnya diadakan acara tahlilan.
"Aku masih hidup, walaupun tubuhku berada di rumah sakit, tetapi aku masih hidup aku belum dimakamkan! Kenapa di rumah ada acara tahlilan? Apa Oma benar-benar menganggap aku sudah meninggal? Sungguh, ini gila ...."
Radit pun melangkahkan kakinya dengan berat.
"Oma ... hiks, hiks, lihat Rayan. Lihat, Oma kena serangan jantung dan meninggal. Lihatlah, Radit di rumah sakit dan Oma? Lihat Oma sudah tidak ada ... hiks!"
Mendengar itu Radit luluh lantah tak berdaya, dia terjatuh memandangi tubuh oma yang benar-benar terbujur kaku.
"Kenapa?! Ini sangat tidak adil bagiku, ini sangat tidak adil untukku, kenapa Engkau tega. Kenapa Engkau tega! Tadi aku melihat Oma masih baik-baik saja walaupun beliau masih shock dengan keadaanku. Kenapa? Kenapa?"
Radit sangat tidak terima dengan keadaan yang menimpanya.
"Sabar, sabar ...." Pemuda yang dipanggil Rayan itu memeluk Disya. Radit menghampiri tubuh sang Oma. Para tetangga dan tante Radit dan juga paman Radit pun datang. Radit merasa curiga kepada sang paman.
"Apa jangan-jangan paman juga merencanakan sesuatu hingga Oma bisa seperti ini? Kenapa Ya Allah, tidak sekalian Engkau mengambil nyawaku! Aku lebih baik mati, lebih baik mati!" Radit yang kacau dan hancur memeluk tubuh Oma.
Kematian yang mendadak itu membuat Radit sangat curiga, terlebih kepada sang paman. Radit menatap sang paman penuh amarah. Pamannya berdiri lalu menghampiri Disya.
"Disya, aku ingin bicara, kita perlu bicara berdua."
Melihat pamannya, Radit semakin emosi dan kemudian Radit mengikuti mereka.
"Maaf, tadi ibu bersama kamu, aku yakin tadi keadaannya baik-baik saja, boleh aku tahu kapan keadaannya melemah?" tanya paman pada Disya dengan halus agar Disya tidak tersinggung.
"Hai paman! Jangan menyalahkan Disya!" teriak Radit yang jelas itu hanya percuma. Radit yang kesal hanya dapat menghela napas susah.
"Hiks, keadaan Oma melemah setelah melihat keadaa n Radit. Hiks, aku mengajak Oma pulang agar beristirahat dan bisa meminum obat, setelah itu aku kembali ke rumah sakit untuk melihat keadaan Radit Paman. Maafkan aku yang tidak bisa menjaga Oma, aku benar-benar minta maaf Paman."
Melihat sang kekasih sedang menangis pilu dan sedih, ingin rasanya Radit membelai dan memeluk.
"Jangan pernah meminta maaf Disya, karena sesungguhnya kamu tidak bersalah, aku yakin pamanku ini adalah orang yang harus bertanggung jawab. Ya, dia adalah orang yang serakah. Dia sering kalah judi hingga membuat Oma sedih dan sampai memiliki riwayat jantung. Lihat saja paman, aku akan segera membuktikan jika kamulah pelakunya."
"Hiks, maaf ... hiks, kenapa ini terjadi paman, kenapa? orang-orang yang aku cintai pergi dengan mudahnya kenapa Paman, kenapa ...? Sekarang ini aku hanya menanti Radit. Hiks hiks."
Mendengar Disya, Radit pun hancur.
"Kita harus ikhlas Disya, jangan menangis. Karena jika menangisi orang yang sudah pergi akan menggelapkan jalannya. Kita doakan saja Ibu dan terus mendoakan Radit agar segera siuman."
Mendengar pamannya sangat santai, itu sangat menguatkan tuduhan Radit. Radit yang membara pun segera menemui Nadira untuk membantunya.
Radit menunggu Nadira siuman seperti layaknya seorang kekasih. Radit mondar-mandir dengan cemas dan sesekali ingin menyelimuti Nadina namun dia tidak dapat menyentuh selimut itu.
Nadira membuka sedikit matanya dan kembali lagi memejamkan mata.
'Kenapa dia ada di hadapanku? Apa aku harus teriak lagi? Aku sangat yakin dia dalam keadaan koma. Lalu siapa orang yang ada di depanku ini?' batin Nadira yang sesungguhnya memang sudah siuman tetapi pura-pura belum sadarkan diri.
"Ayolah nadira bangun aku ingin meminta tolong kepadamu."
'Enak saja,' jawab Nadira dalam hati.
"Nadira ... nadira ..." Radit terus berisik dan terus menatap Nadira lekat. Radit melihat bolamata Nadira yang kesana-kemari walau tertutup rapat.
"Aku yakin kamu sudah siuman, ayo bangun. Nadira, tolong ... oke, aku minta maaf atas kejadian 10 tahun silam, aku benar-benar minta maaf telah mempermalukan kamu, dan aku benar-benar meminta maaf. Sekarang ini aku hanyalah arwah yang ke sana kemari tanpa arah, tolong. Hanya kamu yang dapat melihatku. Aku yakin kamu juga mendengarku. Iya kan?"
"Tidak ... aku tidak dengar!" seru Nadira spontan.
"Tetapi kamu menjawabku!" Wajah Radit terlihat senang.
Nadira membuka mata dan menghela napas. "Kita tidak berhubungan, walaupun aku bisa melihatmu aku tidak ingin menolongmu dan tidak ingin membantumu! Carilah orang lain!" Nadira kembali memejamkan mata.
"Nadira, kamu orang baik. Nadira ... ayolah. Maaf, maaf. Aku tahu tinggalkanku saat SMA memang sangat kejam kepadamu. Nadira ..."
"Tolong diam, jangan berisik. Aku lelah. Tolong fahami aku." Nadira menangis membuat Radit bingung dan akhirnya duduk di sofa sambil menatap Nadira dengan sabar.
Nadira membuka mata setelah bermenit-menit di ruangannya hening. Dia mengira Radit sudah pergi namun betapa terkejutnya dia saat Radit duduk dan menatapnya. Nadira menutup mulutnya saat akan berteriak lagi.